Minggu, 04 November 2012

DPR Usul Bangun Kampung Haji


DPR Usul Bangun Kampung Haji
Sarlito Wirawan Sarwono ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
SINDO, 04 November 2012
  

Waktu saya masih di SD (sekolah rakyat/SR) pada 1950-an, saya bisa kaget bukan alangkepalang ketika pantat saya ditepok keras-keras oleh kawan saya,sambil berseru,“Haji!” “Mana?” tanya saya. “Itu, sedang naik dokar,” jawabnya.   

“Ooooh,iya ...hahaha ...,” saya tertawa sambil meringis kesakitan. Ternyata betul. Di atas dokar yang sedang berjalan, ditarik kuda yang berlari pelan, duduk seorang laki-laki bertopi putih. Buat kami, anak-anak zaman itu, orang bertopi putih pasti haji. Siapa yang paling dulu melihat haji di mana pun dan kapan pun boleh menepok pantat kawannya. Saya pun kalau paling dulu melihat haji akan berusaha menepok pantat kawan saya keras-keras.Paling kesal kalau saya melihat haji, tetapi sedang bersama orang tua saya, tidak bersama teman-teman: mau nepok dosa, mau nggak nepok penasaran.   

Zaman itu, haji memang barang langka. Guru mengaji atau ustaz paling top pun, selama dia belum menunaikan ibadah haji,tidak disebut haji dan berkopiah hitam saja, tidak bertopi putih. Haji di masa itu melambangkan ilmuwan agama (ulama) yang sudah men-capai tingkat tertinggi.Ibaratnya di universitas, haji adalah profesor. Tapi topi putih tidak selalu dipakai oleh ulama yang sudah haji. Almarhum Hamka atau lengkapnya Haji Abdul Malik Karim Amrullah, seorang haji yang pentolan umat Islam di zamannya, seingat saya tidak pernah bertopi putih, cukup berkopiah hitam saja, berkain sarung, dan berlilitkan kain di lehernya.

 Karena itulah orang bertopi haji makin langka dan karena langkanya layak untuk jadi permainan ketangkasan mata oleh anak-anak. Tapi permainan TePKAH (Tepok Pantat Kalau Ada Haji) itu sudah tidak bisa dimainkan lagi oleh anak-anak zaman sekarang. Pasalnya topi haji sudah pasaran.Sekarang,karena kemajuan perekonomian dan teknologi,menunaikan ibadah haji bukan lagi barang yang terlalu mewah. Makin banyak orang kebanyakan yang bisa berhaji,bahkan ada bank yang menawarkan kredit haji (yang sebenarnya kontradiktif: berhaji kok berutang).   

Setiap orang pergi haji, pulangnya pasti membawa oleholeh aksesori haji,dari sajadah sampai topi haji. Maka mulailah orang yang bukan haji memakai topi haji oleh-oleh. Bahkan sekarang setiap Jumatan di masjid, selalu dijual topi haji murah-meriah oleh pedagang gelaran dadakan. Tidak mengherankan kalau sekarang jamaah Jumat banyak sekali yang bertopi haji. Baik yang sudah haji maupun yang belum haji. Bahkan saya pernah melihat seorang polisi mengatur lalu lintas bertopi haji.  

Mungkin dia lupa menggantinya dengan pet polisinya selepas salat. Jadi korelasi antara topi haji dan haji, apalagi ulama yang terhormat, tidak berlaku lagi sekarang. Ulama-ulama top zaman sekarang seperti Nurcholis Majid almarhum, Gus Dur almarhum, Prof Dr Komaruddin Hidayat, Prof Dr Quraish Shihab, Prof Dr Azyumardi Azra (tiga yang terakhir adalah rektor dan mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta), dan masih banyak ulama top lain yang saya kenal, tidak pernah bertopi haji. Saya percaya bahwa di mata para ulama beneran, topi haji tidak mencerminkan keulamaan sama sekali, apalagi ketakwaan.   

Begitu pula dengan sebutan atau gelar haji. Sampai sekarang masih banyak orang yang sepulang dari Mekkah ingin dipanggil haji. Di sebuah acara, seorang ajudan bupati mengingatkan MC (pembawa acara, yang lebih suka dipanggil master of ceremony) untuk menuliskan huruf “H” di depan nama bapak bupati dan menyebutkan kata “haji” sebelum menyebut nama beliau. Padahal, ketika saya sendiri dan istri saya berhaji, belasan tahun yang lalu, saya lihat setiap orang dipanggil “haji”.  

Para pedagang di Pasar Seng (sayang sekarang sudah tidak ada lagi) memanggil-manggil jamaah Indonesia, “Haji, haji, Indonesia bagus, lihat, lihat, murah”, dan para askar (serdadu, polisi, atau satpam, saya kurang jelas) di Masjidilharam mengusir jamaah yang terlalu lama meratap di Kakbah dengan berseru, “Haji, haji, haram, haram!” sambil mengayun-ayunkan tongkat pentungannya. Haji kok dipukuli pakai pentungan? Maka sepulang dari berhaji,saya pakai nama saya yang biasa saja, tanpa sebutan haji. Yang penting kan ibadahnya, bukan gelarnya. Apalagi topinya. Gak usahlah.   

Rambut putih saya lebih berwibawa daripada topi haji bikinan mana pun. Tapi banyak orang di Indonesia yang tidak berpikir seperti itu.Topi haji masuk dalam atribut utama buat mereka yang menamakan dirinya pembela Islam. Di Jalan Raya Pasar Minggu, dekat patung Pancoran, setiap Senin malam, selalu terjadi kemacetan luar biasa gara-gara massa yang mendengarkan tausiah habib ini atau habib itu di sebuah masjid yang terletak di jalan raya itu. Tapi tidak semua duduk manis mendengarkan tausiah di dalam masjid.   

Sebagian berbelanja topi haji dan barang-barang lain yang digelar dekat masjid, sebagian duduk-duduk saja di atas motor yang diparkir sambil ngobrol, dan beberapa yang juga bertopi haji juga mengatur lalu lintas sambil mengayun- ngayunkan lampu baterai bersinar merah. Sementara itu, sang polisi lalu lintas yang asli (kali ini pakai pet polisi beneran,bukan topi haji) hanya berdiri di sudut jalan, di depan restoran Padang sambil ber-SMS melalui HP-nya. Buat mereka, tampaknya itulah cara yang terbaik yang bisa mereka lakukan untuk menegakkan Islam.   

Sebenarnya oke-oke saja dan tidak mengganggu siapa-siapa kecuali memacetkan jalan untuk sementara. Walaupun demikian, tidak semua topi haji dipakai untuk syiar agama yang damai seperti itu. Di luar masjid,di jalanan, di kampung-kampung, di Bundaran HI atau di depan Gedung DPR, topi haji digunakan untuk berbagai tujuan.Yang penting ada massa dan semuanya mengenakan topi haji. Tidak lupa meneriakkan “Allahu Akbar”. Tujuannya lain-lain. Kadang-kadang politis,menuntut pengesahan RUU Antipornografi (waktu itu) atau menuntut supaya SBY turun (sering sekali).   

Kadang-kadang sweeping miras (minuman keras), warung remang-remang, atau tempat hiburan yang buka di bulan Ramadan, dan lainnya, pokoknya untuk me-negakkan syariah (hukum Islam). Bahkan sebagian besar para pelaku terorisme belum haji, tetapi kebanyakan bertopi haji. Jadi topi haji dan sebutan haji makin jauh maknanya dari ibadah haji itu sendiri.Bahkan sekarang sudah bermakna sekuler atau ekonomi.  

Penipuanpenipuan oleh agen haji, yang menyebabkan para calon jamaah yang malang telantar, menderita di asrama penantian, dan harus pulang tanpa naik pesawat terbang sama sekali, motifnya komersial.Pakaian seragam, tas seragam, dan aksesori haji lainnya juga merupakan objek komersial para penyelenggara haji. Adapun haji-haji abidin (atas biaya dinas) tentu bermotif sekuler. Tapi yang paling tidak lucu adalah haji kadarkum: kadang sadar, kadang kumat. Wahai Bang Haji, malang nian nasibmu. Naudzubillahi mindzalik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar