Tantangan
Besar Pendidikan Kita
Ratna Megawangi ; Dosen
Ilmu Keluarga dan Konsumen, IPB;
Pendiri Indonesia
Heritage Foundation
|
KOMPAS,
15 Oktober 2012
Tulisan Boediono berjudul ”Pendidikan Kunci
Pembangunan” (Kompas, 27 Agustus 2012) menarik ditanggapi.
Kita patut menyambut baik apa yang Boediono
idealkan mengenai konsep pendidikan untuk pembangunan, yaitu penyiapan sumber
daya manusia (SDM) yang punya soft skills (warga negara yang baik) dan hard
skills (pekerja yang baik). Banyak pakar sepakat soft skills lebih penting
daripada hard skills. Sejak 1995, Daniel Goleman sudah mengunggulkan
kecerdasan emosi (EQ) yang dikatakannya berkontribusi 80 persen pada
keberhasilan seseorang di dunia kerja. Kecerdasan intelektual (IQ) hanya 20
persen.
Robert Strenberg dari Universitas Yale
memperkenalkan istilah successful intelligence (SI) yang dianggap lebih
penting daripada hard skills. Seorang dengan SI tinggi akan meraih sukses
karena mampu memotivasi dirinya untuk terus maju, mengontrol emosi/impulse
negatif, berani mengambil risiko, tidak menunda pekerjaan, fokus, mampu
memecahkan masalah, menerjemahkan pikiran dalam aksi nyata, percaya diri,
inisiator, serta mampu berpikir kreatif, analisis, dan praktis yang seimbang.
Berpikir Rendah
Kesadaran akan pentingnya soft skills
(selanjutnya disebut successful intelligence/SI) telah mengubah paradigma
tentang kecerdasan manusia, dari konsep konvensional yang mendewakan
kemampuan akademik, ke arah pentingnya memasukkan SI pada ukuran kecerdasan.
Bahkan, dengan memfokuskan pada penanaman SI, kemampuan hard skills seseorang
bisa terbentuk dengan sendirinya.
Masalahnya, membentuk SI jauh lebih sulit.
Ironisnya, SI justru diabaikan pada sistem sekolah konvensional. Hard skills
bisa dipelajari dengan membaca buku, menghafal, dan latihan berulang. Namun,
mengajarkan siswa untuk cakap mengolah emosi, berkarakter baik, punya
motivasi, berpikir analitis, kritis, dan kreatif perlu usaha besar, seni, dan
teknik tersendiri.
Tantangan terbesar pendidikan kita adalah
bagaimana menerjemahkan konsep SI ke dalam operasional sistem pendidikan.
Data justru menunjukkan sistem pendidikan kita belum berhasil membentuk SI.
Misalnya, dalam kemampuan berpikir tinggi (higher order thinking
skills/HOTS), berdasarkan data TIMMS 2007 (Trends in International Math and
Science Survey), hanya 1 persen siswa Indonesia yang memiliki kemampuan
berpikir advanced (mengolah informasi, membuat generalisasi, menyelesaikan
masalah nonrutin, mengambil kesimpulan data). Bandingkan dengan siswa Taiwan,
Korea, dan Singapura yang mencapai rata- rata di atas 40 persen.
Sedihnya, 78
persen siswa Indonesia memiliki kemampuan berpikir rendah dan di bawah
minimal atau lower order thinking skills (LOTS). Untuk kategori ini, siswa
Taiwan, Korea, Singapura, Hongkong, dan Jepang di bawah 15 persen.
LOTS ini akan membuat siswa tidak berpikir
analitis, tanpa inisiatif dan mudah ikut arus/diprovokasi. Rendahnya mutu SDM
ini adalah hasil dari sebuah proses sosialisasi dan pendidikan, meski pada
dasarnya manusia punya potensi sama untuk sukses.
Pertanyaannya, mengapa sistem pendidikan
kita belum menghasilkan SI tinggi? Untuk itu perlu dikaji faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap pembentukan SI. Proses belajar yang berorientasi terlalu
akademik melalui metode hafalan, latihan berulang/drilling, instruksi
terstruktur, dan pengajaran satu arah seperti yang dilakukan di sekolah
konvensional berpotensi negatif terhadap terbentuknya SI.
Orientasi ini
memang dikondisikan dengan memberikan serangkaian tes/ujian yang membutuhkan
jawaban baku (benar-salah, dan pilihan berganda). Cara ini hanya dapat
mengembangkan kemampuan berpikir rendah. Siswa, misalnya, mampu mengingat
tahun Perang Diponegoro tanpa mengerti konteksnya, apalagi menganalisis
mengapa perang bisa terjadi dan apa implikasinya. Menurut Albert Einstein,
mengajarkan manusia menghafal saja ibaratnya menyiapkan anjing terlatih yang
tidak memerlukan daya pikir tinggi.
Bloom berpendapat, lebih dari 95 persen
bentuk tes orientasi ini perlu kemampuan berpikir rendah sehingga proses
belajar diarahkan hanya untuk mendapatkan nilai bagus. Artinya, sejak kecil
kemampuan berpikir manusia Indonesia dibentuk hanya untuk berpikir rendah;
tepatnya, keterampilan memori jangka pendek (lupa setelah ujian).
Masalahnya, setelah siswa lupa semua apa
yang dihafalkannya, mereka tak punya keterampilan apa-apa lagi. Padahal, pada
era Google ini, mudah sekali kita mendapatkan informasi tanpa harus
menghafal. Seharusnya siswa disiapkan untuk dapat mengolah informasi untuk
pemecahan masalah yang memerlukan kemampuan berpikir tinggi. Sayangnya,
kemampuan siswa hanya ”terkunci” pada ingatan berjangka pendek. Hal ini dapat
menjawab mengapa 78 persen siswa kita berada dalam kategori berpikir rendah
dan hanya 1 persen yang berpikir advanced.
Bentuk jawaban tes umumnya hanya satu yang
benar. Hal ini tidak memberikan peluang bagi siswa untuk bersikap fleksibel
terhadap keragaman pendapat dan adanya wilayah abu-abu dalam dunia nyata.
Akibatnya, siswa terbiasa berpikir hitam-putih, tidak mampu berpikir
alternatif/berbeda. Kehidupan masyarakat yang tidak toleran terhadap
perbedaan, merasa diri/kelompok paling benar yang kerap memicu konflik adalah
gambaran dari cara berpikir seperti ini.
Dampak lain dari orientasi nilai adalah
kemungkinan terbentuknya sifat ”takut salah”. Sikap ini adalah sikap takut
mengambil inisiatif, menghindari risiko, takut berbeda, takut dikritik, dan
mencari zona aman. Dalam kehidupan nyata, sikap ini akan diwarnai oleh para
individu yang ragu mengambil keputusan, mencari pekerjaan yang aman (misalnya
pegawai), menghindari tantangan serta rendahnya jumlah entrepreneur sehingga
sulit untuk punya daya saing pada era ekonomi kreatif abad ke-21.
Harus Berubah
Dalam perspektif neuroscience, terlalu
berorientasi akademik bisa membahayakan perkembangan otak, terutama pada
anak-anak di bawah usia 14 tahun, yang 90 persen pembentukan otaknya terjadi
pada masa ini. Proses pembelajaran yang membosankan dan penuh beban akan
membuat siswa mudah stres. Hal ini dapat memicu depresi. Hasil studi Bremner
menunjukkan, stres dapat membunuh sel-sel otak sehingga memperkecil volume
otak bagian hippocampus. Suasana stres juga mengaktifkan bagian batang otak.
Stres berkepanjangan akan memunculkan sifat reptil yang reaktif dan impulsif
tanpa berpikir. Maraknya perilaku bullying, tawuran, sikap brutal tanpa
empati, mungkin disebabkan dominannya peran otak reptil ini.
Kesimpulannya, sistem pendidikan terlalu
berorientasi akademik justru menghambat SI. Belum lagi faktor lain menyangkut
kurikulum, kualitas guru, fasilitas sekolah dan sebagainya. Untuk mendukung
SI, banyak negara maju yang tidak memberikan nilai, apalagi ranking pada
siswa tingkat rendah. Swedia, misalnya, tidak memberikan nilai angka sampai
kelas IX (hanya penilaian deskripsi verbal). Begitu pula siswa kelas rendah
di Finlandia. Kedua negara itu memang menduduki nilai teratas dalam TIMMS dan
PISA. Karena evaluasi siswanya menggunakan esai, reasoning, dan pemecahan
masalah, kemampuan berpikir tinggi yang dikembangkan.
Jalan mewujudkan ”pendidikan sebagai kunci
pembangunan” masih berliku. Namun, tampaknya sebagian masyarakat sudah
menyadari pentingnya sebuah perubahan, seperti munculnya sekolah-sekolah
alternatif/progresif dan home schooling. Beberapa sekolah progresif telah
memberikan harapan cerah.
Diperlukan perubahan besar pada sistem
pendidikan kita, terutama di kelas rendah. Dunia akan terus berubah dengan
kecepatan eksponensial. SI makin urgen dibutuhkan agar anak kita dapat hidup
sukses di zamannya nanti, yang keadaannya pasti jauh lebih kompleks. ●
|
Terima kasih atas postingan ini. Sangat membantu saya karena inspiratif.
BalasHapus