Kamis, 16 Agustus 2012

Tahun Penolakan

Tahun Penolakan
Rhenald Kasali ; Ketua Program MM Universitas Indonesia
SINDO, 16 Agustus 2012


Seorang teman tengah bersedih. Setelah bertarung habis-habisan mempertahankan jabatannya, beberapa hari lalu dia diberhentikan. Kasusnya menunggu di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, “orang-orang kuat” telah bertahan habis-habisan untuk mempertahankannya. Ia diterima di atas, tetapi ditolak di bawah oleh seluruh koleganya. Sungguh menyakitkan, pergi di saat nama sedang tidak bagus dengan penolakan keras. 

Di You-Tube, kalau memasukkan entri kata rejected atau rejects, Anda akan menemukan banyak kejadian yang memilukan dengan pengunggah di atas 1 juta orang. Di Jepang, bocah yang baru belajar jalan menangis terguling- guling karena bunga yang diberikan kepada anak perempuan pemain piano yang ia sukai ditolak mentah-mentah (Funny Japanese Kid). Pada video lain dapat disaksikan lamaran-lamaran yang begitu pede oleh remaja-remaja pria di depan umum, tetapi ditolak mentah-mentah.

Selain itu juga dapat kita saksikan video penolakan bawahan terhadap atasan, para dosen dan mahasiswa terhadap rektornya yang pongah, dan tentu saja penolakan rakyat kepada pemimpin-pemimpinnya yang lebih tepat disebut diktator atau koruptor. Tak semua orang yang mengalami penolakan pantas ditolak, tetapi juga sebaliknya. Ada pemimpin hebat yang ditolak karena cara kerjanya yang arogan dan self-centered, tetapi ada juga yang tak pandai berkomunikasi.

Bahkan ada pemimpin yang rela membayar untuk membeli reputasi karena tekanan yang dihadapi begitu besar, tetapi terjungkal karena terlalu politis dan langkah-langkahnya tak didasarkan karakter yang kokoh. Karakter memang berbeda dengan reputasi. Reputasi dapat dipoles-poles dan dibayar, tetapi karakter tidak. Kata orang bijak, reputasi adalah apa yang akan diucapkan para pelayat saat seseorang meninggalkan apa saja, ya jabatan, ya jasadnya.

Adapun karakter adalah apa yang diucapkan malaikat di hadapan Tuhan tentang kita. Bila reputasi bisa dibangun dengan pencitraan, maka karakter hanya bisa dibangun dengan keteguhan hati dan kejujuran. Karakter tidak berpolitik, tidak terbentuk karena uang. Tidak dibangun dengan kasak-kusuk, apalagi dukungan orang pintar. Karakter dikawal oleh Tuhan dan sekalipun harus kehilangan sesuatu, orang yang memilikinya tidak akan kehilangan martabat. Itulah yang dialami Gandhi, Abraham Lincoln, Marthin Luther King, dan almarhum Munir.

Perubahan dan Penolakan 

Keempat orang yang saya sebut di atas wafat (tidak disebut tewas) karena perubahan. Di makam Abraham Lincoln di Peoria, terdapat tulisan yang dikutip dari sastrawan Disraeli, yang berbunyi: “Assassination has never changed the history of the world.” Tapi kalau Anda buka kamus Webster, maka Anda akan membaca sebaliknya: ”Assassination is a murder that changes the world.”

Dengan kata lain, Webster ingin menekankan,“ Justru karena kalian bunuh dia, sejarah menjadi berubah.” Demikianlah sejarah perubahan yang selalu diwarnai dengan penolakan-penolakan. Orang-orang yang melakukan perubahan pasti menghadapi resistensi walaupun jumlahnya hanya 10–20%. Tapi tidak semua penolakan terjadi karena perubahan. Penolakan sendiri bisa terjadi karena banyak hal.

Dua tahun terakhir ini dunia sangat diwarnai oleh gempuran-gempuran penolakan yang justru dibentuk oleh kejahatan-kejahatan yang dilakukan para pejabat publik. Internet dan Twitter telah mengubah peta dunia dan membongkar aib para pemimpin. Kejahatan demi kejahatan dibocorkan justru oleh orang-orang dalam yang disebarkan melalui komunikasi horizontal.

Akibatnya, resistensinya justru ada pada pemimpin-pemimpin yang bermasalah dan penolakan terjadi pada kelompok 20% hingga 80%. Penolakan terhadap Ben Ali (Tunisia) dan Husni Mubarak (Mesir) terjadi karena korupsi dan kejahatan yang dilakukan keduanya. Media massa bisa saja terpengaruhi, tetapi rakyat berbicara lain.

Dalam Pilkada DKI terlihat betul peranan komunikasi horizontal yang mempunyai pikiran yang berbeda sama sekali dengan hasil-hasil polling dan apa kata media cetak dan televisi. Di Universitas Indonesia gejala serupa juga terjadi. Meski rektor incumbent berhasil merebut hati pimpinan-pimpinan di atasnya, arus bawah memiliki cara melihat yang tidak sama dan tak dapat dibeli dengan apa pun. Penolakan itu berbeda dengan yang dialami oleh tokoh-tokoh lain yang justru berhasil memenangi hati para pengikutnya.

Emirsyah Satar (CEO Garuda Indonesia) dan Dwi Soetjipto (Semen Gresik) juga pernah mengalami penolakan. Namun karena keduanya tidak melakukan hal tercela, mudah membalikkannya. Anda mungkin masih ingat, Emirsyah Satar yang ditolak Asosiasi Pilot Garuda mendatangi posko para pilot yang sedang mogok. Dan, ajaib, mereka malah bertukar jaket. Keduanya tidak tegang.

Emir tak berpolitik membangun kekuatan pada level di atasnya sehingga penolakan tak berubah menjadi rumit. Lagipula track record-nya bagus. Ia tak pernah mengeluarkan kata-kata kasar kepada anak buahnya atau main pecat untuk memperkuat posisinya. Dwi Soetjipto, saat memimpin Semen Padang, juga mengalami nasib serupa. Ia diangkat sebagai direksi tak berbeda dengan Jokowi, yaitu selalu disambut demo.

Tapi keduanya memiliki servant leadership, yaitu kemampuan mendengarkan dan berempati. Jokowi memindahkan pedagang kaki lima tanpa alat pentungan. Mereka bahkan diantar dengan kirab, tak perlu membayar sewa toko, bahkan diiklankan gratis selama 4 bulan. Jokowi mendengarkan keinginan warganya selama 54 kali sebelum memindahkan mereka. Jadi perubahan memang diwarnai oleh penolakan, tetapi hanya tokoh-tokoh perubahan yang benar-benar berkarakter yang mampu mengubah penolakan menjadi dukungan.

Penolakan bisa menjadi api yang membesar justru ketika pemimpin berpolitik, bermuslihat, membentengi diri dengan kekuasaan atau tangan-tangan orang yang berkuasa. Mereka yang berpolitik bisa memperpanjang kekuasaan, tetapi jatuhnya sangat keras dan sangat mempermalukan. Penolakan mempermalukan yang memercayai dan yang dipercayai. Biasanya dimulai dari tidak adanya kemampuan mendengarkan dan berempati. Mereka mengabaikan sinyal-sinyal yang dikirim Tuhan dengan arogansi akalnya.

Lady Gaga 

Tahun penolakan tentu saja tidak hanya ada di panggung bisnis dan jabatan-jabatan publik. Tahun ini, Lady Gaga juga ditolak sejumlah pihak di sini, sama seperti artis Beyonce yang beberapa waktu lalu ditolak di Malaysia kendati penggemarnya sangat ingin bertemu. Tapi di Kalimantan Tengah, warga Dayak justru menolak kehadiran FPI. Di Israel, Menteri Luar Negeri RI ditolak masuk untuk menghadiri GNB tingkat menteri mengenai Palestina.

Bakrie Award juga ditolak oleh sastrawan Seno Gumira Ajidarma. Perubahan zona waktu yang diusulkan pemerintah ditolak oleh Jusuf Kalla karena tidak logis kalau hanya ditujukan untuk meningkatkan kinerja pasar modal. Di Berlin, mahasiswa PPI juga menolak kunjungan anggota Komisi I DPR dan sebaliknya DPR menolak anggaran pembangunan gedung KPK.

Angin perubahan masih terus berlalu dan harap diperhatikan penolakan-penolakan masih akan terus terjadi. Ada penolakan yang dapat dijinakkan, tetapi juga ada penolakan yang justru dilakukan untuk menciptakan perubahan. Keduanya sulit dibedakan, kecuali mengerti karakter yang dimiliki pemimpin.

Pemimpin berkarakter tidak main atas karena ia tahu “pendataran” telah mengubah kekuatan dan kekuatan itu justru ada di bawah. Ia sadar bahwa memimpin untuk melayani, bukan untuk berkuasa. Maka bila Anda ingin menang, menangilah hati arus bawah, bukan sebaliknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar