Kampanye di
Media Penyiaran
Gun Gun Heryanto ; Direktur
Eksekutif The Political Literacy Institute,
Dosen
Komunikasi Politik UIN Jakarta
|
SINAR
HARAPAN, 21 September 2012
Dalam praktik demokrasi elektoral di
Indonesia, fase kampanye pemilu kerap menjadi titik krusial yang memengaruhi
kualitas penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu), terutama hubungannya dengan
pendidikan politik warga.
Hal utama yang sering kali menjadi persoalan
pada fase kampanye adalah komitmen untuk menghormati dan menjalankan
kesepakatan aturan main.
Demokratisasi tidak hanya penting dalam
memosisikan hak memilih dan dipilih, melainkan juga dalam setiap tahapan
penyelenggaraan pemilunya. Salah satu tahapan tersebut adalah kampanye pemilu,
terutama hubungannya dengan pemanfaatan media massa secara adil dan demokratis.
Pemilu 2014
UU Pemilu No 8 Tahun 2012 menyatakan kampanye
pemilu legislatif dimulai tiga hari
setelah partai ditetapkan secara resmi sebagai peserta pemilu dan berakhir tiga
hari jelang pencontrengan. Masa kampanye pemilu rencananya berlangsung kurang
lebih 15-16 bulan sejak pengumuman verifikasi parpol oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU).
Jika asumsi waktu berjalan mulus, rentang
masa kampanye pemilu legislatif 2014 lebih panjang dari pemilu 2009. Saat itu,
kampanye berlangsung sembilan bulan, yakni 5 Juli 2008 hingga 5 April 2009.
Hal berbeda dari penyelenggaraan pemilu 2009
terkait dengan masa kampanye melalui media massa. Untuk Pemilu 2014, kampanye
melalui media cetak dan elektronik ditetapkan 21 hari sebelum masa tenang,
artinya tiga hari sebelum pencontrengan.
Sementara pada Pemilu 2009, iklan melalui
media massa bisa dilakukan tiga hari setelah peserta pemilu ditetapkan sebagai
kontestan, seperti halnya metode pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka,
penyebaran bahan kampanye kepada umum, serta pemasangan alat peraga di tempat
umum.
Sekilas tampak ada kemajuan, karena
seolah-olah waktu siaran untuk iklan kampanye pemilu di media massa kita
berkurang.
Tetapi jika kita kaji secara faktual, aturan
main ini dibuat seolah untuk dilanggar semua kontestan pemilu. Banyak partai,
terlebih yang memiliki media, jauh-jauh hari mengoptimalkan media sebagai
instrumen kampanye dan propaganda, bahkan jauh sebelum tahapan pemilu
berlangsung.
Michael Pfau dan Roxanne Parrot menulis dalam Persuasive
Communication Campaign (1993), bahwa kampanye merupakan proses yang
dirancang secara sadar, bertahap, dan berkelanjutan.
Dilaksanakan pada rentang waktu tertentu
dengan tujuan memengaruhi khalayak sasaran yang telah ditetapkan. Sebagai
tindakan persuasif, bisa dimaklumi jika kampanye memang sedari awal
berorientasi pada empat hal.
Pertama, berupaya
menciptakan “tempat” tertentu dalam pikiran khalayak tentang produk, kandidat,
atau gagasan yang disodorkan. Kedua, menyiapkan khalayak untuk bertindak hingga
akhirnya mengajak mereka melakukan tindakan nyata.
Ketiga, mendramatisasi gagasan-gagasan yang
disampaikan sehingga mengundang mereka untuk terlibat, baik secara simbolis
maupun praktis sesuai tujuan kampanye. Keempat, menggunakan kekuatan media
massa dalam menggugah kesadaran masyarakat sehingga mengubah perilaku pemilih (voter behavior).
Pesatnya perkembangan industri media massa
membuat partai politik memunculkan banyak strategi yang erat kaitannya dengan
media. Para pengusaha-politikus melakukan penetrasi melalui penguasaan media.
