Nasionalisme
Kuliner
Pramudito ; Mantan Diplomat, Pemerhati Hubungan
Internasional
|
SUARA
KARYA, 22 Oktober 2012
Masih
ingat slogan Bung Karno yang terkenal dan hingga kini tetap dikagumi.
"Berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi dan berkepribadian
dalam kebudayaan." Slogan itu dicetuskan untuk menghadapi apa yang
disebut Bung Karno sendiri sebagai neo-kolonialisme.
Menurut
Bung Karno, kolonialisme dalam bentuk barunya tidak lagi berupa kolonisasi
secara militer, tapi juga dalam bidang politik, ekonomi dan kebudayaan dengan
cara-cara yang lebih halus. Itulah yang disebut neokolonialisme. Kita masih
dapat mencamkan pesan Bung Karno itu dengan situasi kekinian di negara kita.
Bila
kita keliling tanah air pandangan mata tidak akan lepas dari logo-logo
kuliner asing di tepi jalan, baik di kota besar, sedang, bahkan juga kota
kecil. Diantaranya Kentucky Fried Chicken/KFC, Pizza Hut, Mac Donald dan
lain-lain. Kita dapat menebak apakah itu sebagai wujud neo-kolonialisme dalam
bidang kebudayaan, atau ekonomi?
Keduanya
bisa dijawab. "Kalau anda setuju" baik kebudayaan maupun ekonomi.
Menikmati kuliner asing ketimbang kuliner asli, bagi yang menyukainya membawa
rasa bangga tersendiri. Merasa lebih tinggi gengsinya, dibandingkan dengan
makan di warung gado-gado, pecal, nasi uduk atau bubur ayam.
Menikmati
kuliner asing sudah merupakan kebudayaan baru bagi sebagian orang Indonesia.
Itulah segi budayanya. Dari aspek ekonomi, setiap potong daging ayam atau
donat merk asing yang dimakan, sudah tentu akan menambah kocek
perusahaan-perusahaan kuliner internasional yang pusatnya entah di AS atau
salah satu negara besar di Eropa. Apa boleh buat, bisa saja kita berpendapat
peringatan Bung Karno sekian puluh tahun yang lalu itu benar. Dari segi ini
neokolonialisme bidang ekonomi dan kebudayaan telah menyerbu rumah kita,
entah melalui serambi depan atau belakang.
Apalagi,
pernah disebut-sebut sejumlah perusahaan waralaba AS akan masuk (lagi) ke
Indonesia. Meski belum jelas perusahaan waralaba apa saja yang akan masuk ke
Indonesia, tetapi dapat diperkirakan perusahaan itu akan bergerak dalam
bidang P dan D atau makanan dan minuman.
Mengomentari
beberapa perusahaan waralaba AS yang akan masuk ke Indonesia tersebut,
penjaga pojok koran Kompas, Mang Usil berkomentar, "...bisa-bisa harga
bintang lima rasa kaki lima." Ini berdasarkan fakta bahwa waralaba asing
yang sudah dan akan beroperasi di Indonesia, khususnya gerai makanan atau
restoran yang di negara asalnya dikenal sebagai fast food atau restoran cepat
saji dan menjadi makanan orang kebanyakan karena harganya yang murah, di
Indonesia statusnya naik menjadi makanan elit dengan harga yang lumayan mahal
untuk ukuran rata-rata kantong penduduk Indonesia.
Dengan
harga yang hanya terjangkau orang yang berkantong tebal, jelas predikat fast
food sudah hilang. Ditambah lagi jenis makanan yang disajikan bukan jenis
makanan yang akrab dengan lidah orang Indonesia. Baru belakangan ini saja
dalam rangka lebih banyak lagi menarik konsumen Indonesia, beberapa gerai
kuliner asing mulai menyajikan nasi sebagai makanan pendamping disamping
kentang goreng.
Perusahaan-perusahaan
kuliner asing ini diperkirakan memangsa pasar kalangan generasi muda
Indonesia. Kelak dalam beberapa tahun lagi dan menginjak generasi berikutnya,
sebanyak mungkin lapisan masyarakat Indonesia sudah tergila-gila semua dengan
kuliner asing ini dan mulai meninggalkan kuliner Indonesia asli.
Apakah
rakyat Indonesia sebagai konsumen berdiam diri saja menghadapi
neo-kolonialisme kuliner asing ini? Ternyata tidak. Mereka melakukan
"perlawanan". Bentuk perlawanannya bermacam-macam. Kuliner asli
tetap bertahan dengan harga yang jauh lebih murah terjangkau oleh rakyat
kebanyakan. Makan bubur ayam masih cukup Rp 5-6 ribu. Nasi uduk atau kuliner
makan siang seperti nasi padang, gado-gado, pecal dan lain-lain dengan harga yang
tidak lebih dari Rp 10 ribu per porsi, apalagi di luar Jakarta.
Anda
boleh hitung di luar kepala berapa juta porsi nasi Padang yang dikonsumsi
penduduk DKI Jakarta dan sekitarnya (Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi). Di
DKI Jakarta anda masih bisa memperoleh seporsi nasi Padang Rp 10 ribu,
asalkan jangan memilih daging rendang, tapi cukup dengan lauk sepotong sedang
ikan saja.
Belum
lagi di Warung Tegal (warteg especially). Sebagian besar orang Jawa barat
tetap memfavoritkan kuliner Sunda yang statusnya juga meningkat di
gerai-gerai makanan elit. Belum lagi kuliner Tionghoa (sudah jadi bagian
kuliner Indonesia) yang juga ikut melakukan "perlawanan" terhadap
ekspansi kuliner asing dari Barat. Bukan itu saja. Pengusaha-pengusaha kecil
kuliner Indonesia juga melakukan perlawanan dengan caranya sendiri,
mendirikan KFC-KFC kaki lima menggunakan gerobak lengkap dengan tulisan
"fraid ciken" yang gurih dan krispy. KFC kakilima ini jelas mematok
harga kaki lima, dan soal rasa mungkin tak jauh berbeda dengan KFC asli!
Perlawanan
lain adalah meningkatkan status gerai kuliner Indonesia asli, bukan lagi
sekedar warung atau restoran kecil, tapi menjadi restoran besar di
tempat-tempat strategis dan mal-mal. Sebagian orang Indonesia yang masih
punya rasa kebangsaan masih mau menikmati makan siang atau malam dengan
menikmati kuliner Indonesia asli meskipun dengan pertimbangan tempat.
Ya, apa boleh buat, globalisasi di bidang kuliner memang tidak
terelakkan. Namun, mudah-mudahan masih ada sisa nasionalisme bangsa
Indonesdia menghadapi neokolonialisme kuliner asing ini. Bukan hanya masalah
perut, tetapi juga harga diri bangsa! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar