Idul Adha
Bersama Chengho
Sumiati Anastasia ; Muslimah dan Alumnus University of Birmingham,
Tinggal di Balikpapan
|
JAWA
POS, 27 Oktober 2012
SETIAP Idul Adha, umat Islam memperingati kesediaan
Nabi Ibrahim mengurbankan putranya dan membagikan daging kurban kepada sesama
yang kurang beruntung. Berkurban bagi sesama itulah yang utama, bukan justru
mengurbankan sesama demi keuntungan kita.
Idul Adha atau Idul Kurban dirayakan segenap muslim di seluruh dunia, di masjid-masjid, tak terkecuali di Masjid Cheng Ho Surabaya. Agar perayaan Idul Adha kali ini tidak jatuh dalam seremoni, mari menggali makna di balik spirit Cheng Ho. Tentu bukan bermaksud mengultuskannya. Jangan lupa, majalah sekelas National Geographic yang berlevel internasional, selain mengakui perjalanan laut Cheng Ho mulai 1405 hingga 1433, juga mengakui peran keislaman Cheng Ho, khususnya dalam syiar Islam, termasuk di bumi Nusantara. Dalam melakukan syiar itu, Cheng Ho selalu mengedepankan spirit Islam sebagai agama damai dan menghargai perbedaan. Prof Kong Yuanzhi, guru besar bahasa dan kebudayaan Indonesia Fakultas Studi Oriental di Universitas Beijing, dalam buku Muslim Tionghoa Cheng Ho, Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara (terbitan Pustaka Populer Obor) juga menguatkan laporan National Geographic tentang Cheng Ho. Misalnya, ketika singgah di Surabaya, yang bertepatan dengan hari Jumat, Cheng Ho mendapat kehormatan menyampaikan khotbah di hadapan ratusan warga. Selain berkhotbah, Cheng Ho mengajari mereka bertani atau memasak. Juga yang penting menurut sumber-sumber tersebut, Cheng Ho dalam menjalankan aktivitasnya selalu mengedepankan budaya damai dan menekankan bahwa Islam itu rahmatan lil alamin. Simak saja, ketika menghadap Raja Majapahit Wikramawardhana, Cheng Ho tetap membawa semangat damai. Padahal, 170 anggota ekspedisinya baru saja dibantai sang raja. Raja semula menduga bahwa kehadiran Cheng Ho bertujuan melampiaskan api dendam. Ternyata, kata-kata pertama yang muncul justru "salam damai" yang maknanya sesuai dengan assalamualaikum. Yang menarik lagi, Cheng Ho menghadap raja disertai para pendeta Han San Wei -tiga agama besar beraliran Han: Tao, Buddha dan Konghucu. Padahal, Cheng Ho maupun juru mudi dan juru masaknya beragama Islam. Dengan demikian, spirit toleransi dan penghormatan atas perbedaan dan pluralisme beragama sudah dijunjung Cheng Ho. Cheng Ho memang layak disebut sebagai sosok muslim Tionghoa dengan visi multikultural. Sebab, nilai-nilai toleransi, pluralisme, dan perbedaan tidak diharamkan, melainkan justru dihargai. Nah, cara-cara ramah yang menghindari pendekatan penuh amarah dari Cheng Ho membuat Islam sungguh diapresiasi dan direspons secara positif. Islam pun bersinar di tanah Jawa pasca sandyakalaningMajapahit. Kerajaan bercorak Islam pertama di tanah Jawa, yakni Demak, dipimpin seorang berdarah Tionghoa, yakni Raden Patah atau Jimbun. Karena itu, rasanya praksis keislaman Cheng Ho yang begitu mengedepankan perdamaian serta menghargai perbedaan tidak akan gampang usang ditelan zaman -karena selalu relevan untuk dikaitkan dengan situasi terkini di negeri kita. Kita tentu sedih karena belakangan ini Islam kerap dikaitkan dengan terorisme dan beragam bentuk manifestasi kekerasan serta gampang menyesatkan pihak lain, bahkan atas nama kata jihad. Menyedihkan bahwa ada teroris yang mengaku berjihad memperjuangkan Islam, tapi aksi mereka justru mendegradasi Islam. Mereka memahami jihad secara sempit sebagai sekadar berperang serampangan. Pemahaman seperti itu jelas mengerdilkan ajaran jihad yang sesungguhnya. Menurut seorang ulama karismatik Syria, Dr Muhammad Sa'id Ramadlan Al Buthi, dalam bukunya, Al Jihad fi Al Islam, jika diidentikkan sebagai perang, jihad jelas akan kehilangan makna otentiknya. Secara etimologis, jihad berarti bersungguh-sungguh dan badzlul juhd atau mengerahkan kekuatan penuh. Karena itu, jihad bukan hanya strategi, cara pandang, maupun pendekatan. Tapi, jihad adalah jalan, pola, dan prinsip hidup (2002: 12). Karena hidup berhadapan dengan kebaikan atau kejahatan, jihad berarti mengerahkan kekuatan penuh untuk tetap pada jalur kebaikan dan tak tergoda dengan "rayuan" kejahatan. Cheng Ho sudah melakukan jihad yang benar dalam syiar keislaman pada masa silam. Bahkan ketika digoda untuk membalas kekerasan dengan kekerasan dan ada alasan masuk akal untuk melakukan pembalasan, Cheng Ho justru memilih membalas yang jahat dengan yang baik, misalnya ketika Cheng Ho bertemu Raja Majapahit Wikramawardhana, seperti disebutkan sebelumnya. Menurut Cheng Ho, ada sisi dari ego manusia yang mendekati sifat-sifat kebinatangan yang harus disembelih, dikorbankan, atau jangan ditonjolkan. Karena itu, kalau kita lebih suka berkurban atau memberi nilai atau sesuatu kepada masyarakat kita, niscaya akan ada harmoni, sikap saling menghargai, dan segala bentuk konflik atau kesalahpahaman bisa diatasi dengan bijak. Cheng Ho sudah menunjukkan semua itu dalam setiap kehadirannya di bumi Nusantara dulu. Memang tidak mudah menghayati spirit semacam itu. Dalam masyarakat urban yang kian hedonistis dan materialistis, sisi-sisi kebinatangan kadang begitu dominan. Tapi, kita tidak boleh lelah dalam memperjuangkan Islam sebagai agama penuh rahmat bagi semesta. Di sinilah dibutuhkan pengorbanan diri. Winston Churchill pernah menulis, "Kita hidup dengan apa yang kita peroleh, namun kita akan sungguh beroleh kehidupan yang bermakna dengan apa yang kita berikan atau kurbankan bagi sesama." Selamat Idul Adha 10 Zulhijah 1433 H. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar