Tabir Hambalang
Mulai Terkuak
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SINDO,
03 Agustus 2012
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya
meningkatkan status dugaan korupsi pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan
Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang,Bogor ke tahappenyidikan.
Tahap awal KPK
menetapkan pejabat pembuat komitmen di Kementerian Pemuda dan Olahraga sebagai
tersangka. Selaku penyelenggara negara,yang bersangkutan dijerat dengan Pasal 2
ayat (1) dan Pasal 3 UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Langkah KPK ini layak diapresiasi,
tetapi tidak boleh hanya menjaring pelaku kelas teri lantaran fakta yang
terungkap di berbagai pemberitaan, keterlibatan elite birokrasi dan petinggi
partai berkuasa telah menjadi pengetahuan publik.
KPK tidak boleh berhenti pada “anak-anak tangga” sebagaimana pernah diungkapkan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Setiap anak tangga didaki hingga puncak kasus megakorupsi itu karena dugaan korupsi Hambalang menjadi perhatian masyarakat. Petunjuk keterlibatan elite politik dan kekuasaan yang pernah diungkapkan Nazaruddin dan anggota DPR dari Partai Demokrat Ignatius Mulyono tidak mungkin lagi dinafikan.
Misalnya, dalam pemeriksaan di KPK, Ignatius mengaku diminta Anas Urbaningrum,Ketua Umum Partai Demokrat,untuk membereskan sertifikat tanah Hambalang ke Badan Pertanahan Nasional.Terkuaknya tabir kasus Hambalang mendapat ekspektasi publik sehingga KPK diharapkan tidak bekerja seperti lembaga survei yang hanya mengambil sampel kemudian menarik kesimpulan.
Jangan hanya mahir mengungkap kasus dugaan korupsi besar, tetapi gagal menuntaskan sampaike akar-akarnya. Artinya, kasus Hambalang, Wisma Atlet, termasuk kasus Bank Century tidak boleh memilih-milih dan menetapkan tersangka yang tidak punya risiko karena punya kekuatan dan kekuasaan, kemudian mengesankan ke publik bahwa kasus tersebut sudah ditangani secara serius. Ukuran keberhasilan KPK seharusnya sampai pada pengungkapan semua yang diduga terlibat.
Pencucian Uang
Sembilan kewenangan besar KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diberikan dalam Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 31/1999, diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,tidak boleh hanya kuat di atas kertas.Wewenang besar itu diberikan sebagai imbangan filosofis untuk mengantisipasi Pasal 40 UU KPK yang melarang KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan.
Kita tidak ingin kasus-kasus besar tersandera oleh ketidakmampuan KPK mengapresiasi kewenangan besarnya. Agar kewenangan KPK tidak hambar, sebaiknya menerapkan pula UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU-TPPU). Jika hanya menggunakan UU Korupsi, biasanya berhenti pada para pelaku utama. Dalam kasus suap misalnya yang terjerat hanyalah penyogok dan penerima suap lantaran tertangkap tangan karena teleponnya disadap.
Sementara pelaku lain yang juga diduga menerima sogok terkait dana proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak terjerat lantaran pintar menyembunyikan bukti-bukti. Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang dapat dijerat pencucian uang jika hasil dari korupsi itu dialihkan kepada orang lain (manusia dan korporasi) yang bertujuan untuk disamarkan (dicuci) agar seolah-olah bersih. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UU-TPPU sehingga tindak pidana pencucian uang harus diawali oleh tindak pidana asal.
Unsur terpenting dalam pencucian uang terletak pada “mengetahui atau patut menduga uang yang diterima atau ditransfer, mengalihkan,membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, atau membawa ke luar negeri merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar”.
Kepemimpinan Kolektif-Kolegial
Salah satu yang sering saya kritisi dalam pengambilan keputusan pimpinan KPK adalah konsep “kolektif-kolegial”. Lima pimpinan KPK harus memberikan pendapat terhadap hasil penyelidikan, apakah penyelidik sudah menemukan bukti permulaan yang cukup atau belum. Jika satu saja pimpinan KPK berpandangan bahwa penyelidik belum menemukan bukti yang cukup, kasus itu tidak bisa ditingkatkan ke penyidikan.
Tentu saja perbedaan pendapat dalam menilai hasil penyelidikan atau menempatkan seseorang menjadi tersangka sebagai hal yang wajar. Tetapi, tidak boleh tanpa dasar yang kuat, harus bersandar pada asas, teori, dan substansi rumusan pasal undang-undang. Kepemimpinan kolektif kolegial diberikan agar pimpinan KPK saat mengambil keputusan dalam penyelidikan, penyidikan, dan penempatan seseorang menjadi tersangka tidak menimbulkan kesewenang-wenangan.
Tetapi dalam pelaksanaannya bisa tidak produktif jika tidak dilandasi alasan yang masuk akal, bahkan cenderung memperlambat proses percepatan pemberantasan korupsi sebagaimana dimaksud dalam Keppers Nomor 5 Tahun 2004. Pimpinan KPK mesti lebih mawas, jangan sampai ada yang memanfaatkannya. Misalnya, jika koruptor kakap atau penguasa korup memegang kendali satu orang saja pimpinan KPK, dia tidak akan mungkin dijadikan tersangka dengan berbagai alasan yang bersifat teknis.
Padahal itu sengaja didesain sebagai bentuk perlawanan terselubung. Jangan sampai profesionalitas pimpinan KPK terbelenggu oleh alasan prosedural dengan mengabaikan aspek substansial. Tabir kasus Hambalang yang mulai terkuak harus terus dibuka laksana membuka kotak pandora. Meskipun akan menimbulkan bencana bagi sejumlah elite politik dan kekuasaan yang selama ini disebut-sebut oleh orang-orang yang terlibat dalam kasus itu, KPK tak boleh gentar.
Membongkar dugaan korupsi berjamaah butuh keberanian, profesionalitas, dan komitmen besar untuk menyamakan semua orang di depan hukum. Ekspektasi publik perlu direspons karena menuntaskan kasus Hambalang menjadi salah satu indikator utama keberhasilan KPK memerangi korupsi di negeri ini. ●
KPK tidak boleh berhenti pada “anak-anak tangga” sebagaimana pernah diungkapkan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto. Setiap anak tangga didaki hingga puncak kasus megakorupsi itu karena dugaan korupsi Hambalang menjadi perhatian masyarakat. Petunjuk keterlibatan elite politik dan kekuasaan yang pernah diungkapkan Nazaruddin dan anggota DPR dari Partai Demokrat Ignatius Mulyono tidak mungkin lagi dinafikan.
Misalnya, dalam pemeriksaan di KPK, Ignatius mengaku diminta Anas Urbaningrum,Ketua Umum Partai Demokrat,untuk membereskan sertifikat tanah Hambalang ke Badan Pertanahan Nasional.Terkuaknya tabir kasus Hambalang mendapat ekspektasi publik sehingga KPK diharapkan tidak bekerja seperti lembaga survei yang hanya mengambil sampel kemudian menarik kesimpulan.
Jangan hanya mahir mengungkap kasus dugaan korupsi besar, tetapi gagal menuntaskan sampaike akar-akarnya. Artinya, kasus Hambalang, Wisma Atlet, termasuk kasus Bank Century tidak boleh memilih-milih dan menetapkan tersangka yang tidak punya risiko karena punya kekuatan dan kekuasaan, kemudian mengesankan ke publik bahwa kasus tersebut sudah ditangani secara serius. Ukuran keberhasilan KPK seharusnya sampai pada pengungkapan semua yang diduga terlibat.
Pencucian Uang
Sembilan kewenangan besar KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diberikan dalam Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 31/1999, diubah dengan UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,tidak boleh hanya kuat di atas kertas.Wewenang besar itu diberikan sebagai imbangan filosofis untuk mengantisipasi Pasal 40 UU KPK yang melarang KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan.
Kita tidak ingin kasus-kasus besar tersandera oleh ketidakmampuan KPK mengapresiasi kewenangan besarnya. Agar kewenangan KPK tidak hambar, sebaiknya menerapkan pula UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU-TPPU). Jika hanya menggunakan UU Korupsi, biasanya berhenti pada para pelaku utama. Dalam kasus suap misalnya yang terjerat hanyalah penyogok dan penerima suap lantaran tertangkap tangan karena teleponnya disadap.
Sementara pelaku lain yang juga diduga menerima sogok terkait dana proyek Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak terjerat lantaran pintar menyembunyikan bukti-bukti. Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang dapat dijerat pencucian uang jika hasil dari korupsi itu dialihkan kepada orang lain (manusia dan korporasi) yang bertujuan untuk disamarkan (dicuci) agar seolah-olah bersih. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UU-TPPU sehingga tindak pidana pencucian uang harus diawali oleh tindak pidana asal.
Unsur terpenting dalam pencucian uang terletak pada “mengetahui atau patut menduga uang yang diterima atau ditransfer, mengalihkan,membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, atau membawa ke luar negeri merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar”.
Kepemimpinan Kolektif-Kolegial
Salah satu yang sering saya kritisi dalam pengambilan keputusan pimpinan KPK adalah konsep “kolektif-kolegial”. Lima pimpinan KPK harus memberikan pendapat terhadap hasil penyelidikan, apakah penyelidik sudah menemukan bukti permulaan yang cukup atau belum. Jika satu saja pimpinan KPK berpandangan bahwa penyelidik belum menemukan bukti yang cukup, kasus itu tidak bisa ditingkatkan ke penyidikan.
Tentu saja perbedaan pendapat dalam menilai hasil penyelidikan atau menempatkan seseorang menjadi tersangka sebagai hal yang wajar. Tetapi, tidak boleh tanpa dasar yang kuat, harus bersandar pada asas, teori, dan substansi rumusan pasal undang-undang. Kepemimpinan kolektif kolegial diberikan agar pimpinan KPK saat mengambil keputusan dalam penyelidikan, penyidikan, dan penempatan seseorang menjadi tersangka tidak menimbulkan kesewenang-wenangan.
Tetapi dalam pelaksanaannya bisa tidak produktif jika tidak dilandasi alasan yang masuk akal, bahkan cenderung memperlambat proses percepatan pemberantasan korupsi sebagaimana dimaksud dalam Keppers Nomor 5 Tahun 2004. Pimpinan KPK mesti lebih mawas, jangan sampai ada yang memanfaatkannya. Misalnya, jika koruptor kakap atau penguasa korup memegang kendali satu orang saja pimpinan KPK, dia tidak akan mungkin dijadikan tersangka dengan berbagai alasan yang bersifat teknis.
Padahal itu sengaja didesain sebagai bentuk perlawanan terselubung. Jangan sampai profesionalitas pimpinan KPK terbelenggu oleh alasan prosedural dengan mengabaikan aspek substansial. Tabir kasus Hambalang yang mulai terkuak harus terus dibuka laksana membuka kotak pandora. Meskipun akan menimbulkan bencana bagi sejumlah elite politik dan kekuasaan yang selama ini disebut-sebut oleh orang-orang yang terlibat dalam kasus itu, KPK tak boleh gentar.
Membongkar dugaan korupsi berjamaah butuh keberanian, profesionalitas, dan komitmen besar untuk menyamakan semua orang di depan hukum. Ekspektasi publik perlu direspons karena menuntaskan kasus Hambalang menjadi salah satu indikator utama keberhasilan KPK memerangi korupsi di negeri ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar