Senin, 22 Oktober 2012

Kedaulatan dan Otoritas Pangan


Kedaulatan dan Otoritas Pangan
Mochammad Maksum Machfoedz ;  Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri Universitas Gadjah Mada
MEDIA INDONESIA, 22 Oktober 2012


AHAD 21 Oktober menjadi puncak peringatan nasional sekaligus penutup Hari Pangan Sedunia (HPS) XXXII yang kegiatannya dikonsentrasikan di Temanggung Tilung, Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Tema HPS, yang dari tahun ke tahun senantiasa menggigit, kali ini mengedepankan pentingnya kerja sama menyongsong makin terbatasnya pangan global.

Tema tahun ini ialah Agricultural cooperatives: key to feeding the world. Itu menekankan pentingnya koperasi, kooperasi, kerja sama, kemitraan, dan makna lain cooperatives untuk menjamin pangan jagat raya ketika kondisinya diramalkan makin mencemaskan.

HPS menjadi begitu istimewa bagi Indonesia karena diwarnai pula dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pangan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR 18 Oktober 2012. UU itu pantas disyukuri karena mengamanatkan reformasi pemikiran sangat mendasar terkait dengan urusan pangan, yang antara lain berwujud reorientasi paradigmatis dari prinsip ketahanan, menuju kedaulatan pangan, dan perlunya pembentukan kelembagaan pangan yang berwibawa bagi pembenahan sistem pangan nasional.

Ketahanan ke Kedaulatan

Sejenak, perbedaan mendasar antara ketahanan dan kedaulatan sebagai terminologi politis bisa disimak. Ketahanan secara umum bisa dimaknai sebagai security yang menyiratkan the condition of being protected, terlindunginya sesuatu, misalnya dari rasa takut, bahaya, sakit, dan lapar. Subjek pelindungnya menjadi tidak penting. 

Adapun kedaulatan atau sovereignty bermakna exclusive power and right, hak dan kekuatan untuk mengambil keputusan, menentukan dirinya. Subjek pemilik hak dan kekuatan amat jelas: diri pribadi perorangan, keluarga, kelompok komunitas, masyarakat luas, dan negara.

Reformasi paradigmatis dari ketahanan menuju kedaulatan pangan, dengan demikian, merupakan keberanian politik yang pantas mendapat apresiasi meski masih senantiasa mengundang banyak tanda tanya akan keberanian tersebut berikut efektivitas kendalinya dalam mengawal kinerja sistem pangan nasional. Keraguan publik itu pantas pula memperoleh apresiasi sepadan karena kritik mereka telah menyertai perjalanan sejarah panjang pangan nasional yang tidak pernah konsisten, kecuali inkonsistensi kebijakan sentralnya.

Inkonsistensi sepertinya sudah teramat melekat pada kebijakan pangan nasional RI. Hal tersebut setidaknya terukur dalam diri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II yang tidak pernah bulat selama beberapa tahun terakhir. Teramat banyak inkonsistensi kebijakan pangan yang selama ini justru menggerogoti keswasembadaan dan kedaulatan pangan.

Ketika daerah memulai investasi industri tepung singkong mocaf, KIB II malah menghapus cukai dan PPN terigu, 2008. Ajakan kemandirian pangan yang disampaikan Presiden pada 10 Januari 2011 dijawab KIB II dengan Peraturan Menteri Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/ PMK.010/2006 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor tertanggal 24 Januari 2011. Aturan tersebut membebaskan cukai impor 57 produk pangan.

Data surplus beras menteri pertanian direspons Bulog dengan impor beras sebanyak 1,8 juta ton pada 2011 dan 1 juta ton di 2012. Road map percepatan swasembada kedelai dikebiri sendiri dengan penghapusan cukai impor pada 2012.

Maraknya gula rafinasi telah diprotes keras oleh petani karena merusak harga dan memasung produksi dalam negeri. Swasembada daging sapi selalu disunati sehingga mundur lima kali. Maunya surplus 10 juta ton beras pada 2014, tetapi malah hobi impor. Jagung berkembang dengan basis importasi benih tanpa respons akademik benih domestik yang memadai. Belum lagi, importasi garam terus digenjot dan membonsai produksi dalam negeri, serta kontroversi lain berkenaan dengan berbagai komoditas pangan lainnya.

Ketika mendekati jatuh tempo swasembada gula, kedelai, jagung, daging sapi, dan garam nasional, serta surplus beras 10 juta ton dua tahun mendatang, kontroversi dan kontaminasi kebijakan makin menjadijadi dan memastikan bahwa target 2014 ternyata hanyalah basa-basi tanpa realisasi. Ketahanan pangan berbasis importasi, kemandirian pangan digembosi, swasembada 2014 diamputasi, dan kedaulatan pangan pasti dikebiri. Semua kalah dengan syahwat rente importasi. Kalau demikian halnya, adakah jaminan otoritas pangan bagi kedaulatan pangan RI?

Otoritas Pangan

Saat beberapa komoditas pangan ditetapkan sebagai komoditas strategis, landasan pemikiran politik meyakini bahwa pangan bukanlah sekadar urusan finansial dan ekonomis. Realitasnya, setiap butir kedelai, beras, dan lainnya memang multifungsi dan multidimensi urusan, mulai urusan HAM, keadilan, budaya, ekologi, kesehatan, sampai kedaulatan dan keberagamaan. Baru kemudian urusan ekonomis, pasar, dan finansial. Watak multidimensi sepert itu tentu memerlukan otoritas pangan yang tidak impoten, tetapi memiliki kapasitas superpower yang multifungsi dalam urusan pangan.

Watak pangan strategis yang multidimensi dan reorientasi tata pangan nasional yang 
berkedaulatan sudah barang tentu tidak akan pernah bisa ditegakkan melalui sebuah departemen teknis yang teramat sektoral. Salah satu sinyalemen tidak jelasnya perjalanan sistem pangan nasional ialah terbatasnya kekuasaan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian sebagai lembaga teknis pelaksana meski dipayungi DKP yang dipimpin Presiden.

Reorientasi perlunya otoritas pangan yang powerful-lah yang menjadi landasan diamanatkannya pembentukan lembaga pemerintah yang menangani bidang pangan dalam Bab XII Pasal 126 UU Pangan. Amanat kelembagaan juga merupakan salah satu reorientasi mendasar yang diharapkan mendukung kedaulatan.

Respons cukup marak mencuat terhadap amanat otoritas itu karena konsekuensi pembiayaan negara yang berpotensi membengkak, padahal sebenarnya keterbatasan anggaran menekankan perlunya pengetatan ikat pinggang dan efisiensi anggaran. Itu memang pilihan yang sulit, baru memperbandingkan investasi struktural dalam mata anggaran lembaga pangan setelah kinerja sistem pangan nasional selama sekian lama mengalami stagnasi.

Keraguan tersebut cukup menarik karena pertanyaan besar setelah mencermati catatan sejarah pangan nasional ialah adakah jaminan bahwa reorientasi struktural itu akan mampu menegakkan kedaulatan pangan RI? Jawabannya samar-samar dan teramat tidak jelas kalau mencermati inkonsistensi selama dekade terakhir ini, yang tidak hanya tumpang tindih dan tidak sejalan, tetapi terlalu sering bertabrakan satu sama lain seperti telah digambarkan dalam berbagai kontroversi sebelumnya.

Di satu sisi, reorientasi kelembagaan dan paradigma menuju kedaulatan pangan sangat mutlak diperlukan sebagai sebuah keharusan bagi RI yang berdaulat. Di lain sisi, penegakan perihal dimaksud sungguh tidak pernah cukup ketika power politik tak pernah jelas dan jalannya senantiasa terkontaminasi oleh inkonsistensi kebijakan kabinet. Data historis menunjukkan keberadaan lembaga yang langsung di bawah presiden belum pula cukup ketika inkonsistensi kebijakan kabinet masih senantiasa menggejala.

Dalam urusan pangan nasional, reorientasi paradigmatis dan struktural merupakan perangkat kelembagaan untuk mengatasi beragam krisis pangan nasional. Akan tetapi, perlunya pembenahan krisis konsistensi dalam perumusan kebijakan kabinet tidak pernah boleh dilupakan manakala menginginkan kado HPS XXXII ini menjadi berarti bagi petani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar