Kegalauan dan
Harapan Pilpres 2014
J Kristiadi ; Peneliti
Senior CSIS
|
KOMPAS,
23 Oktober 2012
Hasil kajian berbagai lembaga survei
menunjukkan, meskipun pemilihan presiden semakin dekat, mereka yang belum
memutuskan atau merahasiakan pilihan mereka (undecided voters)
masih cukup tinggi, 40-50 persen. Bahkan, survei yang dilakukan Centre for
Strategic and International Studies (CSIS), Agustus 2012, mengungkapkan,
figur yang dipilih dengan tingkat persentase yang signifikan, tetapi semuanya
dianggap kurang layak. Besaran proporsinya di atas 50 persen. Fakta tersebut
menunjukkan bahwa masyarakat galau dan menghendaki tokoh yang mempunyai genre
atau kategori yang berbeda dari nama-nama yang selama ini beredar.
Kegalauan dan kejenuhan masyarakat
disebabkan figur yang selama ini dikenal dianggap tidak mempunyai rekam jejak
integritas, kompetensi, serta kapasitas yang mampu mengatasi berbagai
persoalan mendasar sebagai berikut. Pertama, semakin meningkatnya defisit
modal sosial dan rasa saling percaya di antara warga masyarakat.
Kedua, politik uang dan korupsi yang sudah
menembus pori-pori tubuh negara sehingga menghasilkan lingkaran setan politik
transaksi kepentingan kekuasaan yang mencampakkan kepentingan umum. Hal ini
masih diperparah dengan kebangkrutan moral di kalangan pejabat dan politisi,
misalnya promosi jabatan kepada terpidana korupsi.
Ketiga, absennya niat baik dalam politik
perundang-undangan yang mengakibatkan rimba raya regulasi. Akibatnya, praktik
penegakan hukum menjadi hukum rimba. Siapa kuat dan nekat adalah pemenangnya.
Keempat, politik ekonomi yang tidak
berkeadilan mengakibatkan ketimpangan yang terus melebar antara mereka yang
kaya dan miskin. Inilah bibit revolusi sosial yang dapat menghancurkan
tatanan masyarakat.
Kelima, kebijakan publik yang sesat demi
politik pencitraan yang mengakibatkan kesengsaraan rakyat. Sekadar contoh,
kebijakan bahan bakar minyak (BBM) yang sesat telah menyebabkan konflik
horizontal warga masyarakat di Provinsi Kalimantan Selatan. Penyisiran
dilakukan sopir-sopir truk terhadap para pelansir. Mereka adalah pemborong
BBM bersubsidi yang memodifikasi tangki mobil hingga 10 kali lipat dari
semestinya dan kemudian dijual kepada masyarakat.
Konstatasi tersebut tidak berlebihan kalau
dikatakan negara dalam keadaan darurat. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya
partai politik hanya menyodorkan kandidat presiden yang medioker dan miskin
empati terhadap kesengsaraan rakyat. Parpol harus berpikir keras untuk
menemukan tokoh mumpuni yang bersedia mewakafkan hidupnya untuk kepentingan
bangsa dan negara. Rakyat berhak untuk tidak dijadikan kelinci percobaan dan
korban dari ambisi kekuasaan yang overdosis.
Sekiranya parpol bersedia melakukan
terobosan dengan mencalonkan kandidat yang berkualitas, sebagaimana parpol
pengusung Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama pada Pemilihan Umum Kepala
Daerah DKI Jakarta, dapat dipastikan secara bertahap citra dan kredibilitas
partai akan meningkat. Bukan melalui rekayasa pencitraan, melainkan karena
kualitas kebijakan yang diproduksi tokoh yang didukungnya bermanfaat untuk
masyarakat.
Mengingat besarnya persoalan yang dihadapi
bangsa dewasa ini, masyarakat juga harus waspada, bahkan curiga, terhadap
para petualang politik yang secara habis-habisan memaksakan figur yang rekam
jejaknya diragukan kualitasnya. Tanpa kewaspadaan dan partisipasi publik,
kandidat yang demikian tidak mustahil akan berhasil memenuhi ambisinya
menjadi presiden. Terlebih, praktik demokrasi dewasa ini telah direduksi
habis-habisan oleh politik citra yang mengandalkan media, terutama televisi,
sebagai instrumen utamanya.
Namun, harapan tetap ada. Kejenuhan dan
kegalauan masyarakat menghasilkan energi publik untuk mencari calon
alternatif. Caranya, melibatkan para peneliti, pemerhati, dan akademisi
sosial-politik melakukan identifikasi tokoh-tokoh yang dianggap mempunyai
rekam jejak berkualitas dalam hal integritas, kompetensi, akseptabilitas,
kepemimpinan, dan sebagainya. Kriteria itu tidak berbeda antara elite dan
masyarakat pada umumnya. Namun, apabila hal itu dimunculkan dalam pilihan
orang menjadi berbeda karena terdapat informasi yang asimetrik antara para
pencermat itu dan masyarakat. Kelompok pertama lebih kaya informasi,
sementara masyarakat lebih terbatas dan mendapatkan lebih banyak informasi
dari pencitraan yang dilakukan oleh politisi.
Nama-nama yang ditangkap radar para
pengamat tersebut kalau disusun secara alfabetis antara lain Agus
Martowardojo, Anies Baswedan, Chairul Tanjung, Dahlan Iskan, Endriartono
Sutarto, Gita Wirjawan, Jokowi, Jusuf Kalla, Mahfud MD, dan Sri Mulyani
Indrawati. Mereka kemudian dikenalkan melalui media untuk memperkenalkan
pandangan dan strategi guna memecahkan berbagai masalah bangsa yang amat
mendasar. Melalui berbagai kajian dan survei, mereka akan dapat diketahui
tingkat elektabilitasnya. Selanjutnya, tokoh-tokoh tersebut ditawarkan kepada
parpol untuk mendapatkan dukungan. Tentu saja minus transaksi politik yang
oportunistik.
Rajutan harapan masyarakat terhadap
kandidat pilihan rakyat ternyata dapat mengalahkan kekuasaan yang mapan.
Reformasi politik akhir 1990-an membuktikan hal itu. Demikian pula kemenangan
pasangan Jokowi-Basuki pada Pilkada DKI Jakarta adalah contoh mutakhir
bagaimana dahsyatnya rajutan harapan publik. Oleh sebab itu, rakyat tidak
boleh menyerah dan terjebak pada iming-iming dan politik pencitraan. Intinya,
rakyat harus mempersiapkan kandidat yang dapat menjamin masa depannya.
Terlebih kalau parpol dan pejabat publik yang dipilih rakyat telah abai
terhadap tangisan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar