Masa Emas Belajar
Bahasa
Ainna Amalia FN ; Dosen
Psikologi IAIN Sunan Ampel, Surabaya
|
KOMPAS,
23 Oktober 2012
Wacana penghapusan bahasa Inggris dari
kurikulum SD selayaknya patut dipertimbangkan efek untung dan ruginya. Jangan
hanya mengedepankan pertimbangan emosional yang bersifat reaksioner tanpa
menghiraukan manfaatnya yang bisa jadi lebih besar.
Alasan-alasan yang bersifat ilmiah,
rasional, dan terukur sangat perlu sebagai dasar bagi keputusan yang dibuat
sehingga bongkar pasang kurikulum tidak terjadi tiap kali menteri berganti.
Sesuai dengan Peraturan Mendiknas No
23/2006, standar kelulusan pembelajaran bahasa Inggris: siswa SD/MI adalah
peserta didik yang harus mampu menunjukkan keterampilan menyimak, membaca,
menulis, dan berbicara dalam bahasa Inggris. Dari sini terlihat bahwa
pembelajaran bahasa Inggris menuntut siswa SD dapat menggunakan empat alat
indra sekaligus serta fungsi kognitifnya.
Pertanyaannya, apakah perkembangan
kemampuan berbahasa anak usia 6-12 tahun ini akan terganggu? Soalnya, pada
saat yang sama mereka juga harus menggunakan otak dan alat indranya untuk
mempelajari bahasa lain: bahasa Indonesia. Lalu apakah bahasa ibu, dalam hal
ini bahasa Indonesia, akan mengalami kekacauan jika pada saat yang sama
mempelajari bahasa asing?
Perkembangan
Berbahasa
Secara psikologis, siswa SD yang berusia
7-12 tahun ini berada pada masa kanak-kanak tengah, middle childhood. Fase
ini menjadi masa emas untuk belajar bahasa selain bahasa ibu (bahasa
pertama). Kondisi otaknya masih plastis dan lentur sehingga penyerapan bahasa
lebih mudah. Menurut tokoh psikososial Erikson, kemampuan berbahasa anak pada
fase ini lebih berkembang dengan cara berpikir konsep operasional konkret.
Area pada otak yang mengatur kemampuan
berbahasa terlihat mengalami perkembangan paling pesat ketika anak berusia
6-13 tahun, yang biasa disebut sebagai critical periods. Selain itu,
kemampuan dalam proses kognitif, kreativitas, dan divergent thinking berada
pada kondisi optimal sehingga secara biologis menjadi waktu yang tepat untuk
mempelajari bahasa asing. Hal ini berdasarkan hasil riset teknologi brain
imaging di University of California, Los Angeles.
Penelitian lain juga menunjukkan hasil yang
sama sebagai- mana yang dilakukan Kormi dan Nouri (2008): anak-anak yang
mempelajari lebih dari satu bahasa memiliki kemampuan lebih dalam tugas
memori episodic, mempelajari kalimat dan kata, dan memori semantic,
kelancaran menyampaikan pesan dan mengategorikannya.
Dua penelitian ini menunjukkan bahwa
bilingualisme tidak akan mengganggu performa linguistik anak dalam bahasa apa
pun. Belum ada bukti bahwa bahasa pertama akan bermasalah jika mempelajari
bahasa kedua, ketiga, dan seterusnya sebab fase anak-anak tengah memiliki
fleksibilitas kognitif dan meningkatnya pembentukan konsep.
Menurut Hurlock (1993), anak-anak ini mampu
memaha- mi bahasa asing dengan baik seperti halnya pemahaman terhadap bahasa
ibunya dalam empat keterampilan berbahasa: mendengarkan, berbicara, membaca,
dan menulis. Oleh karena itu, anak-anak SD secara biologis berada dalam masa
emas untuk mempelajari bahasa Inggris sebagai bahasa kedua setelah bahasa
Indonesia.
Perkembangan otak yang me- ngatur kemampuan
berbahasa sedang tumbuh dengan pesat. Sensitivitas berbahasa pada anak-anak
SD sangat baik sehingga jika alasan menghapus bahasa Inggris dari kurikulum
SD karena faktor kemampuan, jelas itu kurang memiliki dasar ilmiah yang kuat.
Tanggung
Jawab Sosial
Pembelajaran bahasa Inggris menjadi problem
jika anak-anak SD lebih cenderung pada bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia.
Mereka lebih termotivasi belajar bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia sehingga
penguasaan bahasa Indonesia lebih jelek daripada bahasa Inggrisnya. Apabila
siswa-siswa SD lebih senang belajar bahasa Inggris, berarti problemnya berada
pada sisi perhatian dan minat. Selanjutnya perlu dicari kenapa perhatian dan
minat siswa rendah terhadap bahasa Indonesia?
Penyelesaiannya bukan dengan menghilangkan
bahasa yang lebih menarik minat, melainkan perbaiki dan bikin menarik
pelajaran bahasa yang kurang mendapat perhatian dan minat itu. Sebab,
penguasaan bahasa Indonesia merupakan tanggung jawab sosial anak sebagai
bahasa nasional. Di sisi lain, bahasa Inggris juga penting sebagai bekal
generasi kita dalam menghadapi era globalisasi.
Salah satu cara supaya siswa lebih
cenderung mempelajari bahasa Indonesia adalah pembenahan komprehensif, baik
isi maupun metode pembelajarannya. Metode yang dipakai harus variatif dan
kreatif sebagaimana dalam pengajaran bahasa Inggris. Bandingkanlah metode
yang biasa dipakai dalam pembelajaran bahasa Indonesia dan Inggris. Tentu
kita akan mengatakan bahwa bahasa Inggris lebih variatif dan kreatif dalam
metode ataupun alat belajarnya. Guru-guru yang mendampingi juga merasa senang
dengan banyaknya pilihan metode pembelajaran. Akhirnya, anak-anak SD lebih
senang dan menikmati.
Jadi sekali lagi, menurut saya, problemnya
bukan pada mampu tidaknya siswa SD mempelajari dua bahasa dalam satu waktu,
melainkan lebih pada kecenderungan penguasaan terhadap bahasa. Problem
psikologis ini yang agaknya jadi kendala bagi siswa SD mempelajari dua bahasa
dalam kurun waktu yang sama. Sebab, sampai sejauh ini, belum ada bukti ilmiah
yang menguatkan bahwa mempelajari bahasa lebih dari satu dalam satu waktu
akan mengacaukan sistem kebahasaan yang lain dalam kognisi anak.
Semoga pendapat yang sedikit ini dapat
menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam mengevaluasi kurikulum bagi
anak-anak SD, khususnya mengenai pelajaran bahasa Inggris. Keputusan yang
terburu-buru dan reaksioner sama dengan tindakan menggadaikan masa depan
generasi bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar