Diskusi Panel Kompas
‘Masa
Depan ASEAN di Tengah Berbagai Kepentingan dan Kekuatan Multipolar Global’
|
KOMPAS,
03 Oktober 2012
Perwujudan Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) semakin dekat pada tahun 2015. Idealnya, MEA akan menjadi wadah dan
mencerminkan kekuatan ASEAN yang lebih besar lagi.
Empat pilar liberalisasi,
masing-masing liberalisasi arus barang, arus investasi, arus modal, dan pasar
tenaga kerja menjadi kerangka kerja MEA. Menurut pengamat ekonomi Djisman
Simandjuntak, ASEAN terlalu banyak berkutat pada masalah liberalisasi, termasuk
penghilangan hambatan tarif terhadap perdagangan barang, jasa, dan arus pekerja
profesional. Padahal, jika dilihat dari sejarah masyarakat ekonomi Eropa,
integrasi ada dua dimensi, yaitu pasar yang dibuka satu sama lain dan penarikan
sejumlah sumber daya.
Inti dari kedua dimensi
integrasi ini adalah kerja sama fungsional. Dalam hal ini, Djisman berpendapat,
program kerja sama fungsional di ASEAN banyak sekali, tetapi pelaksanaannya
sangat rendah.
MEA memiliki banyak dampak
positif. ASEAN adalah mitra dagang terpenting Indonesia, baik perdagangan
barang maupun jasa. ASEAN menjadi pelaku investasi asing penting di Indonesia.
Kawasan ini juga menyerap tenaga kerja Indonesia dalam jumlah yang besar.
Namun, kalangan pebisnis
juga cemas dengan MEA. Kekhawatiran mereka antara lain tentang minimnya
pengusaha muda di Indonesia. Hal ini menyebabkan lesunya dunia usaha di dalam
negeri, kalah oleh serbuan pengusaha ASEAN lainnya.
Bagi Indonesia, tahun 2015
adalah saat kita menjawab sejauh mana ASEAN menguntungkan ekonomi Indonesia.
MEA bisa jadi ajang pemanfaatan potensi para pelaku usaha di seluruh wilayah di
Indonesia pada ajang pasar ASEAN.
Dengan penduduk 600 juta
jiwa, produk domestik bruto sebesar 2,2 triliun dollar AS, total perdagangan
dengan dunia mencapai 2,4 triliun dollar AS, dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5
persen, ASEAN bisa menjadi basis produksi dunia.
Episentrum Baru
Prasetyantoko, ekonom dari
Universitas Atma Jaya Jakarta, menyatakan, dalam konteks ekonomi global,
penurunan perekonomian di Uni Eropa dan Amerika Serikat justru membuat kawasan
Asia menjadi episentrum baru. Asia, termasuk ASEAN, akan secara alamiah menerima
arus modal. Pemerintah di Asia tak perlu bekerja terlalu keras, modal akan
mengalir dengan sendirinya.
Krisis global dan
ketimpangan global justru akan memperkuat integrasi ASEAN. Ekspor Indonesia ke
ASEAN semakin lama semakin tinggi. Selain itu, investasi intra-ASEAN juga
meningkat karena dinamikanya meningkat.
Bagi Indonesia, ASEAN
semakin penting. Indonesia memiliki kinerja ekonomi makro yang relatif lebih
baik. Daya beli masyarakat Indonesia juga luar biasa. Bank Dunia memperkirakan,
setiap tahun ada 7 juta warga yang menjadi kelas menengah baru dan siap membeli
barang konsumsi ataupun yang ditawarkan sektor produksi.
Di sisi lain, sektor
produksi Indonesia lemah. Produk kita lemah, ekspor masih sangat bergantung
pada bahan mentah, seperti minyak sawit mentah atau batubara. Selain itu,
investasi sosial juga sangat kurang.
Pada RAPBN 2013, sebagian
besar belanja, sekitar 27 persen, adalah belanja untuk subsidi. Setelah itu
baru belanja pegawai, modal, dan seterusnya. Struktur pembelanjaan bergantung pada
subsidi, bukan investasi sosial. Memang sudah ada kenaikan anggaran terhadap
sektor pendidikan, tetapi dampaknya masih belum terasa.
Jadi, Indonesia adalah surga
bagi produsen karena kekuatan kelas menengahnya. Peningkatan kelas menengah
Indonesia paling tinggi di antara negara Asia lainnya. Pola investasi juga
belum beranjak dan memegang dana tunai sehingga sangat mudah membelanjakan uang
untuk barang konsumsi. Akibatnya, meski kondisi ekonomi makro baik, tetap ada
korban dari integrasi pasar ini, yaitu impor yang meningkat signifikan karena
konsumsi terlalu banyak.
Dari sisi produksi, indeks
daya saing Indonesia terus menurun. Menurut data terbaru, Indeks Daya Saing
Global Indonesia berada pada urutan ke-50, dari posisi ke-46 tahun 2011. Faktor
institusi, termasuk birokrasi yang korup, inefisiensi, dan buruknya
infrastruktur, masih menjadi penyebab. Dari indeks tersebut, nilai rapor yang
hijau hanyalah pasar yang besar.
Prasetyantoko menegaskan,
kalau berbicara ASEAN sebagai pasar, Indonesia adalah jantungnya. Peran
Indonesia menjadi sentral. Sebaliknya, jika berbicara ASEAN sebagai basis
produksi, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Tidak hanya
pekerjaan rumah dalam jangka pendek, tetapi juga jangka menengah dan panjang.
Hal itu termasuk investasi sosial untuk meningkatkan faktor endogen, kemampuan
manusia, dan birokrasi agar kita dapat meningkatkan daya saing, atau menangkap
peluang lebih besar dengan integrasi ASEAN yang lebih tinggi.
Apakah kita lagi-lagi mau
hanya menjadi pasar? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar