Euforia China:
Dinamisasi Asia Timur
Pamungkas Ayudhaning Dewanto ; Mahasiswa Graduate School of International Relations,
|
KOMPAS,
19 November 2012
Pada pertengahan Oktober
2012, Dana Moneter Internasional (IMF) melangsungkan sidang tahunannya di
Tokyo, Jepang. Christine Lagarde, Direktur Pelaksana IMF, berulang-ulang
mengingatkan pentingnya kerja sama Asia untuk merespons pelambatan ekonomi
yang diprediksi akan melanda. Asia sendiri diprediksi akan menjadi
satu-satunya kawasan yang tumbuh kuat dengan pertumbuhan ekonomi yang
tertinggi.
Tentu
saja hal ini terutama disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi China yang belum
tertandingi. Di tengah stagnasi Eropa, China justru kembali mengalami surplus
perdagangan hingga 9 persen pada Oktober. Di Jepang, sektor perbankan
mengalami peningkatan kepemilikan surat berharga, namun di sisi lain,
bank-bank daerah mengalami penipisan modal dan pelambatan pendapatan yang
kemungkinan besar disebabkan oleh ancaman serius depopulasi (ageing
population).
Bagaimana
dengan Asia Tenggara? Stabilitas ekonomi di kawasan ini cukup terkendali.
Situasi ini sangat mendukung bagi penciptaan kerja sama ekonomi Asia yang
lebih mapan dan komprehensif. Hanya saja, perkembangan menarik patut
dicermati terkait gelombang instabilitas yang melibatkan China di kawasan.
Pertama,
sengketa di Kepulauan Spratly antara China dengan beberapa negara semakin
menambah ketegangan di kawasan. Dengan adanya sengketa ini, hubungan
China-ASEAN menjadi terpecah. Persepsi ASEAN dalam diplomasinya dengan China
ke depan akan diwarnai perbedaan pendapat yang serius terkait isu ini.
Kedua,
agresivitas China yang menyulut ketegangan dengan Jepang di Pulau
Diaoyu/Senkaku. Sengketa ini cukup berlarut, dimulai dengan pendudukan pulau
yang dilakukan oleh beberapa aktivis China, hingga menjamurnya protes
anti-Jepang di berbagai penjuru China. Akibat dari sengketa ini, China bahkan
menolak mengirimkan perwakilannya untuk menghadiri pertemuan tahunan IMF yang
diselenggarakan di Tokyo bulan ini.
Ketiga,
peluncuran kapal induk Liaoning yang dilakukan di tengah sengketa beberapa
pulau di Asia Timur menyulut tensi krisis di kawasan. Saat ini, media China
tengah gencar menyiarkan dan mempromosikan kapal induk ini kepada setiap
warganya. Hal ini dimungkinkan bisa menyulut sentimen nasionalisme masyarakat
China, termasuk gelombang aksi anti-Jepang yang terus bermunculan.
Kondisi
ini tentu sangat memengaruhi kinerja perdagangan China-Jepang. Dalam sembilan
bulan terakhir, nilai perdagangan di antara kedua negara ini terus mengalami
kemerosotan. Krisis di Diaoyu/Senkaku menyulut sentimen warga untuk memboikot
barang-barang Jepang yang masuk ke China. Penjualan mobil Jepang di China,
misalnya, anjlok 35-50 persen dari tren penjualan normal.
Bahk
Jae-wan, Menteri Strategi dan Keuangan Korea Selatan, masih berharap besar
agar pertemuan Pakta Perdagangan Trilateral antara Korea Selatan, Jepang, dan
China pada November ini dapat berjalan dengan lancar meski ketegangan sedang
memanas di antara dua negara itu (WSJ Asia, 9/10/2012). Pakta kerja sama ini
menjadi salah satu alat yang diandalkan meningkatkan kerja sama untuk
menopang pertumbuhan di Asia.
ASEAN
sendiri belakangan belum mampu membuktikan bahwa institusi ini dapat
melakukan konsolidasi politik internal dengan baik. Hubungan antarnegara
anggota ASEAN mengalami keretakan pasca-Pertemuan Tingkat Menteri (AMM) ke-45
di Kamboja, Juli lalu. Untuk pertama kalinya ASEAN gagal merumuskan sebuah
pernyataan sikap bersama (joint communiqué) atas sengketa di Laut China
Selatan.
Dari
berbagai laporan media, muncul dugaan bahwa Kamboja mendapatkan masukan dari
China untuk menolak rumusan pernyataan sikap bersama yang dalam pertemuan
pendahulu (preliminary meeting) sebenarnya sudah berhasil dicapai kesepakatan
di antara semua anggota, terkecuali Kamboja. Alasan Kamboja dianggap tidak
cukup adaptif dengan tidak menyetujui elemen-elemen bilateral yang muncul
dalam klausul pernyataan bersama itu.
Peristiwa
ini setidaknya memunculkan tiga skenario dalam percaturan politik di Asia
Tenggara. Skenario pertama, jika benar China secara sengaja memecah
kesepahaman negara-negara yang tergabung di ASEAN, semangat integrasi ASEAN
yang rencananya mencapai tahapan integrasi lebih lanjut pada 2015 terancam
jadi mimpi belaka.
Kedua,
jika benar Kamboja telah berkiblat ke China, dengan sendirinya membuka pintu
bagi Filipina dan Vietnam untuk bersekutu dengan negara yang dianggap mampu
mengimbangi China dan memiliki kepentingan sama di Laut China Selatan, yakni
Amerika Serikat. Keadaan ini akan menciptakan polarisasi dan memastikan
pelemahan modal sosial negara anggota ASEAN.
Ketiga,
jika tensi politik internal China terus memanas, diikuti dengan munculnya
sentimen nasionalisme publik, tentu meningkatkan ancaman pada kinerja ekonomi
dan keuangan atas gelombang nasionalisasi yang bisa muncul kapan saja. Tentu
saja ini kabar buruk bagi para pebisnis yang sudah mapan di China. Gencarnya
Pemerintah China menutup kantong-kantong aspirasi yang tak sejalan dengan
pemerintah juga menandakan bahwa gerakan radikal untuk menentang rezim Partai
Komunis China (PKC) tengah berkembang secara sporadik. Ancaman destabilisasi
internal inilah yang jadi momok paling menakutkan bagi Pemerintah China,
begitu pula kinerja ekonomi negara.
Pada
saat China tersihir dengan euforianya, tentu saat yang tepat bagi para
investor untuk mempersiapkan alternatif pasar yang dapat memfasilitasi dan
menyerap modal. Ini jugalah saat yang tepat bagi Asia Tenggara, khususnya
Indonesia yang dianggap sebagai salah satu pasar terkuat di kawasan, untuk
berkonsolidasi mempersiapkan infrastruktur ekonomi dan sosial yang ramah investasi.
Pemerintah
perlu merapatkan barisan untuk mengevaluasi segala kebijakan yang merugikan
iklim bisnis dan penciptaan kesejahteraan sesegera mungkin. Konflik lintas
institusi penegak hukum yang tidak diikuti dengan berkurangnya korupsi,
distribusi anggaran yang tidak berpihak pada peningkatan pendidikan dan
kemudahan berusaha, harus segera dipecahkan untuk menyambut kemungkinan
instabilitas internal China. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar