Pangan dan
Nasib Petani
A Kardiyat Wiharyanto ; Dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
|
SUARA
KARYA, 24 Oktober 2012
Dalam peringatan Hari
Pangan Sedunia (HPS) 16 Oktober 2012, kita diingatkan kembali pada masalah
ketahanan pangan dan nasib petani. Bukan rahasia lagi bahwa petani yang telah
bekerja keras dan banyak berjasa dalam usaha ketahanan pangan, sedikit sekali
yang mengalami peningkatan kesejahteraan hidup. Hal ini dapat dilihat apabila
dibandingkan dengan meningkatnya kebutuhan hidup, biaya produksi tanah,
kebutuhan pendidikan dan kesehatan, apalagi jika dibandingkan dengan mereka
yang bekerja di sektor industri dan jasa.
Petani-petani yang
semula relatif mandiri dalam menentukan jenis tanaman, cara pemupukan,
pemeliharaan serta cara pemasaran, kini tinggal menjadi kelompok yang semakin
terpinggirkan posisinya dalam menentukan penjualan atau cara pemasaran, serta
dalam memperjuangkan kepentingannya.
Adanya kebijakan
pemerintah mengimpor beras dengan sendirinya memojokkan petani di wilayah
yang surplus. Para petani merasa bahwa pemerintah tidak berpihak pada
kepentingan petani kecil. Sebab dengan impor beras itu menyebabkan harga
dasar gabah tetap rendah. Padahal petani yang merupakan mayoritas penduduk
Indonesia selain telah banyak berjasa bagi negara juga selalu menjadi pangkal
dan tujuan produksi pangan.
Jika ditelusur dari
sejarah perjalanan bangsa ini, nasib petani boleh dikatakan belum pernah
sejahtera. Di samping sukarnya mendapatkan pupuk maupun obat pemberantas
hama, para petani juga tidak diuntungkan oleh harga dasar gabah yang relatif
rendah. Nasib petani seperti itu seolah tidak pernah dipandang serius oleh
pemerintah, dan juga seolah tidak ada yang membelanya.
Bertolak dari kondisi
yang semakin terpinggirkan itu, maka layak dan sepantasnya apabila pemerintah
tetap harus melindungi kepentingan para petani itu. Di samping itu,
pemerintah juga harus mendukung prakarsa-prakarsa petani dalam rangka
mengembangkan model pertanian yang berwawasan lingkungan (ecologically
sound), murah secara ekonomis (economically feasible), sesuai dengan budaya
setempat (culturally adapted), dan berkeadilan sosial (socially just) sejalan
dengan arah perjuangan bangsa.
Walaupun di negeri ini
sudah ada petani yang sangat maju, namun tidak ada kaum tani yang tidak
terkena dampak industri dan komunikasi modern. Kaum tani sederhana dekat
dengan tanah dan dengan alam. Mereka hidup berdekatan dan saling memberi
perhatian satu sama lain. Dengan kata lain, mereka mengalami harmoni kosmis
maupun harmoni sosial. Namun situasi baru lebih dialami sebagai disharmoni
baik kosmis maupun sosial.
Kaum tani tidak selalu
dalam situasi bebas untuk mengolah, memelihara dan mengembangkan tanah
pertaniannya, entah karena peraturan daerah, atau karena pencemaran industri.
Penghisapan kaum tengkulak membuat kaum tani tidak menikmati hasil
keringatnya secara wajar.
Sejak digalakkan
ekspor nonmigas, perebutan tanah semakin menjadi-jadi, yang tidak jarang
disertai teror dan manipulasi sebagaimana yang dikeluhkan para petani kecil.
Jadi, bukan hanya hasil keringat yang tidak bisa dinikmati, melainkan modal
tanah yang digerogoti. Berhadapan dengan penguasa dan pengusaha, kaum tani
kecil tidak dapat polah.
Dalam proses
pengambilan keputusan maupun proses produksi dan jual beli dalam kehidupan
politis dan ekonomis, kaum tani kecil tidak menjadi subyek melainkan sebagai
obyek. Kepentingan mereka kurang atau tidak diperhitungkan. Mereka semakin
dicabut dari situasi harmoni dan semakin memasuki disharmoni, baik kosmis
maupun sosial.
Meskipun para petani
selalu mengalami panen, namun tidak diikuti dengan meningkatnya kesejahteraan
ekonomi petani dan rakyat di pedesaan pada umumnya. Harga gabah yang diterima
para petani, walaupun selalu diperbaiki oleh pemerintah, masih selalu rendah
dibandingkan dengan harga yang diterima oleh produsen di sektor industri.
Rendahnya harga pokok pertanian, khususnya gabah, menyebabkan kesejahteraan
petani belum meningkat. Tetapi, tidak berarti petani miskin, hanya memang
peningkatan itu relatif kecil bila dibanding industri.
Perbedaan kesejahteraan
antara petani dan para produsen di sektor industri sedemikian besarnya
sehingga terjadi ketidakadilan. Hal ini dapat dilihat dalam kenyataan
sehari-hari bahwa para petani harus selalu hidup dengan pas-pasan sementara
produsen barang industri hidup serba mewah.
Para petani Indonesia
berabad-abad lamanya telah mampu mencukupi kebutuhan pangan keluarga mereka
karena mereka mampu menciptakan teknologi sendiri dan mau bekerja keras. Jika
diamati di semua wilayah memang tidak ada petani Indonesia yang malas, sebab
malas akan membawa mati menghadapi segala rintangan alam yang mereka hadapi.
Rendahnya
kesejahteraan petani bukan karena sikap mental para petani. Sektor pertanian,
khususnya pertanian pangan adalah sektor ekonomi yang diatur pemerintah. Campur
tangan pemerintah ini pada hakikatnya merubah petani dari produsen menjadi
pekerja dalam proses produksi pangan. Seperti halnya seorang buruh, mereka
tidak bebas menentukan apa yang mereka ingin lakukan.
Seperti halnya buruh,
petani padi pada akhir panen menerima upah berupa harga dasar gabah yang
ditentukan oleh pemerintah tanpa konsultasi dengan petani. Yang menarik di
sini adalah bahwa jarang petani mampu menjual padi mereka berdasarkan harga
dasar yang ditentukan pemerintah.
Bertolak dari posisi petani
tersebut, maka pemerintah perlu lebih memperhatikan nasib mereka itu.
Dituntut konsistensi pemerintah terhadap kebijakan pembangunan sektor
pertanian yang mengarah ke stabilitas ketahanan pangan dengan memperhatikan
nasib petani. Ketahanan pangan ini sudah menjadi prioritas kebijakan
nasional, namun nasib petani belum mendapat prioritas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar