Jumat, 10 Agustus 2012

Suriah, Sarang Baru Terorisme


Suriah, Sarang Baru Terorisme
Smith Alhadar ; Penasihat pada The Indonesian Society for Middle East Studies
MEDIA INDONESIA, 10 Agustus 2012

Pada 10 Mei lalu, ledakan kembar menghancurkan kantor intelijen dan basis militer Suriah di Damaskus. Kelompok oposisi membantah bahwa merekalah yang meledakkan bom yang menewaskan 55 orang itu. Sekonyong-konyong sebuah kelompok yang tak dikenal, yang menamakan diri Front Al-Nusrat, mengaku bertanggung jawab atas aksi kekerasan itu. Bila melihat modus operandinya, besar kemungkinan Front AlNusrat ialah Al-Qaeda cabang Suriah.

Kaum teroris memang selalu memanfaatkan negara yang chaos untuk bercokol, seperti di Afghanistan, Irak, Yaman, Somalia, Libia, dan Chechnya. Dari negara-negara itu mereka kemudian melancarkan aksi teror, baik terhadap lembaga-lembaga pemerintahan sekuler yang mereka tuduh kafir maupun negara-negara asing yang menghegemoni negara-negara Islam. Paham takfir itu diadopsi Al-Qaeda dan afiliasi mereka dari pemikiran Sayyid Qutb, seorang intelektual muslim Mesir, yang digantung Presiden Gamal Abdul Nasser pada 1953 dan Abdullah Azzam, pemikir Palestina, yang tewas secara misterius di Peshawar, Pakistan, pada akhir 1980-an.

Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden dan pengikutnya dari berbagai negara bersembunyi di Afghanistan, di bawah pemerintahan Taliban yang tidak stabil dan sibuk berperang dengan kelompok mujahidin Afghanistan di utara negara itu, untuk menyerang sasaran-sasaran AS di berbagai tempat. Misalnya serangan terhadap Kedutaan Besar AS di Nairobi, Kenya, dan Dares-Salaam, Tanzania, pada 1996; serangan terhadap kapal perusak AS USS Cole yang sedang mengisi bahan bakar di Aden, Yaman, pada 2000 ; dan serangan fenomenal terhadap dua menara kembar WTC di New York dan Pentagon, Washington, pada 2001. Semua serangan itu menewaskan sekitar 3.500 orang.

Pada 23 Juli lalu, Daulah Islam Irak, cabang Al-Qaeda di Irak, melancarkan serangan mematikan ke berbagai tempat di Irak yang menewaskan 115 orang. Sasaran serangan mereka ialah daerah-daerah yang didominasi muslim Syiah di Baghdad dan kota-kota lainnya serta unit-unit militer dan polisi di daerah utara yang kaya minyak. Sejak rezim Presiden Saddam Hussein dijatuhkan invasi militer AS pada 2003, Irak belum dapat berdiri sebagai negara demokrasi yang stabil dan kuat. Mayoritas kaum Sunni belum dapat menerima UUD baru Irak, yang membawa kaum Syiah, yang merupakan mayoritas, ke tampuk kekuasaan. Perebutan kekuasaan antara etnik Kurdi di utara, Arab Sunni di tengah, dan Arab Syiah di selatan, serta lemahnya aparat keamanan setelah militer rezim Saddam dibubarkan AS menjadikan Irak sarang teroris yang subur.

Yaman, yang terkena Arab Spring, tempat terjadi konflik antara kaum oposisi dan rezim Presiden Ali Abdullah Saleh, membuka peluang besar bagi kelompok terodiri Al-Qaeda di Semenanjung Arab (AQAP) meluaskan pengaruh. Mereka kini menguasai Provinsi Abyan dan banyak kota lain di selatan negara itu.
 
Tentara Yaman yang didukung pesawat tak berawak AS (drone) kewalahan menghadapi mereka karena harus menghadapi pemberontakan rakyat terhadap rezim yang berkuasa, kelompok separatis Syiah Houthi di utara, dan kelompok separa kelompok separatis di selatan. Pada Desember menjelang Natal 2010, pihak keamanan Uni Emirat Arab menemukan tabung printer yang berisi bahan peledak di pesawat yang akan menuju AS. AQAP mengaku sebagai pihak yang mengirim paket itu.

Di Somalia, cabang Al-Qaeda yang menamakan diri Al-Shabaab, kini menguasai wilayah tengah dan selatan Somalia yang dilanda kekacauan sejak 1980-an. Pemerintah pusat tak berdaya menghadapi mereka dan hanya berkuasa di Mogadishu, ibu kota Somalia. Tentara Kenya dan Uni Afrika yang didukung PBB telah masuk ke negara miskin di Afrika Timur itu sejak tahun lalu, tetapi sampai sekarang belum berhasil menekuk Al-Shabaab yang sering menculik wisatawan asing di Kenya (tetangga Somalia) dan melakukan perompakan di laut untuk mendapat tebusan uang demi menghidupi anggota dan membeli senjata untuk melawan musuhmusuh mereka.

Di Libia, kelompok teroris memanfaatkan kekacauan dan konflik bersenjata antara pasukan rezim Moamar Khadafi dan kaum oposisi. Ketika rezim Khadafi jatuh pada Agustus tahun lalu, Al-Qaeda Libia yang tergabung dalam AQIM (Al-Qaeda in the Islamic Maghreb)--yang terdiri dari kelompok teroris Libia, Tunisia, Aljazair, Maroko, dan Mauritania-menjarah gudang-gudang senjata rezim Khadafi. Mereka bermarkas di Aljazair bagian selatan dan menguasai Sahel Afrika yang membentang dari Laut Atlantik di barat sampai Laut Merah di timur. Teror-teror mengerikan, yang dilakukan Boko Haram di Nigeria, diduga kuat mendapat bantuan senjata dari AQIM. Boko Haram, yang menolak ke budayaan Barat, ingin mendirikan negara Islam di Nigeria yang hampir separuh penduduknya 160 juta jiwa--beragama Kristen. Itu sudah setahun ini.

Kelompok Chechnya, yang ingin mendirikan negara sendiri terpisah dari Rusia, sering melakukan pengeboman di tempat-tempat trategis di Rusia, khususnya Moskow, sebagai ekspresi kemarahan mereka atas pendudukan Rusia di wilayah mereka. Sementara itu, orang-orang Chechnya (Chechen) membantu para teroris di berbagai negara Islam, seperti Afghanistan, Kashmir, Irak, dan kini bersiap memasuki Suriah.

Milisi Chechen, bersama milisi Somalia, Arab Saudi, Mesir, Maroko, Libia, Tunisia, dan Uni Emirat Arab, kini berada di Bab al-Hawa, salah satu pintu perbatasan Suriah dengan Turki yang dikuasai Tentara Pembebasan Suriah (FSA). Mereka siap memasuki Suriah untuk membantu FSA memerangi rezim Bashar alAssad yang didominasi kelompok Syiah Alawiyah, sempalan Syiah yang memercayai inkarnasi dan ajaran mereka sudah bercampur dengan ajar an Kristen dan Hindu.

Sudah lama rezim Al-Assad menuduh kaum pemberontak Suriah sebagai kaum teroris yang didukung asing demi mendapatkan pembenaran bagi upaya Damaskus membasmi kaum oposisi. Kendati mayoritas oposisi Suriah rakyat muslim Sunni, tak bisa diingkari bahwa kelompok teroris sudah bercokol di Suriah dan ikut memerangi tentara Al-Assad. Bantahan kaum oposisi bahwa milisi asing ikut memerangi rezim yang berkuasa hanyalah menjaga citra agar negara-negara Arab dan Barat terus membantu kaum oposisi.

Raja Abdullah II dari Yordania memperingatkan kemungkinan senjata-senjata kimia Suriah jatuh ke tangan Al-Qaeda bila rezim Al-Assad jatuh seperti di Libia setelah rezim tersebut mendistribusikan senjata destruktif itu ke berbagai wilayah perbatasan untuk dipakai menghadapi pasukan asing bila mereka cobacoba menginvasi Suriah.

Fenomena senjata kimia Suriah, rencana serangan AS, Prancis, dan Israel ke negara itu, milisi asing, serta bantuan politik dan senjata Rusia, China, dan Iran kepada rezim Al-Assad mengisyaratkan makin kompleksnya isu Suriah dan kemungkinan negara tersebut menjadi seperti Irak, tempat Al-Qaeda mendapat sarang baru untuk membunuh kaum Alawiyah serta menyasar AS dan Israel bila mereka memiliki senjata kimia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar