Selasa, 02 Oktober 2012

Pancasila Masih Saktikah?


Pancasila Masih Saktikah?
Sulardi ;  Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Malang
REPUBLIKA, 01 Oktober 2012


Pada masa Orde Baru berkuasa, setiap 1 Oktober selalu diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Saat ini, peringatan hari kesaktian itu terasa sepi, tidak semeriah pada era Orde Baru. Apakah itu pertanda Pancasila sudah tidak sakti lagi? Atau, justru Pancasila sedang sakit?

Problematik kesaktian dan pengakuan terhadap nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Pancasila itu terlihat dengan makin sulitnya ditemukan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia ini. Galibnya, suatu bangsa yang berideologi, apa pun ideologi yang dimilikinya, pastilah perilaku dalam kehidupan sehari-hari dijiwai oleh spirit ideologi yang diyakinya itu.

Bangsa dan negara Indonesia sampai hari ini masih berideologi Pancasila. Oleh karena itu, menjadi sesuatu yang merisaukan kita semua jika ternyata kita kesulitan menemukan nilai-nilai Pancasila itu dalam berkehidupan dan pergaulan bangsa ini. Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, sebelum Ir Soekarno menyampaikan weltanschauung bangsa Indonesia, beliau menyampaikan, kesehatan, perasaan bahagia, otak yang cerdas, kehidupan yang sejahtera bukanlah syarat sebagai bangsa yang akan merdeka. Justru, menjadi tugas negaralah saat telah merdeka untuk menyehatkan, mencerdaskan, membahagiakan, dan menyejahterakan rakyatnya.

Dari titik ini, kita dapat menyimak pesan mendalam proklamator kita bahwa negara yang akan dibangun itu mempunyai kewajiban untuk membahagiakan dan memerdekakan rakyatnya. Cara membahagiakan dan memerdekakan rakyat Indonesia itu tentunya dalam koridor nilai-nilai Pancasila.

Pada 1 Oktober 2012 ini, pantas dita nyakan, apakah Pancasila itu masih sakti atau barangkali sedang sakit? Inilah yang menjadi pertanyaan. Di manakah sebenarnya nilai-nilai Pancasila itu berada ketika dalam kehidupan dan berbangsa di Tanah Air ini terasa kering dari rasa Pancasila?

Dalam ajaran Pancasila, kita dikenalkan dengan sila Ketuhanan yang Maha Esa. Sila ini mengandung nilai-nilai luhur akan kebebasan beragama bagi warga negara Indonesia. Maksud kebebasan beragama itu adalah kebebasan untuk menentukan pilihan beragama berdasarkan agama-agama yang diakui oleh negara Indonesia.

Kebebasan beragama tidak bisa diartikan sebagai kebebasan untuk tidak beragama. Inilah makna kebebasan yang berbeda dengan pemahaman Barat yang mengartikan kebebasan untuk tidak beragama masuk dalam pengertian kebebasan beragama. Sayangnya, nilai-nilai luhur kebebasan beragama belum menjadi bagian dalam perilaku bangsa ini.

Sering kali, di negara ini, dengan sangat mudah ditemukan konflik-konflik horizontal yang dilatarbelakangi kepentingan-kepentingan dalam beragama. Bahkan, sesuatu yang cukup aneh apabila kita dapati pada setiap perayaan hari besar agama justru tempat-tempat ibadah dijaga ketat oleh kepolisian.

Jika terbangun rasa kebebasan beragama, pastilah akan muncul rasa solidaritas dalam beragama sebab masing-masing memiliki kebebasan yang menumbuhkan rasa toleransi terhadap pemeluk agama yang lain. Toleransi akan melahirkan perasaan saling menghormati antara pemeluk agama yang sama maupun pemeluk agama yang berbeda.

Demikian halnya dengan nilai-nilai keempat sila lainya, kemanusian yang adil dan beradab; persatuan Indonesia; kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan; dan sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan kesatuan teks yang utuh.

Penguasa di negara ini, baik di tingkat pusat maupun lokal, tidak memahami bagaimana mem buat kebijakan yang mencerminkan kandungan nilai-nilai Pancasila.

Alih-alih membuat kebijakan yang berpancasila, mereka justru melakukan pembiaran atas terjadinya pertikaian antarpemeluk agama sehingga konflik menjadi sangat berlarut-larut. Hal ini justru melukai dua hal, pertama kebebasan beragama, kedua rasa persatuan sebagai bangsa Indonsia.

Hal yang paling dirasakan dalam kehidupan sehari-hari adalah diletakannya nilai-nilai kemanusiaan di level yang paling rendah, harkat martabat manusia di biarkan tercerabut dari warga ini. Setiap hari, kita dengan mudah menemukan penganiayaan, pembunuhan, pelecehan, penghinaan terhadap nilai-nilai humanisme. Hal tersebut pada gilirannya akan meniadakan rasa keadilan hukum sekaligus keadilan sosial.

Lebih parah lagi, ketika demokrasi model Barat diadopsi secara mentah-mentah oleh bangsa ini. Dalam praktik demokrasi, bangsa ini lebih mengutamakan kepentingan individu dan perlindungan terhadap perseorangan.

Dalam kehidupan jagat politik yang elite—politiknya berorientasi untuk mendapatkan kekuasaan dan jabatan—bangsa ini telah terasing dengan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi. Bangsa ini tidak mempunyai kemampuan untuk berperilaku atas dasar nilai luhur yang termuat dalam Pancasila. Sesungguhnya, Pancasila itu ada di mana? Masih saktikah Pancasila itu?

Marilah bersama-sama kita temukan kembali nilai-nilai Pancasila dalam diri kita yang tercermin dalam perilaku kehidupan kita sehari hari, tanpa membedakan sebagai apa dan berperan apa kita dalam berkehidupan dan berbangsa di negara ini. Untuk menunjukkan bahwa Pancasila masih sakti, paling tidak untuk menjaga kerukunan bangsa Indonesia dan panduan dalam berbangsa dan bernegara di negara ini, Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar