Boikot Pajak
Versi NU
Chandra Budi ; Bekerja di
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Alumnus Pascasarjana IPB
|
KORAN
TEMPO, 20 September 2012
Bandingkan dengan artikel Chandra Budi di Jawa Pos 18 September
2012
“Lantas, apakah wacana boikot pajak saat ini sudah tepat? Kalau
berkaca dari pendapat KH Masdar Farid Mas'udi di atas, selama pemerintah masih
berkomitmen dan konsisten untuk tetap adil dan mensejahterakan rakyatnya,
wacana boikot pajak justru menyebabkan pemerintah semakin terperosok dalam
ketidakadilan.”
Ketika Ketua Umum Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj mengemukakan akan meninjau ulang
kewajiban membayar pajak, semua pihak terkejut. Bahkan wacana tersebut
berkembang menjadi desakan agar PBNU mengeluarkan rekomendasi atau fatwa agar
masyarakat tidak membayar pajak, akibat maraknya korupsi atas uang pajak
tersebut. Pun, pada pidato pembukaan Musyawarah Nasional dan Konferensi Besar
PBNU 15-17 September 2012 di Pesantren Kempek Cirebon, KH Said Aqil Siradj
kembali menyebutkan, jika pajak dikorupsi, kewajiban membayar pajak akan
ditinjau ulang. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tinjauan ulang atas kewajiban
membayar pajak ini sangatlah mungkin karena pajak merupakan kewajiban
kenegaraan, bukan kewajiban agama. Warga NU wajib membayar pajak karena taat
kepada negara, bukan menjalankan kewajiban agama seperti halnya kewajiban
zakat.
Menarik untuk membahas munculnya
ajakan tidak membayar (boikot) pajak versi NU. Setidaknya ada beberapa hal yang
melatarbelakanginya, mengutip pendapat salah satu Ketua NU, KH Masdar Farid
Mas'udi, dalam bukunya Pajak Itu Zakat (Mizan, 2005), yang menyatakan bahwa
esensi pajak itu sebenarnya adalah zakat yang dibayarkan ke negara dengan
maksud untuk kesejahteraan rakyat. Tujuan pajak dan zakat pun sama, yaitu
redistribusi kekayaan untuk kemaslahatan dan keadilan bagi semua. Karena makna
pajak adalah zakat, hak pemajakan merupakan mandat dari Allah, yang dananya
merupakan milik Allah. Sebagai milik Allah, pajak yang dihimpun oleh pemerintah
haruslah dipergunakan untuk kepentingan yang diizinkan oleh Allah, yakni
kemakmuran segenap rakyat terutama bagi yang tidak mampu.
Nah, wacana boikot pajak bermuara
dari kekhawatiran bahwa pemerintah tidak mempedulikan aspirasi keadilan dan
kesejahteraan rakyatnya. Tentunya, secara formal, pemerintah telah memiliki
komitmen untuk tetap mensejahterakan rakyatnya melalui alokasi belanja negara
dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang masih dititikberatkan bagi
peningkatan kesejahteraan rakyat miskin. Namun, dalam prakteknya, harus diakui
masih ada penyelewengan oleh oknum pejabat negara yang berkolusi dengan oknum
masyarakat yang memanfaatkan uang pajak untuk kepentingan pribadi.
Lantas, apakah wacana boikot
pajak saat ini sudah tepat? Kalau berkaca dari pendapat KH Masdar Farid Mas'udi
di atas, selama pemerintah masih berkomitmen dan konsisten untuk tetap adil dan
mensejahterakan rakyatnya, wacana boikot pajak justru menyebabkan pemerintah
semakin terperosok dalam ketidakadilan. Yah, bagaimana dapat menjalankan
program pro-rakyat kalau uang pajak untuk membiayainya tidak tersedia.
Akibatnya, rakyat menjadi semakin miskin, keadilan sulit ditegakkan, dan
redistribusi pendapatan tidak berjalan. Negara akan gagal menjalankan fungsinya
dan terancam bubar. Karena itu, yang diperlukan adalah pengawasan bersama oleh
semua pihak terkait agar pemerintah dapat menjalankan fungsinya secara
akuntabel, transparan, dan bersih.
Komitmen
Setidaknya ada dua aksi nyata
pemerintah untuk mewujudkan komitmen terhadap rasa keadilan dan peningkatan
kesejahteraan rakyat. Pertama, menempatkan keadilan, kemakmuran, dan
kesejahteraan rakyat sebagai tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Pun, dalam isi UUD 1945 diatur jelas kewajiban
warga negara menaati hukum pajak dan hak warga negara atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak.
Sebagaimana dijelaskan dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, negara Indonesia adalah negara hukum. Karena itu,
setiap warga negara Indonesia wajib menaati hukum yang berlaku sebagaimana
diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Kewajiban membayar pajak diatur dalam
Pasal 23A UUD 1945, yaitu pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, dapat dikatakan,
kewajiban membayar pajak bagi warga negara Indonesia merupakan wujud ketaatan
terhadap hukum yang berlaku.
Secara filosofis, kewajiban
membayar pajak juga merupakan bentuk partisipasi warga negara kepada negaranya.
Partisipasi ini bahkan setara dengan hak dan kewajiban warga negara yang lain,
yaitu ikut serta dalam upaya pembelaan negara sebagaimana diatur dalam Pasal 27
ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, apabila setiap warga negara mematuhi
kewajibannya untuk membayar pajak, hak warga negara atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945
dapat tercukupi.
Aksi nyata pemerintah kedua
adalah menempatkan anggaran belanja yang berpihak kepada peningkatan
kesejahteraan rakyat miskin (pro-poor),
penciptaan lapangan kerja (pro-job),
peningkatan pertumbuhan ekonomi (pro-growth),
dan ramah lingkungan (pro-environment).
Direncanakan, pada 2013, penerimaan pajak akan menembus angka Rp 1.031 triliun,
di mana lebih dari 80 persennya dibelanjakan untuk mewujudkan rasa keadilan dan
kesejahteraan rakyat.
Pemerintah mengalokasikan
anggaran untuk pendidikan 20 persen dari keseluruhan rencana anggaran belanja
tahun 2013 sebesar Rp 1.657,9 triliun. Pemerintah menyadari pendidikan
merupakan kunci bagi rakyat miskin untuk keluar dari jerat kemiskinan. Sikap
pro-rakyat semakin ditunjukkan dengan mengalokasikan 19,1 persen dari total
anggaran belanja untuk keperluan subsidi. Mekanisme subsidi masih diyakini
dinikmati sebagian besar oleh rakyat kecil, utamanya subsidi bahan bakar minyak
dan listrik. Alokasi belanja yang cukup besar lainnya adalah untuk program
penanggulangan kemiskinan, yaitu sebesar 6,4 persen dari total anggaran
belanja. Program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan meliputi bantuan dan
perlindungan sosial, pemberdayaan masyarakat, pengembangan usaha kecil dan
mikro, serta program pro-rakyat melalui penyediaan sarana dan prasarana murah.
Apabila pemerintah telah
nyata-nyata menjadi zalim, pembangkangan sosial dalam bentuk boikot pajak
tentunya didukung oleh seluruh rakyat. Namun, selama ini, pemerintah telah
menunjukkan komitmen nyata untuk mensejahterakan rakyat. Jadi, buat apa boikot pajak? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar