Sekali Lagi
Soal Pajak
Said Aqil Siradj ; Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
|
REPUBLIKA,
24 September 2012
Musyawarah
Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama (NU)
yang di helat di Pesantren Kempek telah usai. Akan tetapi, tindak lanjut dari
hasil musyawarah para ulama tentu saja belum selesai. Dalam perhelatan itu, NU
secara internal dan eksternal menyadari pentingnya berbenah-diri secara kolektif.
Salah
satu dari sekian hasil Munas dan Konbes NU yang menarik perhatian kalangan luas
adalah persoalan pajak.
Sebagaimana
kemudian diketahui bersama, persoalan ini ditanggapi dan ditafsiri oleh
berbagai pihak dengan cara pandang yang berbeda-beda. Di dalam dan luar arena
Munas dan Konbes NU, terutama di media-media, beredar istilah-istilah semacam
“boikot” dan “moratorium” atas pajak.
Berbagai
tanggapan dan tafsiran itu secara umum dapat terbagi dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama menilai bahwa NU menunjukkan sikap bughat (pembangkangan) terhadap pemerintah.
Pandangan
ini biasanya disertai asumsi bahwa keberlangsungan tata pemerintahan tak
mungkin tegak tanpa disokong pajak. Sampai batas tertentu, pandangan ini boleh
jadi benar dengan mengingat bahwa sekitar 70 persen dari pendapatan negara
diperoleh dari sektor pajak.
Kelompok
kedua adalah pihak-pihak yang menilai bahwa godaan politik praktis masih saja
mendera NU. “Kembali ke Khitah Indonesia 1945” yang merupakan tema besar Munas
dan Konbes NU dicurigai sebagai strategi untuk mendapatkan jatah politik
kekuasaan. Pandangan macam ini mungkin berangkat dari asumsi bahwa syahwat
politik dalam tubuh Nahdliyin masih besar. Dengan demikian, rekomendasi NU
dalam soal pajak hanya dianggap sebagai “gertak-sambal”.
Kelompok
ketiga adalah mereka yang secara diam-diam dan sengaja memanfaatkan situasi
untuk meraih keuntungan sepihak. Kelompok ini menjanjikan intervensi dan upaya
fasilitasi antara unsur pemerintahan dan unsur NU. Tujuannya, isu pajak bisa
diredam dengan kompromi-kompromi tertentu.
Terhadap
itu semua, Pengurus Besar NU tentu tidak gelap mata. Saya merasa perlu menyusun
tulisan tanggapan ini dengan satu sikap: “Ambil
yang jernih, tinggalkan yang keruh”. Saya hendak menegaskan kembali apa
yang telah disepakati Sidang Komisi Rekomendasi dan Rapat Pleno dalam Munas dan
Konbes NU. Berikut ini merupakan kutipan persisnya.
“Bahwa,
bagi umat Islam, pungutan yang wajib dibayar berdasarkan perintah langsung dari
Alquran dan Hadis secara eksplisit adalah zakat. Sedangkan, kewajiban membayar
pajak hanya berdasarkan pada perintah yang tidak langsung (implisit) dalam
konteks mematuhi penguasa (ulil ‘amr).
Penguasa dalam membelanjakan uang negara yang diperoleh dari pajak, berdasarkan
kaidah fikih tasharruful imaamm
alar-ra’iyyah manuuthun bil mashlahah, mesti mengacu pada tujuan
kemaslahatan warga negara (terutama kaum fakir miskin).
Ketika
ternyata bahwa uang negara yang berasal dari pajak tidak dikelola dengan baik
atau tidak dibelanjakan sebagaimana mestinya, bahkan terbukti banyak dikorupsi,
maka muncul pertanyaan, “Apakah kewajiban membayar pajak oleh warga negara itu
masih punya landasan hukum keagamaan yang kuat?”
Dari
situ kemudian lahir rekomendasi. Pertama, pemerintah harus lebih transparan dan
bertanggung jawab terkait dengan penerimaan dan pengalokasian uang pajak, serta
memastikan tidak ada kebocoran. Kedua, pemerintah harus mengutamakan
kemaslahatan warga negara, terutama fakir miskin, dalam penggunaan uang pajak.
Ketiga, PBNU perlu mengkaji dan mempertimbangkan mengenai kemungkinan hilangnya
kewajiban warga negara membayar pajak, ketika pemerintah tidak dapat
melaksanakan rekomendasi poin 1 dan 2.
Dalam
sidang sempat muncul kaidah fiqh al-ashlu
fil maal al hurmah. Hukum dasar menarik pajak dari rakyat adalah haram.
Jika kemudian negara diperbolehkan menarik pajak maka alasannya adalah hajat
(ada kebutuhan) yang disamakan dengan darurat (keharusan). Sebab, sesuatu yang
dibolehkan karena darurat berlaku sepanjang dengan-dan di batasi sesuai-kadar daruratnya.
Jadi, zakat adalah wajib syar’i dan
wajib siyasi.
Dasar
dan orientasi poin-poin rekomendasi di atas sudah sangat jelas sehingga
penafsiran lebih jauh tentu saja tidak terlalu perlu. Selain itu, saya bisa
memastikan bahwa topik pajak ini, sebagaimana topik-topik lain, berangkat dari
usulan-usulan warga NU hingga di tingkat ran ting (desa). Para peserta Munas
dan Konbes NU adalah para ulama yang berang kat dengan titipan persoalan
konkret yang dialami warga di daerah daerah. Pola semacam ini, yang
memungkinkan penye rapan suara rakyat, sudah ditradisikan sejak NU lahir pada
1926.
Sembari
menulis ini, saya kembali terbayang wajah orang-orang Cirebon mau pun luar
Cirebon yang dengan sukarela menyerahkan infak untuk kelancaran logistik Munas
dan Konbes NU. Mereka datang satu per satu dengan kemampuannya masing-masing.
Mereka menyumbang tanpa mengharap imbal-balik selain rida Allah SWT. Di area
dapur panitia, saya menyaksikan sembilan ekor sapi, dua ton buah-buahan, satu
ton gula pasir, 1.600 kardus air mineral, tiga truk sayur-mayur, lima ton
beras, setengah kuintal bandeng, tumpukan kerupuk yang menggunung, 1000 paket
peralatan MCK, 600 buah peci, satu boks mobil susu, dan 25 kardus besar berisi
minyak goreng.
Atas
nama Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Saya mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya
kepada mereka. Hanya Allah yang tahu niat terdalam hamba-hambanya. Hanya Allah
yang tahu bagaimana cara membalasnya. Ungkapan terima kasih ini tidak hanya
karena mereka telah membantu kelancaran acara, tetapi juga karena mereka telah
memberi teladan yang melebihi harga nominal sumbangan. Teladan itu berupa bukti
bahwa keimanan bisa bertransformasi menjadi kekuatan sosial dan ekonomi.
Kesukarelaan dengan pamrih hanya kepada Allah inilah yang juga mendorong
kesetiaan warga NU pada NKRI.
Saya yakin,
kesukarelaan semacam itu yang membuat warga NU berani mempertahankan kedaulatan
Indonesia dengan harga apa pun. Maka, sepanjang kesukarelaan itu direspons para
pemangku kekuasaan dengan cara yang diridai Allah, warga NU akan ikhlas memberikan
dukungan. Sebaliknya, jika kesukarelaan tersebut dikhianati, warga NU akan
bersikap keras kepada pemerintah. Ini berlaku dalam semua segi dan soal, bukan
hanya pajak! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar