Kunci Memberi
Makan Dunia
Khudori ; Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia;
Anggota Pokja Ahli
Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)
|
KOMPAS,
16 Oktober 2012
Bila tahun-tahun sebelumnya kemiskinan,
kelaparan, dan ketahanan pangan selalu ajek jadi tema Hari Pangan Sedunia,
sejak tahun lalu FAO—Organisasi Pangan dan Pertanian— menggeser ke tema
krisis pangan.
Tahun ini tema yang diangkat adalah
”Agricultural Cooperative: Key to Feeding the World”. Mengapa? Setelah meledak
2007-2008, krisis pangan masih terus mengintai. Berbeda dengan di masa lalu,
kini krisis pangan bisa datang dari delapan penjuru angin. Tekanan tidak
hanya datang dari sisi permintaan dan pasokan, konversi pangan menjadi
biofuel dan spekulasi di pasar komoditas membuat krisis pangan siap meledak
setiap saat.
Ketika krisis pangan meledak, warga miskin
yang 60-70 persen pendapatannya habis untuk belanja pangan jadi pihak paling
terancam kelaparan. Saat ini satu dari delapan orang di dunia pergi ke tempat
tidur dengan perut kosong (FAO, 2012). Kelaparan masif ini sering kali
dimanipulasi secara sesat bahwa terjadi kelangkaan pangan di bumi. Ini tidak
benar. Saat ini makanan yang dihasilkan bisa memberi makan 1,5 kali penduduk
bumi, yang Oktober tahun lalu mencapai 7 miliar jiwa. Praktik pertanian
berkelanjutan bahkan bisa memberi makan 10 miliar jiwa (Foodfirst, 2011),
jumlah populasi bumi pada 2050.
Timpang
Masalahnya, pangan yang melimpah tidak
mengalir kepada yang memerlukan, tetapi (hanya) menuju kepada mereka yang
berduit. Postulat peraih Nobel Ekonomi 1998, Amartya Sen, bahwa akses dan
kebebasan lebih penting ketimbang ketersediaan adalah benar adanya.
Kemiskinan membuat warga di negara-negara miskin sulit mengakses pangan.
Mereka hidup dengan perut lapar. Pertumbuhan ekonomi tinggi bukan obat
mujarab menghapus kelaparan. Target Pembangunan Milenium, menekan kemiskinan
50 persen atau tinggal 11,6 persen pada 2015, dipastikan gagal. Saat ini
tingkat kemiskinan dunia 14,9 persen.
Tuhan merahmati dunia dengan pangan
beraneka ragam berikut sumber daya pendukungnya. Namun, lewat globalisasi
yang dipromosikan negara-negara maju, pangan dunia kian seragam. Dari 3.000
spesies tumbuhan pangan, hanya 16 yang dibudidayakan. Patennya dikuasai
segelintir korporasi multinasional (MNC). Budidaya pertanian dunia hanya
bertumpu pada sedikit biji-bijian, terutama gandum, beras, dan jagung. Kacang
pun hanya kedelai dan kacang tanah, bukan kecipir yang unggul dan aset negara
berkembang.
Globalisasi mengubah model pertanian, terutama
di negara berkembang, secara radikal: dari terdiversifikasi dalam skala kecil
jadi model ekspor-industrial yang dihela korporasi global, seperti Monsanto,
Cargill, Syngenta, dan ADM. Dengan sistem rantai pangan (agrifood chain),
kini MNC mengontrol rantai pangan, dari gen sampai rak-rak di supermarket
tanpa ada titik-titik penjualan (Eagleton, 2005).
Perubahan ini diikuti tergerusnya kearifan
dan kekayaan hayati lokal yang selama berabad- abad terbukti bisa menjamin
ketahanan pangan warga. Kini, setelah mengadopsi sistem monokultur, mereka
bergantung asupan kimiawi dan paket teknologi korporasi global yang
memonopoli dua pertiga pasar global pestisida dan seperempat penjualan bibit
global berikut patennya.
Hasil kajian International Assessment of
Agricultural Knowledge, Science, and Technology for Development (IAASTD,
2008) menyimpulkan, model pertanian ekspor-industrial-monokultur bukan resep
ajaib atasi kemiskinan dan kelaparan. Model itu menghancurkan lingkungan (air
dan tanah), mengerosi keanekaragaman hayati dan kearifan lokal (pola tanam,
waktu tanam, olah tanah dan pengendalian hama), serta mengekspos warga pada
kerentanan tak terperi.
Krisis pangan terjadi akibat tali-temali
suplai dan stok pangan menyusut, gagal panen, kenaikan harga BBM, perubahan
iklim, permintaan biji-bijian China dan India makin besar, konversi pangan ke
biofuel, dan spekulasi. Namun, menurut IAASTD, akar terdalam krisis pangan
karena pemerintah lupa mengurus sektor pertanian skala kecil, aturan
perdagangan yang tak adil, dan dumping negara maju.
Pertanian Skala Kecil
Untuk mengikis kemiskinan, kelaparan, dan
degradasi lingkungan, IAASTD menyarankan agar memperkuat pertanian skala
kecil, meningkatkan investasi pertanian agroekologis, mengadopsi kerangka
kerja perdagangan yang adil, menolak transgenik, memberi perhatian khusus
pada kearifan lokal, memberi peluang sama (pada warga) agar berpartisipasi
dalam pengambilan keputusan, membalik akses dan kontrol sumber daya (air,
tanah, dan modal) dari korporasi ke komunitas lokal, dan memperkuat
organisasi tani. Ini pertama kalinya tim penilai independen memberi pengakuan
peran pertanian skala kecil, termasuk hak warga menentukan sendiri sistem
(produksi, konsumsi, dan distribusi) pertanian-pangan mereka. Semua poin itu
menjadi inti konsep kedaulatan pangan.
IAASTD merupakan panel bentukan FAO yang
menghimpun sekitar 400 ahli dari beragam ilmu dan negara. Saat dirilis 15
April 2008, laporan 606 halaman itu diadopsi oleh 58 negara.
Mengapa IAASTD memberi perhatian khusus
pada pertanian skala kecil? Pertama, sampai saat ini, 75 persen warga miskin
adalah petani kecil. Porsi petani kecil di Asia mencapai 87 persen; di
Indonesia 55 persen. Menggenjot investasi pada pertanian skala kecil tidak
hanya memberi pangan dunia, tetapi juga menyelesaikan kemiskinan dan
kelaparan.
Kedua, hasil riset-riset ekstensif
menunjukkan pertanian keluarga/kecil jauh lebih produktif daripada pertanian
industrial karena mengonsumsi sedikit BBM, terutama apabila pangan diperdagangkan
di tingkat lokal/regional (Rosset, 1999).
Ketiga, bukti menunjukkan, pertanian skala
kecil dan terdiversifikasi bisa beradaptasi dan pejal (resilience). Ini
sekaligus suatu model keberlanjutan yang ramah kearifan lokal dan
keanekaragaman hayati. Keempat, pertanian skala kecil lebih ramah terhadap
perubahan iklim (Altieri, 2008).
Anehnya, negeri ini justru meminggirkan
peran pertanian skala kecil itu dengan membiarkan mereka tetap gurem, miskin,
dan merana. Untuk menjamin bisa memberi makan 243 juta warga Indonesia, harus
ada kebijakan yang memungkinkan petani bertransformasi dari gurem dan miskin
menjadi sejahtera. Caranya, harus ada perubahan politik anggaran untuk
investasi publik (jalan, irigasi, riset, mitigasi/ adaptasi iklim), politik
industrialisasi yang tidak menyakiti petani, pemupukan aset-aset petani
(lahan dan air), dan beleid perdagangan yang pro-petani. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar