Sabtu, 06 Oktober 2012

Lingkungan yang Mengasuh


Lingkungan yang Mengasuh
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 05 Oktober 2012


KITA belajar seumur hidup. Itu bukan semata-mata dengan menimba ilmu pengetahuan dan keterampilan di bangku sekolah. Menurut para ahli didik, belajar berawal sejak manusia lahir dan berlangsung sampai hidupnya berakhir. Dia belajar tentang kehidupan dengan menyerap rangsangan dari lingkungannya. Rangsangan itulah yang membuat peka-tidaknya rasa kemanusiaan, ketajaman berpikir, serta kemampuan memilah dan memilih baik-buruk.

Hasil penelitian di bidang pendidikan selanjutnya menyimpulkan manusia sebenarnya mulai membangun landasan karakter pada tahun-tahun pertama kehidupan, terutama pada usia balita. Maka peran orangtua, khususnya interaksi pribadi ibu dengan anak, sangat menentukan perkembangan jiwa dan pikiran anak. Itu menjelaskan mengapa anak yang mendapat kasih sayang dan didikan keluarga yang baik akan tumbuh beda dari mereka yang kurang mendapat perhatian orangtua. Pendidikan yang diperoleh dari lingkungan sekolah dan/ atau masyarakat hanyalah kelanjutan pembelajaran agar ia mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan cara bersosialisasi untuk bekal kehidupan selanjutnya.

Dalam kerangka berpikir itu, tidak terlalu salah bila tayangan televisi baru-baru ini menampilkan tawuran dan kekerasan antarremaja. Selain membangkitkan keprihatinan bersama, itu melahirkan berbagai penafsiran tentang pendidikan pada umumnya; masing-masing tergantung sudut pandang mana melihatnya.

Salah satu pertanyaan yang mengusik: bila lingkung an dekat dan masyarakat memberi keteladanan buruk, dapatkah kita mengharapkan anak-anak bersikap baik?

Karut-marut perilaku orang dewasa yang menyalahi norma wajar menimbulkan tanda tanya pada anak-anak. Banjir informasi tentang orang-orang dewasa yang lain kata lain perbuatan tentu menimbulkan kebingungan dalam pikiran dan perasaan mereka yang masih rawan. Fakta tersebut, ditambah dengan tontonan kekerasan, menimbulkan pengaruh buruk terhadap perkembangan jiwa. Apa yang menjadi anutan?

Bingung Tanpa Keteladanan

Banyak saran telah disampaikan untuk mengatasi kenakalan anak-anak muda akibat tawuran yang baru lalu; termasuk keputusan memenjarakan anak-anak yang telah meregang nyawa lawannya. Katanya, hukuman tegas harus ditimpakan kepada mereka agar yang lain-lain tidak mengulang kesalahan sama.

Apa jadinya anak-anak yang dinyatakan bersalah itu setelah pemenjaraan belasan tahun? Habislah harapan mereka untuk masa depan. Itulah risiko yang dihadapi anak-anak yang harus menanggung beban sosial yang berat akibat kesalahan lingkungan.

Di lain pihak, puluhan orang dewasa yang bersalah melakukan korupsi puluhan miliar rupiah, misalnya, bisa lolos dengan hukuman ringan. Sebagian bahkan bebas sama sekali. Keputusan pengadilan semacam itu memberikan kesan penegakan hukum tidak konsisten. Korupsi tidak dianggap serius. Sanksi hukumnya tergolong ringan, sanksi sosialnya minim. Karena itu, wabah korupsi, yang merajalela sejak petrodolar mengalir ke negeri ini pada 70-an, sekarang menjadi-jadi dan meluas ke mana-mana. Bidang-bidang yang tidak sepatutnya terkena pun menjadi korban, termasuk kegiatan di bidang penegakan hukum, pendidikan, bahkan agama; pertanda bahwa pembangunan budi dan budaya terabaikan.

Apa gerangan yang tebersit dalam pikiran anak-anak muda yang tahun demi tahun mengikuti situasi seperti ini? Apa pula pikiran mereka menyaksikan tindak kekerasan yang makin marak? Bukankah pengalaman tak nyaman itu akan mereka bawa sampai dewasa?

Lingkungan Menginspirasi

Sebentar lagi Ibu Kota memiliki nakhoda baru. Banyak yang diharapkan dari pasangan Jokowi-Ahok, antara lain terbangunnya lingkungan yang sehat bagi warganya. Mengingat perkembangan akhir-akhir ini, Jakarta diharapkan jangan lagi menjadi lingkungan yang memberi salah asuhan kepada anak-anak dan remajanya.

Harapan itu sejalan dengan program pendidikan bagi warga Jakarta. Yang kasatmata, Jakarta membutuhkan lebih banyak fasilitas sekolah dan komunitas untuk tempat bermain dan berkumpul kaum mudanya. Tempat-tempat seperti itu memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyerap pendidikan dan pembelajaran oleh lingkungan yang memperkaya pikiran dan jiwa.

Keinginan itu hanya salah satu dari sekian banyak lainnya yang disampaikan sebagai saran. Itu bukan mengada-ada. Sekalipun membebani, itu sekaligus menjadi tantangan bagi pemimpin yang ingin mengantarkan generasi muda berjiwa sehat ke masa depan. 

Dengan ramainya lalu-lalang informasi seperti sekarang, tayangan-tayangan televisi baik yang memprihatinkan maupun yang menggembirakan sudah menjadi bagian dari kehidupan bersama. Permasalahan yang timbul dan penanganannya pun harus menjadi proyek bersama. Pertanyaan mendesak yang terpikir setelah tayangan tawuran dan kekerasan: bagaimana masa depan yang ideal bisa terwujud bila pembangunan budi dan budaya generasi penerus diabaikan?

Ramainya denting cash register di pusat-pusat perbelanjaan modern menunjukkan kesibukan transaksi dagang di Jakarta. Kepadatan lalu lintas di jalan-jalan raya, yang diapit deretan bangunan-bangunan megah di kiri kanannya, mengesankan kemewahan Ibu Kota. Namun, di banyak sudut kota membentang permukiman-permukiman miskin dan kumuh; potret ketimpangan mencolok yang mudah menyuburkan kekerasan. Hukumnya wajib, ketimpangan yang berlebihan perlu segera dihapuskan. Masa depan yang ideal bisa terbuka bila bakat, kemampuan, dan kreativitas kaum muda dimekarkan dalam lingkungan positif yang mengasuh mereka. Masa depan yang ideal bisa terbuka bila bakat, kemampuan, dan kreativitas kaum muda dimekarkan dalam lingkungan positif yang mengasuh mereka. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar