Rasionalitas
dalam Modernisasi Alutsista
Tubagus Hasanuddin ; Wakil Ketua Komisi I DPR RI
|
MEDIA
INDONESIA, 02 Oktober 2012
RAPAT
kerja terbuka antara Komisi I DPR RI dan Kementerian Pertahanan RI membahas
RAPBN 2013 pada Rabu (5/9) telah menyepakati banyak hal yang menggembirakan
perihal penguatan alutsista (alat utama sistem persenjataan) Indonesia ke
depan. Hal itu dapat dimaklumi mengingat anggaran Kemenhan yang diusulkan
pemerintah mencapai Rp77 triliun atau meningkat Rp5 triliun dari anggaran di
2012. Di atas kertas, angka yang diusulkan tersebut setidaknya akan mampu
menghidupi 21 kegiatan prioritas pengadaan alutsista bagi TNI yang diperkirakan
menelan dana Rp18 triliun. Tulisan ini kemudian mengajak kita untuk menimbang
kembali aspek rasionalitas dalam pola pengadaan alutsista kita selama ini agar
angka Rp18 triliun tersebut tidak menjadi sia-sia nantinya.
Alutsista Bekas
Pola
pertama yang terjadi dalam pengadaan alutsista di Indonesia sering kali
dianekdotkan sebagai `hobi membeli barang bekas'. Sebut saja misalnya, hibah 24
unit pesawat F-16 dari Amerika Serikat dan 4 unit pesawat C-130 Hercules dari
Australia beberapa waktu lalu. Semuanya memang dikategorikan `hibah', tetapi
pemerintah juga harus mengeluarkan dana retrofit sebesar US$600 juta untuk 24
unit pesawat F-16 dan US$60 juta untuk 4 unit Hercules.
Pada
dasarnya, tidak ada yang salah dengan praktik membeli atau menampung alutsista
bekas negara lain selama pertimbangan rasionalitas tetap berada pada tempatnya.
Rasionalitas di sini terkait dengan kalkulasi ekonomis pembelian alutsista
bekas tersebut. Kalkulasi ekonomis merujuk pada biaya yang harus dikeluarkan
untuk mentransformasi status ‘bekas’ menjadi setidaknya ‘mendekati baru’ atau
‘mengikuti teknologi terkini’ pada alutsista bekas.
Kalkulasi
tersebut penting mengingat alutsista tidak jauh berbeda dengan manusia karena
memiliki siklus kehidupan (life cycle) yang mempunyai tahapan-tahapan tertentu
dalam masa gunanya hingga harus dipensiunkan. Artinya, sehebat apa pun
teknologi yang dimiliki untuk merestorasi alutsista bekas, tetap ada batasan
dalam penggunaannya kelak. Dengan demikian, membeli alutsista bekas harus
mempertimbangkan juga apakah ongkos yang dikeluarkan dari uang rakyat untuk
merestorasinya sepadan dengan usianya yang sudah dianggap ‘senior’.
Sebagai
catatan, kita masih punya pengalaman pahit dengan alutsista bekas. Setelah
jatuhnya Uni Soviet, sejumlah besar alutsista bekas Pakta Warsawa membanjiri dunia.
Salah satu alutsista bekas yang masuk ke Indonesia pada saat itu ialah kapal
perang Corvette kelas Parchim eks Jerman Timur yang digunakan TNIAL. Hingga
saat ini, ongkos perawatan dan pemeliharaan kapal tersebut masih membebani
anggaran TNI-AL, padahal efektivitas daya gentarnya diragukan.
Euforia Diskon
Pola kedua yang diminati pemerintah
saat ini ialah kecenderungan untuk memanfaatkan diskon besar-besaran di pasar
alutsista internasional. Saat ini kondisi separuh perekonomian dunia tengah
diterpa krisis finansial besar-besaran. Tak
pelak, industri pertahanan di beberapa negara juga terpaksa gigit jari. Untuk
bertahan hidup, sebagian besar produsen alutsista harus memodifikasi strategi
pemasaran mereka dengan cara memberikan `diskon'.
Apa
yang terjadi pada pasar alutsista internasional saat ini tidak jauh berbeda
dengan beberapa pusat perbelanjaan menjelang akhir tahun. Jelang akhir tahun, fenomena
yang lazim terjadi ialah diskon besar-besaran yang bertujuan menghabiskan
produk yang masih tersisa. Pendek kata, diskon besar-besaran menjadi ajang
untuk `jual rugi' atas produk-produk yang masih belum laku. Masalah muncul
ketika efek psikologis ‘diskon’ ternyata membuat konsumen menjadi irasional
dalam membeli barang. Harga yang murah dan spesifikasi yang--menurut
janji--tinggi kemudian hanya menjadi variabel utama dalam berbelanja. Akibatnya
konsumen sering kali terkecoh karena membeli barang bukan berdasarkan faktor
kebutuhan, melainkan karena euforia ‘diskon’.
Dalam
konteks itulah rasionalitas strategis kemudian harus mulai ditekankan dengan
mengacu pada kesesuaian barang yang dibeli dengan kebutuhan riil yang ada.
Artinya, pembelian alutsista apa pun dari negara lain tersebut harus
mempertimbangkan keselarasan spesifikasi dan daya tempurnya dengan fakta geostrategis
Indonesia.
Salah
satu isu yang terkait dengan kalkulasi strategis tersebut yaitu rencana
pengadaan MBT Leopard. Tidak dapat dimungkiri, MBT Leopard 2A6 merupakan salah
satu kendaraan tempur terbaik di dunia dengan bobot 63 ton. Dari konteks
kemampuan tempurnya, MBT Leopard bersanding dengan M1A2 Abrams kebanggaan
Amerika Serikat atau Merkava dari Israel. Hal yang menarik dari Leopard ialah
kemampuan mobilitasnya yang diklaim sangat fleksibel untuk medan relatif datar
atau di wilayah perkotaan. Dengan bobot, persenjataan, dan perawakannya yang
garang, tidak mengherankan jika MBT Leopard dijuluki `monster' darat dalam
dunia kemiliteran.
Akan
tetapi, masalah timbul ketika pemerintah ternyata be lum maksimal dalam meng
evaluasi spesifikasi kebu tuhan akan pengadaan MBT Leopard. Jika itu memang
akan ditempatkan di per batasan, persoalan kontur geografis dan infrastruktur
di perbatasan Indonesia menjadi pertimbangan utama. Secara strategis, satuan
pemukul di perbatasan harus dapat bergerak cepat dalam kondisi apa pun agar
mampu memberikan efek gentar kepada siapa saja yang mencoba mengancam
kedaulatan negara.
Oleh
karena itu, kemampuan mobilitas kendaraan tempur menjadi kunci dalam konteks
tersebut. Pertanyaannya sekarang, apakah MBT Leopard yang `monster' itu mampu
bergerak secepat dan selincah kendaraan tempur milik negara tetangga yang
ditempatkan di perbatasan? Hal itu patut mendapatkan perhatian karena
meningkatkan efek gentar tidak semudah hanya dengan memarkirkan si `monster '
di tapal batas.
Dalam
konteks itu pula, kita harus mengkritisi rencana pembelian helikopter serang
Apache yang baru-baru ini ramai dibicarakan di berbagai media. Helikopter
tersebut memang merupakan heli serang yang paling canggih di dunia, sekaligus
memiliki kelas yang lebih tinggi daripada helikopter serang Super Cobra. Apache
dilengkapi peluru kendali jarak jauh yang bisa ditembakkan puluhan kilometer
dari sasaran. Namun, harganya juga cukup tinggi. Harga satu unit Apache komplet
mencapai US$40 juta-US$60 juta atau kurang lebih US$400 juta untuk pengadaan
delapan unit helikopter Apache.
Rencana pembelian Apache hingga saat ini
belum dikomunikasikan, apalagi dibahas dengan DPR. Terlebih lagi, pengadaan
heli itu tidak terdaftar dalam Rencana Strategis 2009-2014. Saat ini DPR hanya
menyetujui usulan pemerintah untuk membeli delapan unit helikopter serang
seharga US$90 juta dan 16 unit helikopter serbu seharga US$170 juta. Semua
produk helikopter tersebut jenis Fennec dan Bell 412 yang menurut rencana
dibuat PT Dirgantara Indonesia.
Tepat Guna
Menjadi negara kuat dari sisi
kemampuan militer tidaklah murah. Namun, hal yang perlu diperhatikan ialah aspek
tepat guna dari modernisasi alutsista. Saat ini perekonomian Indonesia berada
dalam kondisi yang cukup stabil. Artinya, secara rasional kita berada dalam posisi
yang cukup menguntungkan sebagai konsumen dan seharusnya lebih selektif merespons
banyaknya tawaran hibah alutsista atau produk alutsista yang tersedia di
pasaran. Setiap rupiah APBN yang digelontorkan untuk membeli alutsista
merupakan hasil keringat rakyat. Oleh karena itu,
keuntungannya harus benar-benar dimaksimalkan. ●
buat apa si alutsista, padahal jelas di uud kita punya misi menegakan dunia di atas perdamaian dunia, alutsista bukan menjadi jalan damai, malah jalan peperangn
BalasHapus