Selasa, 02 Oktober 2012

Pelemahan KPK Bukan Pilihan


Pelemahan KPK Bukan Pilihan
Denny Indrayana ;  Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SINDO, 02 Oktober 2012


Ada aksi, pasti memancing reaksi. Sama halnya dengan ikhtiar pemberantasan korupsi. Semakin giat KPK memberantas korupsi, semakin gencar pula serangan balik kepada KPK.

Semakin banyak kasus korupsi dibongkar KPK, semakin kuat pula corruptors fight back. Konon, yang paling anyar dan yang paling ramai diperbincangkan akhir-akhir ini adalah rencana revisi UU KPK. Tetapi, saya masih optimistis, inisiatif DPR untuk mengubah UU KPK itu masih akan melahirkan dinamika di internal DPR sendiri. Bagaimana pun, KPK masih merupakan salah satu garda terdepan dalam memberantas korupsi.

Maka, pelemahan KPK pasti akan menghadapi tentangan di dalam DPR sendiri. Apalagi dukungan publik agar KPK tidak dilemahkan sangat kuat terasa. Saya meyakini, masih ada anggota DPR yang paham benar bahwa KPK adalah roh reformasi, khususnya dalam memberantas korupsi. Hanya orang yang berpikir dan berperilaku koruptif yang ingin KPK dilemahkan, yang berarti pula membunuh reformasi.

Sayangnya, upaya pelemahan, bahkan pembubaran KPK, pasti tidak akan pernah hilang— seiring dengan korupsi yang tidak mudah dilenyapkan. Dalam proses legislasi, upaya melemahkan KPK bisa muncul dalam dua modus: constitutional review dan legislative review UU KPK. Constitutional review adalah pengujian konstitusionalitas UU KPK di Mahkamah Konstitusi.

Sedangkan legislative review adalah upaya perubahan UU KPK di DPR. Dalam satu kesempatan,Moh Mahfud MD, Ketua MK, menginfokan bahwa UU KPK adalah salah satu peraturan yang paling sering diuji ke hadapan meja merah MK. Sudah lebih kurang 17 kali UU KPK diuji konstitusionalitasnya berhadapan dengan UUD 1945.

Berbagai kewenangan strategis KPK,seperti penyadapan, penuntutan, tidak adanya SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) dan lainlain diuji berulang kali ke hadapan sembilan hakim konstitusi. Untungnya, MK konsisten dengan semangat pemberantasan korupsi, dan selalu menolak menghapuskan kewenangan strategis KPK.

Lebih jauh MK menegaskan seluruh kewenangan KPK yang dipersoalkan tersebut sejalan dengan kebutuhan pemberantasan korupsi, karenanya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Seingat saya, hanya ada satu ketentuan terkait kewenangan di dalam UU KPK yang pernah dibatalkan MK, yaitu sehubungan dengan keberadaan Pengadilan Tipikor. MK memutuskan, Pengadilan Tipikor perlu dibuat dalam UU tersendiri.

Maka,lahirlah UU tentang Pengadilan Tipikor. Ketika UU Pengadilan Tipikor dibahas pada tahun 2009, sempat muncul pula wacana untuk menghilangkan kewenangan strategis KPK, termasuk yang terkait dengan penuntutan dan penyadapan. Perdebatan substansinya hampir sama dengan yang muncul saat ini.

Penyadapan harus seizin Ketua Pengadilan Negeri dan penuntutan dihilangkan dari KPK, dengan argumen hanya boleh dimiliki oleh kejaksaan. Padahal saat itu yang sedang dibahas bukanlah UU KPK,melainkan RUU Pengadilan Tipikor. Saya ingat benar, mengusulkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk mengadakan rapat terbatas bidang polhukam.

Di dalam rapat itu dibahas dua RUU: kerahasiaan negara dan Pengadilan Tipikor. Terkait RUU Kerahasiaan Negara, Presiden memerintahkan agar drafnya ditarik dulu dari pembahasan. Sedangkan sehubungan RUU Pengadilan Tipikor, Presiden dengan jelas menginstruksikan bahwa posisi pemerintah jelas.

Pemerintah tetap menginginkan KPK yang kuat dan efektif. Maka, pemerintah menolak usulan dan semua proposal yang bertendensi melemahkan KPK. Dengan jelas Presiden SBY meminta Menkumham saat itu, Bapak Andi Mattalata, untuk membawa posisi pemerintah itu ke persidangan pembahasan RUU Pengadilan Tipikor. Alhamdulillah, dengan posisi pemerintah yang jelas tersebut, akhirnya RUU Pengadilan Tipikor berhasil digagalkan dari ikhtiar untuk melemahkan KPK.

Itu posisi pemerintah pada saat pembahasan RUU Pengadilan Tipikor di tahun 2009. Di tahun 2011, ketika membacakan pidato kenegaraan 16 Agustus, Presiden SBY kembali menegaskan penolakannya atas pelemahan KPK. Presiden mengatakan, “Kita juga harus mengakui bahwa efektivitas pemberantasan korupsi masih terus harus kita tingkatkan. Karena itu, regulasi antikorupsi harus terus disempurnakan.

Lembaga-lembaga antikorupsi seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan serta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, harus terus kita perkuat dan kita dukung efektivitas kerjanya. Upaya untuk melemahkan KPK harus kita cegah dengan sekuat tenaga”. Garis kebijakan Presiden SBY tersebut yang kami pedomani ketika menegaskan “pelemahan KPK bukan pilihan”.

Itu artinya kewenangan strategis KPK harus dipertahankan. Kewenangan penyadapan tidak ada masalah dalam posisi seperti sekarang. Aturan internal KPK, serta audit eksternal oleh Kemenkominfo telah cukup menjadi dasar. Mensyaratkan izin dari ketua pengadilan negeri justru sangat membahayakan efektivitas penyadapan itu sendiri. Bagaimanapun penyadapan harus betul-betul kedap dan rahasia, terhindar dari kemungkinan kebocoran.

Tidak melemahkan KPK juga berarti, tidak menghilangkan kewenangan KPK untuk menuntut. Tidak benar bahwa kewenangan penuntutan hanya boleh dimiliki oleh kejaksaan. Justru penyatuan kewenangan untuk menyelidik, menyidik dan menuntut di tangan KPK adalah salah satu kekuatan utama.

Apalagi fakta persidangan membuktikan, penyatuan kewenangan penuntutan menyebabkan tidak ada satu pun tersangka korupsi yang berhasil lolos dari jeratan KPK.Lebih jauh, absahnya kewenangan penuntutan di KPK tersebut telah pula dikuatkan konstitusionalitasnya oleh putusan MK.

Tidak melemahkan KPK juga berarti, tidak perlu menambahkan kewenangan SP3 kepada KPK. Argumen bahwa tidak adanya SP3 pada KPK adalah pelanggaran HAM, telah juga diuji di hadapan MK. Putusan MK jelas menolak argumentasi demikian. Faktanya, KPK tetap berhati-hati dan hanya menetapkan seseorang menjadi tersangka jika memang telah ada minimal 2 alat bukti yang sangat kokoh.

Jadi, ketiadaan kewenangan SP3 justru telah melahirkan self-control yang efektif di internal KPK untuk hati-hati dalam menetapkan tersangkanya seseorang. Terakhir, ide untuk membentuk Dewan Pengawas juga harus dikritik jika kita ingin KPK tetap kuat. Sudah jelas, KPK adalah komisi negara independen. Maka, ketergantungannya harus dibuat seminim mungkin untuk menghindari kemungkinan intervensi.

Saat ini secara keuangan KPK diawasi oleh BPK, secara kinerja diawasi oleh DPR. Maka, penambahan Dewan Pengawas berpotensi mengebiri independensi KPK, dan karenanya wajib ditolak. Pemberantasan korupsi di Indonesia mensyaratkan KPK yang semakin efektif dan semakin kuat. Menghilangkan kewenangan-kewenangan strategis KPK sama saja dengan mengerdilkannya menjadi lembaga tanpa taring ketika berhadapan dengan para koruptor.

Untuk Indonesia yang lebih bersih, lebih antikorupsi, pelemahan KPK pasti bukan pilihan. Mari terus berjuang bersama melawan pelemahan KPK, melawan serangan balik para koruptor. Keep on fighting for the better Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar