Rabu, 03 Oktober 2012

Profesionalisme Politik dan Hukum


Profesionalisme Politik dan Hukum
Ahmad Maskur  ;  Jurnalis LPM Solidaritas,
Aktivis PMII IAIN Sunan Ampel Surabaya
SUARA KARYA, 03 Oktober 2012


Sebuah sistem akan berjalan dengan baik jika setiap komponennya berada pada posisi masing-masing secara tepat. Tidak ada intervensi dan benturan kepentingan antara komponen yang satu dan yang lainnya. Melainkan, berjalan sesuai dalam fungsi dan berarah sejajar dalam meraih sebuah tujuan. Kaidah ini berlaku secara umum dalam segala hal. Begitu pula dalam hal politik dan hukum.

Tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa peranan keduanya berada dalam posisi yang sangat urgen dalam upaya menciptakan kehidupan yang adil dan penuh dengan kesejahteraan. Sehingga, perpaduan fungsi secara proporsional dan terkombinasikan secara ideal antara keduanya sangatlah diperlukan.

Melalui pemberitaan media, kita ketahui bahwa kondisi perpolitikan dan dunia hukum bangsa Indonesia sedang mengalami tarik ulur kepentingan. Pada satu sisi, hukum melalui berbagai lembaganya berusaha untuk tetap konsisten dan komitmen menjadi panglima dalam memutus sebuah perkara.

Namun pada sisi yang lain, politisi dengan setumpuk kepentingannya terus mencoba mencari jalan untuk mempengaruhi kesucian hukum. Sehingga, keduanya seringkali keluar dari relnya. Hukum yang seharusnya menjadi panglima malah seringkali menjadi 'boneka' yang dengan bebas dapat dimainkan (digerakkan) oleh mafia politik. Sehingga, tidak ayal jika hukum hanya tajam ketika berhadapan dengan kasus kecil yang melibatan rakyat jelata dan sebaliknya menjadi tumpul ketika harus berhadapan dengan kasus besar yang melibatkan elite politik. Seperti, kasus Wisma Atlet, Hambalang dan lain sebagainya.

Menjadi hal yang biasa apabila kekerasan terjadi di mana-mana. Karena, masyarakat merasa tidak puas dan sudah tidak percaya lagi dengan penegakan hukum di negeri hukum ini. Masyarakat lebih suka bermain hakim sendiri daripada harus mengadukan ke meja hukum yang sering tak jelas juntrungannya.

Sementara itu, politik yang seharusnya menjadi tempat menyampaikan aspirasi rakyat justru sibuk mengurusi kepentingan pribadi atau kelompoknya. Dalam keadaan seperti ini maka sudah barang tentu rakyat akan menjadi korban. Sehingga, tidak heran jika belakangan ini kerap kali kita mendengar opini publik yang menyatakan bahwa politik itu kotor. Hal ini tak lain karena ulah para politisi yang amoral itu sendiri. Jika hal ini terus berlanjut, maka jangan harap rakyat akan lagi percaya pada para wakilnya.

Kaya Teoritis

Siapa yang tidak tahu bahwa konsep yang ada pada negara Indonesia sangatlah bagus. Dengan berbagai teori yang telah digali dari adat dan akar budaya bangsa sendiri mampu mengayomi seluruh lapisan bangsa Indonesia yang ditakdirkan pluralis-multikultural. Hal ini bisa kita lihat pada Pancasila sebagai falsafah, dasar dan ideologi bangsa. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sangatlah lentur dan bermaknakan luwes sehingga mampu mengayomi seluruh lapisan tanpa ada yang terugikan.

Dalam dunia politik pun demikian. Konsep-konsep teorinya telah dibangun secara apik. Mengenai konsep hak, tugas dan kewenangan politik telah disusun sedemikian baiknya demi kepentingan rakyat. Seakan benar-benar akan menyejahterakan rakyat jika teori tadi dilaksanakan secara tepat.

Begitu pula dengan dunia hukum, berbagai teori dan asas hukum telah dirancang dengan bagus. Dalam salah satu asasnya menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan rakyat jelata dan elite begara ketika berada di depan hukum (equality before the law). Jika kita sudah tahu akan kebagusan teori yang telah kita punya maka yang patut kita pertanyakan adalah bagaimana dengan langkah praksisnya? Baik pulakah atau justru sebaliknya?

Miskin Praksis

Rupanya keindahan teoritis yang dimiliki oleh bangsa Indonesia tidak diimbangi dengan moral praktis di lapangan. Di sana-sini masih seringkali terjadi penyelewengan hak, wewenang dan lain sebagainya sehingga praktik-praktik koruptif dan manipulatif seakan menjadi hal yang biasa. Bahkan, karena saking mengakarnya kebiasaan koruptif manipulatif tersebut oleh sebagian masyarakat sudah dianggap sebagai bagian dari budaya elite negara.

Hukum masih bisa ditawar, politik masih menjadi sarang kepentingan pemainnya. Sehingga, muncul berbagai istilah negatif baginya seperti politik transaksional dan lain sebagainya. Hal ini menjadi bagian dari kurangnya profesionalisme politik dan hukum. Masih sering terjadi intervensi di antara keduanya. Dan, yang tak kalah pentingnya, pemicu utama dari berbagai masalah yang sedang dihadapi bangsa Indonesia ialah karena segala hal diukur dengan uang. Sehingga, melupakan bahwa jabatannya ialah sebuah amanah yang harus dipertanggungjawabkan.

Ke depan, hal ini harus segera dihentikan. Bangsa ini sudah lama berharap akan adanya sebuah perubahan. Kekayaan teoritis segera diimbangi dengan kekayaan praksisnya. Pun apa artinya teori jika tidak diimbangi dengan praktik lapangannya? Bangsa Indonesia tidak membutuhkan koar retorika namun membutuhkan bukti nyata. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar