Identitas
Muhammadiyah
Mitsuo Nakamura ; Profesor
Emeritus Chiba University, Jepang; Wakil Ketua Steering Committee for the
International Research Conference on Muhammadiyah
|
KOMPAS,
23 November 2012
Selama 100 tahun keberadaannya,
Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi Indonesia,
terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, filantropi, dan kesejahteraan
sosial. Kontribusi ini tak terbatas pada masyarakat Muslim, tetapi juga
masyarakat non-Muslim, seperti terlihat pada adanya sekolah dan rumah sakit
Muhammadiyah di Papua dan Nusa Tenggara Timur. Bersama Nahdlatul Ulama (NU),
Muhammadiyah menjadi organisasi Islam terpenting di negeri ini dan menjadi
representasi suara Islam moderat. Di tingkat global, barangkali tak ada
organisasi Islam modern yang bisa menandingi amal usaha Muhammadiyah.
Memudar dan Kurang Dinamis
Namun, peran Muhammadiyah pada beberapa
dekade belakangan ini seperti agak memudar. Secara eksternal, berbagai
kelompok transnasional, seperti Hizbut Tahrir Indonesia, yang muncul pasca-tumbangnya
Orde Baru, mampu berkompetisi dan menandingi Muhammadiyah. Secara internal,
berbagai infiltrasi, seperti dari Partai Keadilan Sejahtera, memengaruhi
gerak langkah Muhammadiyah. Di tubuh organisasi ini juga terjadi konflik di
antara tiga kubu: kelompok Salafi yang cenderung skriptualis dan konservatif,
kelompok moderat yang memadukan puritanisme dan modernisme, serta kelompok
liberal yang menganggap Muhammadiyah terlalu kaku dan menghargai keimanan
individu.
Persoalan yang menimpa Muhammadiyah saat
ini tak hanya pada tingkat ideologi. Amal usahanya pun menghadapi banyak
masalah. Dulu, Muhammadiyah adalah pionir dalam bidang pendidikan dari
tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Namun, kini sebagian dari lembaga
pendidikan milik Muhammadiyah terlihat ketinggalan zaman, kalah bersaing
dengan sekolah internasional, Sekolah Islam Terpadu, dan sekolah milik
kelompok Salafi yang didukung dana dari Timur Tengah.
Dalam bidang filantropi, Muhammadiyah juga
agak kalah lincah dan gesit dibandingkan organisasi baru, seperti Dompet
Dhuafa dan Pos Keadilan Peduli Ummat. Rumah sakit Muhammadiyah juga tak
berbeda dari rumah sakit pada umumnya yang dikelola dengan motif komersial
dengan tarif tinggi. Bahkan, beberapa rumah sakit Muhammadiyah kalah
kualitasnya dari puskesmas.
Secara organisasi, beberapa pengamat menilai
bahwa Muhammadiyah kini kalah dinamis dibandingkan dengan NU dalam ideologi.
Organisasi yang dulu diasosiasikan dengan kaum sarungan dan kolot itu kini
tampak lebih progresif dan reformis, terutama sejak dipimpin Gus Dur tahun
1980-an.
Beberapa hal itulah yang menjadi tantangan
berat bagi Muhammadiyah ketika organisasi ini mencapai umur satu abad yang
diperingati pada 18 November tahun ini. Karena itu, ulang tahun kali ini
dirasakan tidak cukup dengan dirayakan di Gelora Bung Karno, Jakarta, dan di
beberapa tempat lain di Indonesia.
Perayaan itu sendiri penting dilakukan
sebagai bentuk syukur dan karena ini adalah peristiwa yang hanya terjadi
sekali dalam seumur hidup buat para anggota dan simpatisannya. Kalau nanti
Muhammadiyah mampu bertahan hingga 200 tahun, pasti bukan generasi sekarang
yang akan menjumpainya.
Namun, yang lebih penting dari perayaan
seremonial adalah menemukan kembali (rediscovery)
dan reformulasi terhadap identitas Muhammadiyah untuk abad kedua. Inilah di
antaranya mengapa sejumlah aktivis-sarjana Muhammadiyah dan pengamatnya dalam
negeri bekerja sama dengan beberapa sarjana asing, seperti saya sendiri, MC
Ricklefs, James Peacock, Robert Hefner, Hyun-Jun Kim, Jonathan Benthall,
Robin Bush, Martin van Bruinessen, Nelly von Doorn Harder, dan sebagainya,
menyelenggarakan konferensi-riset internasional tentang Muhammadiyah (International Research Conference on
Muhammadiyah/IRCM) di Malang, 29 November-2 Desember 2012. Saya juga
berterima kasih kepada Ahmad Najib Burhani dari LIPI yang telah membantu saya
dalam penyusunan tulisan ini.
Tantangan ke Depan
Dengan kecepatan globalisasi dan teknologi
yang luar biasa, masih mampukah Muhammadiyah menjadi organisasi Islam yang
progresif (berkemajuan) dan dinamis? Di tengah gelombang Salafisme dan
Islamisme, mampukah Muhammadiyah tegak mempertahankan dan merevitalisasikan
identitasnya? Di tengah kebangkitan kembali hal-hal tradisional dan lokal
sebagian karena desentralisasi, khususnya revival
kejawen, bagaimanakah organisasi ini mesti bersikap? Inilah beberapa
tantangan Muhammadiyah ke depan yang akan dicoba dibahas di konferensi
sarjana di Universitas Muhammadiyah Malang.
Tentunya tantangan besar yang dihadapi
Muhammadiyah ke depan tak bisa diselesaikan dengan konferensi atau dalam
sebuah konferensi. Meski berupaya membedah berbagai aspek kemuhammadiyahan
sejak organisasi ini didirikan 18 November 1912, apa yang dilakukan para
sarjana domestik dan asing hanyalah diagnosa dan sebagian dari mereka yang
berhaluan ”intelektual organik”, mungkin dapat memberikan resep obat.
Namun, untuk bisa bangkit kembali, perlu
langkah sistematis dari pengurus Muhammadiyah sendiri, kesadaran warga
Muhammadiyah, dan barangkali dukungan berbagai pihak, termasuk pemerintah
ataupun kelompok masyarakat madani yang lain. Pada tingkat teoretis, langkah
itu mungkin bisa dimulai, misalnya, dengan mereformulasi teologi al-Ma’un
yang selama ini menjadi prinsip gerak dan darah amal usaha Muhammadiyah dalam
usaha membantu para orang-orang yang miskin, lemah, dan tertinggal.
Semangat ”kembali ke Al Quran dan Sunah” dan semboyan amar makruf nahi mungkar yang menjadi ruh reformasi keagamaan di
Muhammadiyah juga perlu mendapat reformulasi pada dimensi epistemologi
ataupun proyek kegiatan yang konkret. Cita-citanya yang dituntut ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”
dan ”peradaban unggul” juga perlu
dioperasionalisasikan dengan ukuran empiris. Dan, khususnya dalam lingkungan
plural, konsep fastabiqul khairat
(berlomba-lomba dalam kebajikan) juga mungkin perlu mendapat suntikan lagi
dengan darah baru dan diperluas tak sekadar kompetisi sesama warga
Muhammadiyah, tetapi juga kompetisi dan kerja sama dengan masyarakat beragama
lain sebagai sesama manusia yang hidup berdampingan dalam global village pada dunia kekinian. ●
|
tks postingannya, saya dulu pernah akrab dg prof. Mitsuo
BalasHapus