Hal ini mengemuka pada fase pemilu 2009 dan
kian kokoh jelang pemilu 2014. MNC Group, Media Group, Viva Group, dan
lain-lain merupakan contoh pengendalian media oleh politikus pengusaha yang
sekaligus menjadi pengendali utama partai politik. Dengan demikian, media
menjadi arena pertarungan baru yang tidak lagi sembunyi-sembunyi, melainkan
sudah sangat eksplosif dan eksploitatif.
Lihat saja baku hantam pada kasus restitusi
pajak PT Bhakti Investama, Lumpur Lapindo, Hambalang, Wisma Atlet, dan skandal
Century. Media di bawah pengendalian pemilik, mengonstruksi, merekonstruksi,
dan mendistribusikan political news
framing yang menohok kredibilitas kompetitor sekaligus mengeliminasi opini
negatif yang tertuju pada kekuatan politik mereka masing-masing.
Proporsionalitas Siaran
Sebenarnya dalam UU No 08 Tahun 2012 ini ada
beberapa hal yang sudah mulai diatur meskipun masih melahirkan banyak
problematika.
Misalnya, di dalam Pasal 96 diatur soal
larangan menjual blocking segment dan/atau blocking time, dilarang menerima program
sponsor dalam format atau segmen apa pun yang dapat dikategorikan sebagai iklan
kampanye pemilu, serta dilarang menjual spot iklan yang tidak dimanfaatkan oleh
salah satu peserta pemilu kepada peserta pemilu lainnya.
Sementara di Pasal 97 batas maksimum
pemasangan iklan kampanye pemilu di TV secara kumulatif 10 spot berdurasi
paling lama 30 detik setiap stasiun televisi setiap harinya pada masa kampanye.
Sementara radio 10 spot berdurasi paling lama 60 detik.
Namun ada beberapa hal mendasar yang perlu
dikritik untuk mendapatkan perhatian kita bersama.
Pertama, semakin terabaikannya peran Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) dalam kegiatan kampanye pemilu. Jika di UU No 10
Tahun 2008, KPI bisa menjatuhkan sanksi kepada media penyiaran yang melanggar
aturan kampanye maka di UU No 8 Tahun 2012 sanksi itu hanya mungkin diberikan
oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota itu pun hanya kepada partai yang
menjadi kontestan pemilu saja.
Posisi KPI hanya disebut di Pasal 100 dalam
bahasa normatif, yakni pengawasan atas pemberitaan, penyiaran, dan iklan
kampanye pemilu.
Kedua, kalimat
di dalam UU No 8 Tahun 2012 terutama terkait dengan penggunaan jam tayang masih
sangat normatif. Redaksi kalimat “memberi alokasi waktu yang sama dan
memperlakukan secara berimbang” adalah rumusan yang normatif dan
multiinterpretasi.
Ini senada dengan Pedoman Perilaku Penyiaran
Bab XXIX Tahun 2012 dari KPI menyangkut siaran pemilu dan pilkada yang salah
satu bunyinya adalah lembaga penyiaran wajib bersikap adil dan proporsional.
Perlu ada pengaturan lebih operasional
mengenai durasi tayangan iklan, running
text, superimpose, jual waktu siar dalam program, siaran jajak pendapat, dan
jenis siaran lainnya yang sangat mungkin menjadi kampanye terselubung.
Oleh karena itu, sangat diperlukan perangkat
peraturan KPU dan KPI yang tegas, detail, operasional, dan mengikat sesuai
dengan porsi lembaga masing-masing tetapi bersinergi untuk menjaga kualitas
penyelenggaraan pemilu di Indonesia.
Frekuensi siaran adalah milik publik, karena
itu lembaga siaran tidak bisa sewenang-wenang menggunakan waktu siar sebagai
alat kampanye, propaganda, bahkan hegemoni opini publik.
Dinamika industri media saat ini menyebabkan
harapan terwujudnya demokratisasi siaran sirna! Politikus-pengusaha berada di
puncak hierarki media. Dampaknya, bingkai pemberitaan di level dan isu tertentu
sangat mungkin disesuaikan dengan keinginan pemilik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar