Agresi
L Wilardjo ; Fisikawan
|
KOMPAS,
21 September 2012
Beberapa waktu yang lalu ada
rohaniman—cum—filsuf yang mengisi rubrik opini ini dengan mengolok-olok dirinya
sendiri. Olok-olokannya jenaka.
Dengan kejenakaannya itu,
Romo yang muktabar itu tak lupa memuji Tuhan yang bersifat adil dan
Mahapengasih. Pada hemat saya, ada lagi yang dibidiknya.
Saya pagi itu benar-benar
menikmati lelucon Sang Filsuf sehingga saya menghubungi beberapa orang sohib
saya berbagi kenikmatan itu. Salah seorang di antara sohib-sohib itu bilang
bahwa ia juga menikmati lelucon tersebut.
Selang dua hari kemudian
saya kecipratan gunjingan para akademiman tentang ”kiamat kecil” yang konon
akan terjadi pada dan di sekitar hari Natal nanti. Kata- nya ramalan kiamat itu
berasal dari NASA. Tak diterangkan apakah NASA itu Badan Ruang Angkasa dan
Aeronautika Nasional (Amerika). Gelap gulita tiga hari itu katanya disebabkan
posisi segarisnya Matahari dan Bumi. Berita tentang ramalan kiamat kecil itu
disertai imbauan agar kita ja- ngan panik, tenang di rumah dan berdoa yang
khusyuk, atau tidur.
Karena Romo yang jenaka tadi
juga akademiman dan ramalan itu diunggah ke lembaran bincang para akademiman
yang semuanya pintar-pintar, Romo-Filsuf membaca berita yang heboh itu. Ia pun
bereaksi. Dengan seri- us tanpa bergurau ia mengatakan bahwa ramalan kiamat
kecil itu cuma bohong-bohongan.
NASA tak pernah menyiarkan
ramalan bohong itu. Romo-Filsuf menyesalkan sempat munculnya hoax itu di lembaran bincang anggota
akademi ilmu pengetahuan yang terhormat. Seorang akademiman lain, yang juga
astronomiman senior dan suka menjuluki dirinya sebagai Si Tukang Dorong
Teropong,nimbrung bahwa ia sudah memperingatkan sebelumnya agar kita jangan
termakan ramalan bohong-bohongan itu. Hal yang diramalkan itu belum pernah
terjadi selama 4,5 miliar tahun keberadaan Planet Bumi.
Ramalan bahwa Matahari dan
Bumi akan segaris memang tak salah. Itu bukan ramalan, melainkan pernyataan
tentang apa yang sudah diyakini dan diterima sebagai kebenaran ilmiah. Sejak
dulu Matahari dan Bumi selalu segaris. Euklides dalam geometrinya telah
menyabdakan kesegarisan itu sejak zaman baheula. Melalui dua titik dapat
ditarik satu (dan hanya satu) garis lurus. Pusat Matahari dan pusat Bumi ialah
dua titik. Jadi pastilah dapat ditarik satu garis lurus melalui kedua titik
itu.
Barang tentu ini garis mate-
matis abstrak yang hanya dibayangkan dengan pikiran kita. Ramalan kiamat kecil
itu mengatakan bahwa di dalam suasana gelap gulita itu nanti alam akan
mengalami perubahan menjadi berdimensi empat, lalu berubah lagi jadi berdimensi
nol. Orang awam seperti saya kian bingung.
Sewaktu masih Narayana
(Trigantalpati?) dulu, saya kuliah al- jabar linier dari Prof RMJT Soehakso.
Kami diajari tentang ruang berdimensi n, dan n ini bisa berapa pun. Saya gagal
dalam tentamen tertulis lalu her dengan ujian lisan. Lulus, tetapi cuma
pas-pasan. ”Voldoende,” kata Prof
Hakso. Ruang-waktu caturmatra Minkowski
masih bisa saya pahami, tetapi dimensi yang lebih tinggi lagi dalam teori superstring atau Teori-M sulit dimengerti.
Namun, kalau kita
anti-induktivis dan mendukung falsifikasi Popperian, kiamat kecil itu dapat
kita terima sebagai ramalan yang terujikan. Tersanggah atau tidaknya ramalan
itu, ya, kita tunggu saja sampai Natal nanti.
Tanggapan Si Tukang Dorong
Teropong terutama ditujukan kepada Romo-Filsuf. Ia mendukung bantahan
Romo-Filsuf atas ramalan NASA itu. Ia juga mendukung pesan tersembunyi yang ada
dalam lelucon Romo-Filsuf tempo hari. Disiratkannya bahwa lelucon Romo-Filsuf
itu, meskipun baginya cespleng, belum
tentu dipahami orang yang dibidiknya sebab dia terlalu bangga akan kehebatan
dirinya.
Kesatria
Sekarang giliran saya yang
nimbrung. Saya katakan kepada Si Tukang Dorong Teropong bahwa orang yang tidak
bisa merasa itu namanya Narkissos.
Dalam bahasa gaul anak muda, disebut narsis.
Saya katakan juga bahwa di kalangan pakar psikologi, lelucon berfungsi
menyerang. Lelucon itu suatu bentuk agresi, dan jenakawannya adalah agresor.
Si Tukang Dorong Teropong
mengamini kata-kata saya, lalu bertanya, ”Apakah kiamat kecil itu lelucon dan
jenakawan yang menyebarkannya agressor juga?”
Jawab saya, ”No comment.” Namun,
Romo-Filsuf yang menebar lelucon ”Ngantuk”
di rubrik opini pada hemat saya adalah seorang agresor. Karena saya menikmati
kejenakaannya yang cerdas itu, saya pun ikut menjadi agresor. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar