Mencari
Aktualisasi Revolusi Jihad
Muhammadun ; Analis
Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Jogjakarta
|
JAWA
POS, 22 Oktober 2012
TEPAT 22 Oktober 2012 hari ini, bangsa Indonesia, khususnya arek
Surabaya, mestinga mengenang jejak perjuangan yang tak terlupakan, yakni 67
tahun Resolusi Jihad. Resolusi Jihad inilah yang dinilai menjadi cambuk
paling utama bagi Boeng Tomo untuk menggelorakan semangat perjuangan
menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia. Berjuang melawan penjajah yang
memuncak pada 10 November 1945 itu bukan terjadi begitu saja. Tetapi, itu
ditiup oleh Resolusi Jihad yang dikobarkan KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober
1945.
Dalam catatan M. Mas'ud Adnan (2009) dijelaskan bahwa meski bangsa Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, 53 hari kemudian NICA (Netherlands Indies Civil Administration) nyaris mencaplok kedaulatan RI. Pada 25 Oktober 1945, 6.000 tentara Inggris tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Pasukan itu dipimpin Brigadir Jenderal Aubertin Walter Sothern Mallaby, panglima brigade ke-49 (India). Penjajah Belanda yang sudah hengkang pun membonceng tentara sekutu itu. Praktis, Surabaya genting. Untung, sebelum NICA datang, Soekarno sempat mengirim utusan untuk menghadap Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari di Pesantren Tebuireng, Jombang. Melalui utusannya, Soekarno bertanya kepada Mbah Hasyim, "Apakah hukumnya membela tanah air? Bukan membela Allah, membela Islam, atau membela Alquran. Sekali lagi, membela tanah air?" Mbah Hasyim yang sebelumnya sudah punya fatwa jihad kemerdekaan bertindak cepat. Dia memerintahkan KH Wahab Chasbullah, KH Bisri Syamsuri, dan kiai lain untuk mengumpulkan kiai se-Jawa dan Madura. Para kiai itu lantas rapat di Kantor PB Ansor Nahdlatoel Oelama (ANO), Jalan Bubutan VI/2, Surabaya, dipimpin Kiai Wahab Chasbullah pada 22 Oktober 1945. Setelah Resolusi Jihad ditandatangani, pada 23 Oktober 1945, Mbah Hasyim atas nama Pengurus Besar NU menyerukan jihad fi sabilillah, yang kemudian dikenal dengan Resolusi Jihad. Dalam Resolusi Jihad ini, ada lima hal yang ditegaskan NU. Pertama, kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.Kedua, RI sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan. Ketiga, musuh RI, terutama Belanda yang datang dengan membonceng tentara Sekutu (Inggris) dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang, tentu akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia.Keempat, umat Islam, terutama NU wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia. Kelima, kewajiban tersebut adalah jihad yang menjadi kewajiban setiap muslim (fardhu 'ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak di mana umat Islam diperkenankan salat jama' dan qashar). Mereka yang berada di luar jarak itu berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak radius 94 km tersebut. Resolusi Jihad tersebut akhirnya mampu membangkitkan semangat arek-arek Surabaya untuk bertempur habis-habisan melawan penjajah, dengan semangat takbir yang dipekikkan Bung Tomo. M.C. Ricklefs (1991), Indonesianis asal Australia, mengakui bahwa ribuan kiai dan santri mengalir ke Surabaya. Sekitar dua minggu kemudian meletus peristiwa 10 November 1945, yang kini ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Kini, sudah 66 tahun Resolusi Jihad berlalu. Saatnya arek Surabaya membangkitkan kembali nasionalisme dalam menegakkan martabat bangsa. Resolusi Jihad menjadi sebuah ingatan historis yang sangat berharga untuk dikontekstualisasikan dalam menggelorakan kembali spirit nasionalisme arek Surabaya. Jejak perjuangan itu jangan menjadi kenangan romantis yang terus diulang-ulang tanpa makna berarti. Hal itu perlu dibuktikan secara nyata dengan langkah-langkah strategis, sehingga melahirkan gerakan Resolusi Jihad jilid dua yang sesuai dengan zaman sekarang. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan. Pertama, menjadikan Resolusi Jihad dan 10 November 1945 sebagai pahatan sejarah yang selalu menancap kuat dalam sanubari arek Surabaya. Para kiai, ulama, tokoh masyarakat, pemerintah, dan organisasi sosial kemasyarakatan harus bergandeng tangan menancapkan spirit nasionalisme bagi arek Surabaya. Kedua, kalau dalam perjuangan pasca kemerdekaan musuh utamanya adalah penjajah, perlu dicari rumusan musuh yang menjadi ancaman sekarang. Barangkali korupsi dan terorisme menjadi musuh sangat nyata yang harus ditancapkan dalam sanubari bangsa Indonesia, sehingga bisa mengenali musuh yang akan dibasmi. Baik korupsi dan terorisme selama ini telah meruntuhkan martabat bangsa Indonesia. Menggelorakan dan menegakkan spirit nasionalisme arek Surabaya ini sangat penting untuk direfleksikan di tengah beragam kecamuk sosial yang terus mengikis bangsa ini. Arek Surabaya harus segera bangkit, melanjutkan perjuangan KH Hasyim Asy'ari, Bung Tomo, dan lainnya untuk menjaga kedaulatan bangsa di bidang tugas masing-masing. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar