KOMPAS,
03 Oktober 2012
|
Belakangan ini merebak
keluhan tentang lunturnya nasionalisme di kalangan generasi muda.
Berhubung nasionalisme
umumnya ditanggapi sebagai kesediaan mengabdi sepenuhnya kepada Tanah Air,
sentimen patriotik, usaha, dan prinsip kebangsaan, generasi tua mengkhawatirkan
masa depan negara-bangsa. Siapa lagi yang bisa diandalkan kalau bukan pemuda?
Memang benar nasionalisme
terkait erat dengan keberadaan Tanah Air, kelahiran bangsa (nation), dan
kepemudaan. Namun, sentimen kebangsaan dari bangsa-bangsa tidak pernah persis
sama. Maka, bila bersamaan dengan kekhawatiran kita bertekad mengobarkan
kembali nasionalisme Indonesia, kita perlu lebih dahulu bertindak bagai
kimiawan ide yang menguraikan unsur-unsur konstitusional pokok dari
nasionalisme kita. Kita perlu mendapat gambaran: apa yang mendasari pola
timbul-tenggelamnya nasionalisme? Apa penyebab perubahan dari corak ideologi
yang terkait dengan hal tersebut? Apa yang menentukan kaum intelektual muda
menumbuhkembangkan nasionalisme?
Panggilan Sejarah: Dulu dan Kini
Mikroskop historis segera
menampilkan unsur penumbuh nasionalisme berupa mitos ”Mozesik” dan ”Yozefik”.
Mitos Mozesik mengandung ide tentang suatu tujuan, bahkan sebuah misi suci.
Sejak awal abad XIX, di Indonesia, ia berupa drama dari para intelektual muda.
Bagai diilhami kisah Mozes (Nabi Musa) yang terpanggil untuk membebaskan
kaumnya dari perbudakan Pharao (Firaun), digerakkan oleh selfless idealism,
tanpa pamrih, mereka ambil tanggung jawab atas perjuangan membebaskan orang
Indonesia dari penjajahan Belanda.
Di samping mitos Mozesik,
ada mitos Yosefik, mengenai si bungsu dari 12 anak Yakob. Ia yang tecerdas,
yang mampu melihat ”lebih jauh” daripada abang- abangnya dan karena itu dibenci
oleh mereka. Jika mitos Mozesik mitos pemberontakan melawan Pharao, menentang
kemapanan dan ketakadilan, mitos Yozefik menjelaskan natur dari misi
historis—pemunculan suatu elite baru atau sebuah kelas pilihan—dalam dunia
politik.
Ide nasionalisme yang
terkait langsung dengan ide kemerdekaan nasional menyentuh pemuda kita sebagai
suatu panggilan romantika perjuangan dan sebuah sense of mission. Hidup adalah
sebuah misi. Memang belum menyentuh semua pemuda yang ada, baru segelintir kecil
di antara yang terpelajar. Dengan jumlah relatif sedikit mereka berani memenuhi
misi sucinya. Mereka menyebut dirinya ”Jawa muda”, ”Sumatera muda”, ”Minahasa
muda”, ”Ambon muda”, ”Muslimin muda” dan lain-lain, untuk membedakan diri dari
golongan tua sesuku atau seiman.
Selaku ”golongan muda”
mereka menyatakan diri sensitif terhadap imbauan ”jiwa baru”, responsif
terhadap tantangan ”zaman baru”. Dengan pola pikir baru tersebut, pada 28
Oktober 1928 mereka mengadakan sumpah berbangsa satu, bertanah air satu, dan
menjunjung tinggi bahasa persatuan. Dan, yang serba satu ini adalah
”Indonesia”.
Kedua mitos tadi kiranya tak
lagi ”menyetrum” sanubari muda-mudi kita dewasa ini. Bagi mereka, kemerdekaan
nasional adalah taken for granted. Nasionalisme yang berperan begitu menentukan
dalam keberhasilan mengusir penjajah dari bumi Ibu Pertiwi merupakan kisah
tempo doeloe. Concern hidup mereka sungguh lain. Mereka meniru sikap elite
penguasa yang juga begitu. Misi hidup ini, bagi mereka adalah mencari
kesenangan individual, kedudukan formal, kekuasaan politik, dan uang. Titik!
Ideologi bisa dan pernah
berperan besar dalam menumbuhkembangkan nasionalisme. Ideologi adalah sistem
ide-ide yang membentuk doktrin politik, sosial, ekonomi, budaya, militer, apa
saja, yang mengilhami kebijakan sesuatu pemerintah, rezim, partai. Selaku
ramuan ide-ide yang sekaligus empiris dan evaluatif terhadap keadaan dan sistem
kehidupan dalam arti luas, ia mencetuskan suatu drama yang merupakan makna dari
proses historis, bersamaan dengan petunjuknya tentang peran dari elite
pemimpin/penguasa, kelas pilihan dan kulminasi historis.
Bung Karno telah menempa
ideologi seperti itu, dinamakan ”Pancasila”, kemudian dibaptis menjadi filosofi
dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berhubung ideologi
Pancasila diakui penting sekali bagi eksistensi Indonesia, setiap pemerintah
yang berkuasa mengharuskannya jadi bahan pelajaran di semua lembaga pendidikan
nasional.
Namun, Pancasila belum bisa
dikualifikasi secara akademis sebagai filosofi yang worthy by the name. Ia baru
berupa satuan- satuan ide independen. Cemerlang bagai butir-butir mutiara yang
lepas, belum terjalin berupa kalung, belum matang sebagai subyek kajian
universiter. Karena itu, pembelajaran formalnya bertahan secara efektif hanya
di SD. Di sini ia masih pantas diperlakukan sebagai hafalan belaka, berhubung
kontradiksi yang tersembunyi di antara sesama satuan pokok pikiran belum
memerlukan kupasan yang kritis.
Maka, di tingkat
universitas, Pancasila hanya jadi obyek ejekan kalau diperlakukan sebagai
hafalan. Ia kalah bersaing dengan marxisme, sosialisme, komunisme sebagai
ideologi, yang secara logis berkembang dari filosofi Hegelian dan Kantian yang
berpenalaran begitu komprehensif. Juga dengan kapitalisme/liberalisme yang lahir
dari filosofi natural law yang begitu solid. Pembahasan filosofis dari ideologi
tak bakal menyembunyikan kontradiksi yang dikandung setiap ”isme” karena—berkat
uraian filosofis yang holistik—kontradiksi menjadi retak yang membawa ukir,
bukan retak yang mengakibatkan belah. Mahasiswa dilatih menjadi intelektual
yang terdorong selalu mencari kriteriologi baru untuk bisa membedakan antara
”pemahaman” dan ”justifikasi”.
Revolusi dan Nasionalisme
Revolusi pasti menggelorakan
nasionalisme. Antara kedua hal tersebut memang terjadi simbiosis mutualisme.
Kini ada anggapan revolusi sudah selesai. Semua usaha kolektif demi mewujudkan
aspirasi revolusi diyakini sebagai urusan iptek belaka. Penalaran dan semangat
keilmuan yang katanya bersifat universal cukup menanganinya.
Lagu-lagu perjuangan yang
diciptakan dan dinyanyikan oleh para pejuang kemerdekaan dulu tak terdengar
lebih syahdu di telinga muda-mudi sekarang daripada lagu-lagu pop yang
mendunia. Kalau mereka mengenal beberapa di antaranya, itu karena sewaktu sekolah
dulu pernah diajarkan sebagai lagu wajib.
Tempat bersejarah yang
berpotensi besar untuk, paling sedikit, membuat bara nasionalisme tetap berapi,
juga sudah musnah. Ia dirobohkan. Ironisnya oleh Bung Karno sendiri, tokoh yang
selalu mengingatkan kita: jangan sekali-kali melupakan sejarah. Tempat itu
adalah rumah berhalaman luas di Jl Proklamasi (dulu Jl Pegangsaan Timur),
tempat tinggal Bung Karno sendiri, tempat dia—didampingi Bung Hatta—membacakan
naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Di tempat inilah saharusnya upacara
peringatan Hari Kemerdekaan pada setiap 17 Agustus diadakan. Inilah tempat
sakral generasi muda mengheningkan cipta bagi arwah para pahlawan, melantunkan
himne nasional: ”Indonesia Tanah Airku... di sanalah aku berdiri jadi pandu ibuku...
Bangunlah jiwanya... Hiduplah Indonesia Raya!”
Pada pagi 17 Agustus
baru-baru ini saya membawa cucu, anak lelaki kelas II SMP, ke tempat bersejarah
tersebut. Melalui aneka kisah perjuangan Tentara Pelajar yang saya ceritakan,
saya harap pemikirannya yang masih sederhana bisa menangkap pesan heroik bahwa
orang yang pantas merdeka hanyalah dia yang setiap hari berusaha menguasainya
lagi.
Kelihatannya tak bakal ada
upacara apa pun di sini. Ada kesibukan beberapa orang membongkar tarup dan
memindahkan kursi ke truk. Rupanya malam sebelumnya ada pegelaran musik untuk
umum. Ketika cucu saya bertanya mengapa ’rumah proklamasi’ dibongkar dan oleh
siapa, saya tidak segera menjawab. Jawaban saya dahului dengan kata-kata, ”...
sebagai orang senang melukis, eyang menyesal mengapa rumah itu dulu tak eyang
abadikan dalam buku sketsa. Padahal, ketika dulu masih kuliah di UI, Salemba,
eyang berkali-kali tidur siang di ruang tengah rumah itu....” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar