Keharusan
Berdamai dengan Sejarah
Ananda Mustadjab Latip ; Aktivis Perhimpunan
98 dan Direktur Eksekutif LSSBN
|
MEDIA
INDONESIA, 24 Oktober 2012
ADA ucapan seorang revolusioner Prancis yang menjadi semboyan
hidupnya, Door de zee op te zoeken,
blift de rivier trouw aan haar bron (dengan menuju ke laut, sungai tetap
setia pada sumbernya). Pemahaman penulis atas semboyan itu, bila dikaitkan
dalam konteks politik kebangsaan, bisa diartikan bahwa apa pun cara dan jalan
yang ditempuh menuju pengabdian kepada negara dan tanah air, kita tetap harus
setia kepada sumber dasar ideologi Pancasila dan UUD 1945.
Pancasila sebagai ideologi negara memang masih harus
dikembangkan dan disosialisasikan pemahamannya. Namun, Pancasila yang
memiliki hakikat gotong royong sebenarnya sudah ada sejak ribuan tahun lalu.
Itulah mengapa Pancasila bisa dibilang sebagai lem perekat antarsuku bangsa,
agama, dan berbagai budaya yang ada di Indonesia.
Pertanyaannya, apakah para pemimpin elite politik di negeri ini
telah mengamalkan dan mengimplementasikan nilainilai Pancasila dan UUD ‘45
dalam mengelola negara dan masyarakat? Lalu tanyakan kepada generasi muda,
apakah mereka mengerti sejarah perjuangan revolusi kemerdekaan? Mengerti dan
menjiwai roh Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928? Bagi penulis, bila kalangan
pemuda memahami isi dan menjiwai roh Sumpah Pemuda 1928, mungkin tawuran
antarpelajar tidak perlu terjadi! Bila pemuda memahami makna Pancasila, tidak
perlu terjadi intoleransi/pertentangan antarsuku, agama, atau ras. Harusnya
lembaga survei meneliti hal-hal yang bersifat ideologis, strategis, dan
mendasar seperti itu, bukannya hanya melakukan survei untuk urusan pilpres
atau pilkada.
Bila menyebut kongres pemuda, perhatian publik umumnya diarahkan
pada Kongres Pemuda 1928. Bisa dipahami, kong res itu menghasilkan rumusan
‘ajaib’: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Namun, sesungguhnya, teks yang
mempunyai kesakralan itu tidak serta-merta muncul begitu saja dalam benak
para pemuda terpelajar pada Kongres 1928 (diprakarsai oleh Perhimpunan
Pelajar-Pelajar Indonesia) karena sebelumnya terdapat ‘Kongres Pemuda
Pertama’ 1926 yang jarang diingat publik.
Mengingat tindakan masa kini tentang masa lalu (sejarah),
relativisme waktu memungkinkan kita mengandaikan yang disebut sebagai masa
kini ialah satu generasi, sekumpulan besar kelompok masyarakat yang hanya
dipisahkan satu peristiwa mengesankan yang menjadi garis pemisah, seperti era
revolusi kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, runtuhnya Orde Baru/pasca-Orde
Baru atau era reformasi.
Namun, suatu ingatan kolektif bagi suatu komunitas kecil atau
suatu masyarakat besar tidak hadir dengan sendirinya. Ingatan itu dibentuk,
diubah, dirancang lagi, bahkan dihap pus atau diusahakan dihapus. Ingatan
bisa direncanakan dengan merancang kurikulum sekolah dasar, menengah, dan
perguruan tinggi.
Akan tetapi, dalam kurikulum yang dibuat, ingatan itu bisa dirancang untuk dihapus atau sekurangkurangnya diabaikan sama sekali.
Jika mengingat sejarah Kongres 28 Oktober 1928, kita juga tidak
bisa melepaskan ingatan terhadap Kongres 1926. Artinya, jika penulis
menguraikan catat an sejarah tersebut, tentunya akan sangat panjang. Namun,
penulis mencoba mengambil benang merah dan inti sari dari hasil Kongres 1926
yang bertautan dengan hasil Kongres 1928.
Nama Sendiri
Kongres Pemuda 1926 ialah kongres pertama dengan nama resmi
disebut Het Eerste Indonesich
Jeugdcongres--boleh dikatakan suatu pertandingan diskursus politik dengan
bahasa sebagai alat utama bila dibandingkan dengan Kongres Pemuda 1928.
Semangat dan dasar pemikiran kaum muda terpelajar berjiwa patriotik
nasionalis saat itu ialah perlawanan terhadap pemerasan, eksploitasi petani
dan buruh, eksploitasi sumber-sumber daya alam, dan pelarian modal oleh
kolonial Belanda, serta tentunya, keinginan untuk merdeka, merdeka sebagai
satu bangsa yang mandiri dan berdaulat.
Perhimpunan Indonesia di Belanda secara terang-terangan
menginginkan kemerdekaan, yang secara simbolis dapat dilihat dengan
terbentuknya Indonesiche Vereniging (Perhimpunan Indonesia, 9 Februari 1924).
Mereka menolak menggunakan nama Hindia Belanda, dan memaklumkan nama sendiri,
yakni Indonesia. Nama Indonesia akhirnya menjadi nama politis meskipun tidak
direkomendasikan pemerintah Belanda saat itu.
Perlawanan yang boleh kita sebut radikal ialah Kongres Pemuda 30
April-2 Mei 1926, di Batavia yang diprakarsai Jong Java (1918), yang
diselenggarakan dalam situasi panas, karena bersamaan dengan
persiapan-persiapan yang dilakukan PKI sejak Januari 1926 untuk berontak
kepada kolonial Belanda. Itu juga bertepatan dengan peringatan Hari Buruh
Internasional 1 Mei. Meskipun demikian, sejarah mencatat pemberontakan PKI
berlangsung November 1926.
Kongres 1926 dihadiri 11 organisasi terkemuka seperti Jong Java,
Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, Jong Batak, Jong
Theosofen Bond, Ambonsche Studeerenden, Minahasache Studeerenden, Studie Club
Indonesia, Boedi Oetomo, Mohammadijah, dan berbagai tokoh yang berminat. Kongres
bertema kesatuan itu lebih banyak ‘berkutat’ pada pemikiran tentang kesatuan
Indonesia dan kesatuan yang dirumuskan dalam kesatuan penggunaan bahasa,
meskipun dalam diskusi saat itu mereka menggunakan bahasa Belanda. Kongres
ditutup dengan acara makan malam di restoran Insulinde.
Pascakongres bahan-bahan kongres masih terus didiskusikan sampai
mendapatkan perumusan akhir Agustus 1926. Yang menarik ialah kenapa Kongres
Pemuda 1926 menggunakan bahasa Belanda sebagai pembicaraan dan perumusan
diskusi? Hal tersebut disebabkan bahasa Belanda menempati posisi kelas sosial
tertinggi dan membedakan dengan inlander/pribumi asli sebagai bangsa yang
dijajah. Hierarki sosial berdasarkan bahasa itu berjalan lurus dengan
hierarki rasial yang dibentuk dalam politik rasial.
Dalam pemahaman para pemuda ketika itu, secara psikopolitik,
mungkin menggunakan bahasa Belanda menempatkan mereka pada kelas sosial yang
secara politik setara dengan kolonial Belanda. Sejarah juga mencatat Kongres
Ke-8 Jong Java di Bandung pada 2 Januari 1926 menunjukkan keberhasilan kaum
muda dan mereka yang berasal dari `pinggiran' budaya Jawa, sebagaimana
diwakili sosok Mohammad Tabrani Soerjowijtitro asal Pamekasan, Madura,
anggota Jong Java cabang Surabaya, menempuh pendidikan OSVIA di Bandung, dan
menjadi anggota luar biasa cabang Batavia. Dalam kongres tersebut tercetus
tiga hal yang sangat menentukan arah perkembangan gagasan tentang persatuan
Indonesia di kemudian hari: Jong Java cabang Batavia mengusulkan gagasan
tentang persatuan Indonesia; Tabrani Soerjowijtitro memprakarsai Kongres
Pemuda 1926, dan pengakuan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar.
Kongres Pemuda 1926 mendapatkan sambutan luas, bahkan mulai
menemukan landasan bersama bagi persatuan. Manifestasi persatuan diwujudkan
pertama, dengan mendirikan Jong Indonesia (Pemuda Indonesia) sebagai fusi
organisasi-organisasi pemuda. Kedua, menerima bahasa Melayu sebagai bahasa
pengantar. Selain itu, pemikiran lain yang muncul ialah membentuk badan
permanen dengan tujuan mengusahakan dan mewujudkan konsep kesatuan Indonesia,
dan memperkuat tali hubungan semua organisasi pemuda setanah air.
Saat ini, ketika era milenium abad 21 hadir dengan segala ragam
nilai budaya dan peradaban umat manusia, bangsa Indonesia dihadapkan pada
tantangan dan hambatan yang secara substansial masih sama, yaitu melawan
penindasan atas sistem neokolonialisme dengan bentuk atau gaya baru yang
diistilahkan sebagai neoliberalisasi. Demokrasi politik dan demokrasi ekonomi
harus mengikuti sistem neolib dalam praktik yang seolah-olah lebih modern,
sekalipun hakikatnya tetap memeras, mengeksploitasi, dan membuat kemiskinan
secara sosioekonomi. Saat yang sama, rakyat Indonesia punya musuh besar
selain dari pe ngaruh sistem neokapitalisme, tapi juga perilaku korup para
pemimpin/elite politik para penyelenggara negara.
Suasana spirit pemuda di era 1926 yang kemudian mencapai tahapan
kepada Sumpah Pemuda 1928 serta terwujudnya negara bangsa Indonesia 17
Agustus 1945 tentunya berbeda dengan tantangan pemuda di era milenium
sekarang. Namun, tampaknya pemuda perlu berdamai dengan sejarah dan melakukan
revitalisasi Sumpah Pemuda 1928. Berdamai dengan sejarah berarti fertimachen
mit der geschichte, kata sejarawan Prof Tauļ¬ k Abdullah, yaitu menyelesaikan
sejarah, dan kalau perlu, dengan menulis sejarah baru. Bagi penulis, momentum
Sumpah Pemuda 28 Oktober bisa dijadikan momentum bagi kebangkitan pemuda
Indonesia untuk menunaikan panggilan Ibu Pertiwi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar