Rabu, 01 Agustus 2012

Yang Belia, Yang Durjana


Yang Belia, Yang Durjana
Teuku Kemal Pasya ; Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
SINAR HARAPAN, 01 Agustus 2012


Biasanya kenakalan remaja adalah bagian dari perkembangan hormonal dan sikap ingin coba-coba. Namun, yang dilakukan oleh MS (inisial) 14 tahun, sudah di luar batas kenakalan remaja.

Ia adalah otak perampokan dan pembunuhan ayah dan anak di perumahan Satria Jingga, Bojong Gede, Bogor. Bersama teman-temannya yang lebih dewasa, mereka membunuh karena panik kejahatannya kepergok korban.

Menanggapi kejadian tersebut Komnas Perlindungan Anak meminta hukuman harus diperlakukan khusus dan tidak dapat dihukum maksimal seperti pelaku pidana dewasa. Mereka menganggap MS hanya diperalat.

Berbagai sikap prihatin dari pakar dan LSM yang bergerak pada pembinaan anak dan keluarga juga bermunculan. Ada yang mengatakan remaja itu tumbuh dalam keluarga yang berantakan. Ada yang mengganggap ia adalah korban dari lingkungan yang rusak, dan sebagainya.

Tumbuh sebagai Penjahat

Pikiran saya ketika membaca berita ini langsung terhubung pada kisah film Sleepers, sebuah film yang diproduksi dan disutradarai Barry Levinson pada 1996. Film itu mengisahkan kehidupan empat remaja yang bersahabat di Hells Kitchen, New York, pada sekitar pertengahan '60-an.

Film hasil adaptasi dari novel karya Lorenzo Carcaterra (1995) ini berdasarkan kisah hidupnya sendiri. Ia mengisahkan tentang persahabatannya dengan anak-anak peranakan yang tumbuh di daerah paling kacau di NY. Mereka terbiasa mendengar orang yang dibunuh dan digantung di tengah malam karena berani melawan para pemimpin mafia setempat, King Benny.

Hingga pada suatu hari mereka terlibat kejahatan kecil khas remaja. Mereka mencuri hotdog dan membawa lari gerobak sang penjual. Ternyata sikap main-main 
mereka itu berbuah bencana.

Gerobak itu akhirnya jatuh dalam sebuah terowongan dan menimpa seorang pejalan kaki hingga tewas. Singkat cerita mereka akhirnya mendekam di penjara anak-anak. Sang hakim pun mengeluarkan kata-kata terakhirnya pascaputusan, “Semoga Tuhan masih membuka pintu tobat atas kejahatan yang kalian lakukan.”

Di penjara tersebut, keempatnya mengalami kengerian sejak malam pertama. Mereka menderita lahir dan batin akibat bentuk kekerasan dan pelecehan dari para sipir. Mereka terbiasa menerima pukulan, makian, hingga perkosaan oleh para sipir yang memiliki kelainan seksual. Akibatnya, dua dari empat anak-anak itu tumbuh menjadi gangster ketika dewasa.

Hingga suatu malam, empat belas tahun kemudian, dua penjahat muda itu menemukan sang sipir yang pernah memerkosa mereka di sebuah restoran.

Sang sipir telah lupa dengan kejadian itu, tapi “bocah-bocah itu” tak pernah lupa. Dengan dingin mereka menembak Sean Nokes (Kevin Bacon). Film yang mendapat pujian ini turut dibintangi Robert De Niro, Dustin Hoffman, Jason Patric, dan Brad Pitt.

Ketika membaca kisah bocah pembunuh di Bogor itu, saya mengira kejahatannya tidak akan berhenti hanya dengan hukuman penjara atau perlakuan khusus.

Kejahatan telah menjadi habitus baginya akibat proses bersama waktu dalam pikiran dan tindakannya. Penjara dan penanganan konvensional hanya membuka jalan untuk belajar membiakkan bakat kejahatan yang telah dimilikinya. Dari amatir menjadi penjahat profesional.

Habitus Baru

Kejahatan bukan hanya sebentuk inagurasi. Kejahatan adalah proses, yang dibentuk oleh insting libidinal manusia untuk memaksimalkan potensi membunuh (thanatos) dan memerkosa (eros) orang lain.

Namun, di sisi lain kejahatan juga bagian dari societa fertilita - bahwa masyarakatlah yang membiakkan semacam software perilaku, yang menjadi program terajar oleh keluarga hingga lingkungan yang lebih luas, yaitu tetangga dan komunitas. Keduanya memberikan insentif dalam menumbuhkan kebiasaan yang dianggap patut dilakukan (mores).

Seorang anak yang terbiasa melihat kekerasan akan menjadikannya sebagai pola ketika dewasa. Seorang bocah yang kerap menyimpan memori percekcokan keluarga dan kekerasan akan menjadikannya sebagai kultur-nya kelak. Dalam bahasa Freudian, inilah aspek alam bawah sadar yang memengaruhi tafsir mimpi publik seseorang.

Resep agama yang berbau inkuisitif atau menghakimi juga tidak akan membantu apa-apa untuk kasus seperti ini.

Problem pendekatan agama yang mengabaikan terapi antropo-sosiologis dan psikoanalisis juga tidak mampu mengubah faktor esensial dari kejahatan anak-anak. Malah pendekatan agama kadang berakibat fatal, sebab sang anak akan tumbuh sebagai pribadi yang disalahkan terus dan dijamin masuk neraka.

Negara Kriminal

Memang analisis struktural atau makro sering digunakan untuk melihat kasus kejahatan seperti ini. Kasus-kasus kejahatan perang oleh tentara anak-anak di El Savador atau negara-negara Afrika yang terkecamuk konflik seperti Etiopia, Liberia, dan Sierra Leone memperlihatkan bahwa negara turut bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan generasi belia tersebut.

Kita memang tak perlu bersikap bombastis seolah-olah negara ini sama dengan negara-negara gagal itu. Namun, problem yang kita alami saat ini juga tidak lepas dari kontribusi negara, meskipun tidak aktif. Paling tidak sikap negara yang tidak proaktif atas kerusakan perilaku anak-anak ikut menyebabkan anak-anak terjerumus dalam siklus pelaku dan korban kekerasan.

Contoh sederhana, berapa banyak program televisi yang memberikan nilai-nilai edukasi bagi anak-anak? Anak-anak bahkan tumbuh dengan rangsangan sinetron remaja-dewasa dengan dandanan dan model perilaku yang belum patut.

Perilaku sinetron, musik, dan bisnis pertunjukan “setengah-dewasa” dan Jakarta-sentris telah menyebabkan anak-anak Nusantara melesat dewasa dibandingkan tubuh biologisnya.

Belum lagi acara-acara kekerasan dan bahasa-bahasa vulgar yang menyeruak, baik dari film atau pun politicatainment para elite.

Anak-anak tumbuh dengan kecemasan dan keraguan yang disumbangkan oleh para politikus melalui acara-acara talkshow di televisi. Sedikit harapan dan kegembiraan, lebih banyak kemuraman, galau, keluh kesah, dan saling menyalahkan.

Belum lagi kerusakan yang disebabkan kurangnya insentif pendidikan baik formal, informal hingga nonformal dari kementerian yang mengurusi langsung masalah tersebut.
Apa yang bisa diharapkan dari kementerian agama dan pendidikan nasional dalam menyumbang pendidikan yang berkarakter dan penumbuhan moral generasi muda, jika pada saat sama kedua lembaga negara ini malah menjadi sarang korupsi terbesar negeri ini?

Saya hanya bisa tersenyum kecut. Kita berada di angkasa black hole, lubang hitam yang penuh misteri dibandingkan kemampuan memecahkannya. Kita berada di jalan buntu dan belum tahu kapan akan membuat terobosan. Bukan kejutan jika generasi kriminal baru dan begundal belia akan tumbuh terus dengan deret ukurnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar