Kamis, 18 Oktober 2012

Keberanian Pemimpin Tegakkan Hukum

Keberanian Pemimpin Tegakkan Hukum
Sholehudin A Aziz ;  Dosen Fakultas Syariah dan Hukum serta
Peneliti CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SUARA KARYA, 17 Oktober 2012


Dalam sebuah obrolan santai perihal berita terkini terkait penegakan hukum, bersama tukang ojek di kompleks perumahan tempat tinggal saya, terdapat kesimpulan yang amat merisaukan hati. Yakni, munculnya apatisme masyarakat terhadap penegakan hukum.
Kesan apatisme itu sangat mendalam saya rasakan karena hampir tak ada nada optimisme yang muncul dalam diskusi itu. Salah seorang kawan berkomentar, "Hukum itu ada, tetapi hanya untuk rakyat kecil. Sementara bagi orang berduit, pejabat, hukum itu tidak ada, karena semuanya bisa dibeli dan dimainkan."
Intinya, saat ini masyarakat benar-benar sudah apatis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum yang hanya sebatas jargon semata. Kata 'penegakan hukum dan supremasi hukum' dari para pejabat pemerintahan dan aparat penegak hukum hanya sebatas lips service semata.
Tafsir supremasi hukum sejatinya adalah keadilan hukum bagi siapa pun tanpa terkecuali. Tidak ada perbedaan antara rakyat biasa, pejabat, orang kaya, orang miskin, pengusaha, politisi, dan lain sebagainya. Hukum akhirnya dijadikan panglima tertinggi, di mana setiap orang sama kedudukannya di hadapan hukum (equality before the law). Supremasi hukum bukanlah sekedar puisi yang diciptakan oleh ahli hukum guna menyenangkan hati orang yang membacanya. Tetapi, telah menjadi salah satu asas hukum terpenting dari sekian banyak asas hukum universal yang berlaku, dikukuhkan di dalam konstitusi, UUD maupun di pelbagai peraturan perundang-undangan di negara ini.
Namun, bagaimana implementasinya? Sungguh, jauh panggang dari api. Hukum ternyata hanya milik orang-orang tak berdaya, miskin dan rakyat biasa. Sementara bagi kaum kaya, pejabat dan politisi, hukum masih bisa dipermainkan dengan beragam dalih dan alasan.
Buktinya? Tak sulit untuk membuktikannya karena terlalu banyak kasus yang terjadi. Salah satunya adalah cerita pilu yang menimpa nenek Minah asal Banyumas, Jateng, beberapa waktu lalu, yang dihukum karena dituduh mencuri tiga biji kakau. Sementara dalam kasus yang lain, seperti kasus Century Gate, Wisma Atlet, Hambalang dan kasus-kasus hukum lainnya yang melibatkan kaum elite sepertinya hukum sulit ditegakkan.
Realitas lainnya adalah masih banyaknya proses penegakan hukum yang tidak memberikan ruang pada rakyat untuk mendapatkan keadilan substantif dan cenderung mengedepankan penyelesaian prosedural yang hakikinya tidak berpihak kepada keadilan.
Apabila hal demikian dibiarkan terus terjadi maka pelan tapi pasti (slow but sure) akan bisa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada para pemimpin negeri ini. Selanjutnya akan menyebabkan tiadanya penghargaan dan penghormatan publik atas semua upaya penegakan hukum yang ada.
Kegagalan upaya penegakan hukum yang mengedepankan supremasi hukum ini salah satunya disebabkan oleh faktor kuatnya tekanan kekuasaaan dan uang. Dua sejoli yang dipastikan mampu mengobrak-abrik hukum secara semena-mena.
Dengan kekuasaan, di mana terdapat kekuatan intervensi maka hukum pun bisa diatur sedemikian rupa sesuai dengan keinginan sang penguasa. Begitu juga dengan kekuatan uang. Uang bukan segala-galanya, tapi yang pasti, dengan uang hukum bisa dibeli sesuai dengan kepentingan sang pemiliknya. Akhirnya uang tidak saja menjadi alat tukar barang, tetapi juga telah mampu mengontrol ruang-ruang hukum dalam berbagai aspek kehidupan.
Fakta pembedaan perlakuan di hadapan hukum membuktikan teori para sosiolog bahwa terdapat faktor-faktor lain di luar hukum, yang ikut mempengaruhi penegakan hukum seperti kekuasaan, kekayaan, jabatan, relasi (hubungan keluarga), derajat pendidikan, dan ketokohan seseorang. Dan tentu saja perlakuan istimewa yang diperoleh itu tidak mungkin bisa diperoleh secara gratis. Pasti, terdapat kompensasi yang ditawarkan kepada aparat penegak hukum baik berupa uang, tawaran jabatan, pangkat dan lain sebagainya.
Maka dari itu, jangan kaget apabila banyak pelanggaran hukum di depan mata kita, namun sangat sedikit yang mampu dimajukan ke muka pengadilan. Betapa banyak kasus-kasus hukum yang masuk ke pengadilan namun lolos dari jeratan hukum. Betapa banyak orang yang dihukum namun hukumannya sangat minimalis. Betapa banyak orang yang menjalani hukuman namun tak pernah merasakan sengsaranya hidup di penjara.
Itulah realitas atau potret penegakan hukum di negeri ini. Hukum sebagai norma (das sollen) dengan hukum sebagai kenyataan (das sein) tampak begitu kontras. Maka dari itu, melihat realitas di atas, maka dibutuhkan upaya luar biasa agar penegakan hukum benar-benar dilaksanakan dengan baik, yakni dengan mengedepankan supremasi hukum.
Upaya luar biasa itu terletak pada faktor keberanian para pemimpin dan aparat penegak hukum kita. Harus diakui bahwa saat ini mereka boleh dibilang kurang berani alias takut dengan senantiasa menerima pertimbangan-pertimbangan politis, tekanan kekuasaan, dan upaya suap dalam menegakkan supremasi hukum. Akhirnya hukum pun bisa dibeli dan dipermainkan seenaknya.
Oleh karena itu, sangat dibutuhkan keberanian dan ketegasan ekstra dalam menegakkan hukum. Ketakutan untuk dicaci maki dan dimusuhi dengan menciptakan kebijakan-kebijakan non populis harus dihilangkan. Karena, seluruh rakyat akan ada di belakang kita.
Maka dari itu, kita sangat berharap hadirnya pemimpin dan aparat penegak hukum yang berani berkata, "Yes!" untuk supremasi hukum dan "No" untuk rekayasa hukum. Karena, hanya demikianlah supremasi hukum bisa ditegakkan setinggi-tingginya.
Masih ada pemimpin dan aparat penegak hukum kita yang memiliki keberanian dalam membawa bangsa ini lebih baik lagi. Inilah waktu terbaik dan tepat bagi para pemimpin dan aparat penegak hukum kita untuk membuktikan bahwa penegakan hukum menjunjung tinggi supremasi hukum. Semoga supremasi hukum benar-benar bisa ditegakkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar