Selasa, 06 November 2012

Harapan atas Pilpres AS


Harapan atas Pilpres AS
I Basis Susilo ;  Dosen Sistem Politik AS dan Dekan FISIP
Universitas Airlangga, Surabaya
SINDO, 06 November 2012



Pada pemilihan umum yang diselenggarakan Selasa, 6 November 2012, rakyat AS menentukan siapa yang bakal memimpin AS selama empat tahun ke depan. Apakah masih Barack Obama, atau Mitt Romney?

Keduanya punya peluang.Beberapa jajak pendapat menjelang hari H pemilihan menunjukkan persaingan mereka amat ketat. Kita perlu mencermati pilpres AS karena dinamika dalam negeri negara adidaya itu tidak hanya berpengaruh di dalam negerinya sendiri,namun juga di negara-negara lain,bahkan di tiap ujung dunia.

Hanya,kita orang luar tidak bisa ikut memilih presiden AS. Hanya rakyat AS saja yang boleh memilih presidennya. Hal yang bisa kita lakukan hanya berharap presiden yang terpilih nanti bisa seusai dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional kita.

Kebijakan Obama yang Kondusif

Atas dasar kebijaksanaan luar negeri dan kepentingan nasional kita,kita lebih senang apabila Obama terpilih.Bukan hanya karena Obama punya ikatan emosional dengan Indonesia karena ia pernah berada di Menteng, Jakarta; tetapi lebih-lebih karena (dibanding Mitt Romney) sikap, perilaku, dan kebijakan luar negeri Obama lebih kondusif untuk kerja sama dan dialog dengan para pemimpin negara-negara lain, sehingga lebih mantap dalam menciptakan kestabilan dan perdamaian dunia.

Penanganan Obama atas Irak, Libya, Afghanistan, dan Suriah beda dari Romney. Dalam kampanye dan debat capres, Romney cenderung akan meniru mantan presiden George Bush,yaitu lebih mengutamakan otot, sehingga selalu menggunakan kekuatan militer untuk menyelesaikan masalah. Penggunaan kekuatan militer berlebihan di masa Bush tidak menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan komplikasi masalah.

Obama tidak meninggalkan kekuatan militer sama sekali, tetapi lebih memprioritaskan pendekatan diplomasi dan dialog, sehingga menyediakan ruang-ruang untuk kerja sama dalam rangka membangun perdamaian dan kestabilan. Diplomasi Obama pun lain dari Bush dan Romney. Di bawah Bush,pada dasarnya AS telah meniadakan diplomasi, sejak Bush menyatakan “siapa yang tidak bersamanya sama saja bersama kaum teroris.

” Bush juga telah mengabaikan sikap dan tindakan multilateral dan semata-maya mengandalkan kekuatan militernya sendiri yang didasari sikap arogan dan tindakan unilateral. Akibatnya, AS tidak disukai (bahkan dibenci) rakyat di dunia ini. Dalam empat tahun terakhir Obama telah mengembalikan diplomasi bangsanya yang hilang di masa Bush.

Obama banyak berdialog dengan para pemimpin dunia. Obama tidak menangani secara unilateral persoalan Tunisia, Mesir, Libya dan Suriah, tetapi memberi peluang dan prakarsa PBB,sehingga persoalan-persoalan itu diselesaikan secara multilatera l . Kendati prosesnya terasa lebih lama, hasilnya tidak menjerumuskan AS seperti di Irak di masa Bush.

Dalam menghadapi dunia Islam,dibanding Bush dan janji Romney, Obama lebih mampu mengajak dialog dan menjalin kerja sama dengan negara-negara berpenduduk Muslim. Bahkan Obama lebih mendorong upaya-upaya Islam dan demokrasi bisa lebih saling isi-mengisi secara komplementer. Dalam hal ini, sebenarnya Indonesia berpeluang menjadi teladan bagi adanya hubungan komplementer itu.

Harapan dan Kekhawatiran

Sekali lagi, kita berharap Obama terpilih lagi. Namun, harapan itu belum tentu terwujud dan mesti disertai kekhawatiran akan kenyataan Obama tidak terpilih. Kekhawatiran itu beralasan karena bila empat tahun lalu semua jajak pendapat beberapa hari sebelum pilpres menunjukkan Obama menang meyakinkan, justru saat ini beberapa jajak pendapat menunjukkan Obama menang amat tipis.

Ada beberapa yang menunjukkan Romney justru menang tipis. Beberapa yang lain menunjukkan angka yang sama,49-49 persen. Tradisi petahana (incumbent) menang lagi memang ada, tetapi bukan tanpa perkecualian. Sejak Perang Dunia II, dari 10 petahana yang maju pilpres, hanya tiga (Ford 1976,Carter 1980,dan Bush Sr 1992) yang gagal, tujuh yang lain (Truman 1948, Eisenhower 1956, Johnson 1964, Nixon 1972,Reagan 1984, Clinton 1996, Bush Jr 2004) menang lagi.

Melihat kecenderungan ini Obama punya peluang untuk terpilih lagi karena dua alasan. Pertama, Obama tidaklah dianggap gagal seperti Ford, Carter dan Bush Sr.Obama memang tidak mendapat dukungan seantusias empat tahun lalu karena performa ekonomi negerinya yang tidak segera pulih dari krisis.Namun, hal itu disebabkan kesalahan atau warisan presiden sebelumnya (Bush).

Banyak pihak mengakui kenyataan ini. Selain itu penanganan badai Sandy akhir-akhir ini menunjukkan rakyat lebih mengakui kepemimpinan Obama daripada Romney. Kedua, lawan Obama, yaitu Romney, tidak mempunyai daya pikat kuat seperti lawan Ford (yaitu Carter), Carter (yaitu Reagan), dan Bush Sr (yaitu Clinton).Ford mewarisi kesalahan moral dan etika politik dari Nixon dalam skandal Watergate.

Carter yang mengutamakan moral dalam berpolitik dianggap lemah dan gagal menjaga harga diri bangsa Amerika, karena di masa pemerintahannya Soviet mencaplok Afghanistan dan ratusan diplomat AS disandera berbulan-bulan di Teheran. Bush Sr yang konservatif harus berhadapan dengan Clinton yang muda dan menawan. Sedangkan Romney saat ini kurang karisma yang memadai dibanding Obama.

Padahal untuk mengalahkan juara bertahan diperlukan kemenangan mutlak. Selain itu, perlu diingat bahwa yang menentukan pemenang bukanlah persentase jumlah suara, tetapi jumlah electoral college (EC), totalnya 538. Jumlah EC dimenangi dengan sistem pemenang ambil semua (winner-take-all system) dalam setiap negara bagian.

Bisa saja persentase suara lebih tinggi, tetapi karena perolehan EC tidak banyak, maka yang menang calon lain.Contohnya, dalam pilpres 2000, Bush Jr hanya dapat 47,87%, suara tetapi dapat 271 EC,sementara Gore unggul persentase suara, tapi hanya dapat 266 EC.Pada 2008 lalu,Obama dapat 365 EC atau 67,8% jumlah EC walau persentase suaranya hanya 62%.

Itu bisa terjadi karena Bush Jr dan Obama menang di negara-negara bagian dengan jumlah penduduk dan jumlah EC besar. Siapa yang terpilih, rakyat AS yang menentukan hari ini. Bila Obama yang menang, kita perlu meningkatkan upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa panutan dalam mewujudkan Islam dan demokrasi.

Bila Romney yang menang, kita mesti mempersiapkan diri untuk mengantisipasi perubahan kebijakan negara adidaya menjadi lebih keras dan kaku lagi seperti masa Bush berkuasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar