Kamis, 16 Agustus 2012

Surat Terbuka tentang Rekayasa Digitalisasi Penyiaran Pola Multiplekser (2 of 2)

Surat Terbuka tentang Rekayasa Digitalisasi Penyiaran Pola Multiplekser (2 of 2)
( Pak Tif, Ini Mirip Beredel Televisi ) 
Imawan Mashuri ; Ketua Umum ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia) 
JAWA POS, 16 Agustus 2012


JARAK antarfrekuensi penyiaran televisi di Indonesia saat ini adalah 8 MHz. Digital hanya membutuhkan 1,7 MHz. Nah, bagaimana kalau dimampatkan saja, menggunakan jarak, untuk amannya, misalnya 2 MHz. Dengan demikian, televisi yang eksis sekarang hanya perlu rechannel dan frekuensi dihemat, tanpa mengorbankan tower serta pemancar televisi. Lembaga penyiaran swasta (LPS) tetap bersiaran di tempatnya, tidak ada yang berubah dan terbuang. Kebijakan itu dilakukan di Denmark dan Mesir. 

Terhadap pertanyaan itu, Pak Gatot S. Dewobroto dkk, staf Bapak yang menemui kami, mengatakan, Kominfo memilih LP3M (Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing) karena sudah disetujui Komisi I DPR. 

Benarkah? Kami langsung ke DPR esoknya. Roy Suryo dan Helmy dari komisi I yang menemui -secara resmi- kaget atas seleksi LP3M itu dan kami beri kopi formulirnya. Mereka kian kaget ketika mendengar bahwa seleksi tersebut sudah disetujui komisi I. Keduanya menyatakan: Itu tidak benar.

Untuk meyakinkan, diambilnya notulensi hasil rapat terakhir komisi I dengan Bapak Tifatul Sembiring. Di situ, komisi I memang menyebut menyetujui digitalisasi, tapi dengan catatan ''harus'' lebih dulu mengomunikasikan dan mendapat persetujuan dari komisi I. Kata mereka: kenapa terburu buru? Kenapa tidak menunggu revisi Undang-Undang Penyiaran selesai? Keduanya berjanji untuk segera mengundang Pak Tif untuk menanyakannya.

Keheranan yang sama disampaikan seluruh komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat yang mengundang ATVLI, seminggu setelah kami ke komisi I. KPI merasa tidak tahu akan ihwal seleksi yang buru-buru, seperti menyimpan agenda tertentu, itu.

Masih satu lagi keheranan dari KPID Jatim. Yaitu, untuk seleksi zona Jatim, Bapak membuat perkecualian, yakni pesertanya boleh menggunakan izin lama. Ada apa ini? 

Sebagaimana kita ketahui, salah satu syarat sebagai peserta seleksi adalah harus mempunyai izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) tetap. Pasal 3 syarat seleksi itu: ''Calon peserta menyerahkan salinan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) tetap zona yang dikompetisikan.'' Tidak kami temukan perkecualian dalam buku syarat seleksi. Tapi, Bapak membuat perkecualian sendiri. 

Perkecualian itu bisa dibaca begini: karena semua televisi-sebut saja nasional- belum punya IPP di Jatim. KPID Jatim mendahulukan televisi lokal demi sebesar-besarnya kemaslahatan masyarakat Jatim lebih dulu.

Dan benar saja, pengumuman hasil seleksi Agustus pekan lalu, untuk Jatim, Bapak memenangkan semua televisi nasional yang menggunakan perkecualian itu. Tidak satu pun televisi lokal yang Bapak menangkan. 

Berbagai alasan bisa kita dengar, bisa saja proposal mereka lebih baik. Tapi, bagaimana mengetahuinya? Sebab, yang tahu hanya Bapak sendiri. Ada apa Bapak menunda pengumuman sampai seminggu? Kalau jurinya tunjukan Bapak, diangkat dengan SK Bapak, hasilnya tertutup, antara berita pengumuman seleksi dan kenyataan hasil berbeda, apakah itu bisa disebut seleksi terbuka? 

Pak Tif, hasil seleksi yang lain klop dengan pernyataan Bapak sebelumnya. Untuk zona Jakarta sekitarnya, misalnya. Seperti yang dimuat Kompas pada 12 Juni dan menjadi perdebatan kami dengan Pak Gatot Dewobroto ketika itu, benar saja akhirnya bahwa pemenangnya persis seperti yang Bapak katakan: empat TV nasional dan satu TV lokal. Tanpa bisa kita ketahui bagaimana realitas skornya.

Benar juga seperti kata Bapak dulu saat ATVLI menghadap, pemenangnya cukup per grup. Kenyataannya terbaca mewakili grup. Semua televisi nasional menang di semua zona seleksi. Dan semua pemenang hanyalah televisi nasional. Kecuali wilayah Jakarta, satu televisi lokal asal Malingping Banten yang tidak pernah terdengar keberadaan sebelumnya. Konon, itu merupakan televisi tercepat memperoleh IPP dari Bapak. Benar begitu, Pak Tif?

Pasca pengumuman pemenang, suasana masih wait and see. Tapi, juga isu ini. Ada yang sebelumnya minta untuk bergabung dengan yang diperkirakan menang. Tapi, ternyata dia menang, namun mengaku malah akan memakai semua kanalnya. Begitu juga yang lain. Karena menang, menghimpun perusahaan grupnya semacam PH (production house) dan akan memasok ke kanal induk yang dimenangi. Pendeknya, mereka akan menguasai sendiri semuanya. 

Dengan demikian, meski satu frekuensi didigitalisasi menjadi 12 kanal (saluran siaran) dan jumlahnya ada lima plus satu, TVRI sebagai penyelenggara multiplekser, yang berarti akan ada 72 kanal saluran penyiaran, kenyataannya bisa hanya akan mengelompok pada lima kelompok plus satu itu saja. Terus akan dikemanakan ratusan televisi yang lain, yang sudah siaran, dan sudah mendapat IPP tetap dari Bapak? Dikemanakan investasi mahal itu? Ke mana ribuan karyawannya? Ini bentuk lain pemberedelan televisi? Juga, ini pola pertelevisian menjadi kartel. Urusan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) dilampaui. Bagaimana, Pak?

Saya tahu, ada wacana-wacana, pernyataan-pernyataan, rencana-rencana, berbicara dengan atas nama demokratisasi penyiaran. Tapi, tidak satu pun tertuang dalam aturan sah yang kuat. Revisi undang-undang juga belum diputuskan. Kami belum tahu seberapa jauh akan mengakomodasi siaran digital. Tapi, Bapak sudah menjalankan eksperimen pola LP3M. Kenapa tidak dipersiapkan matang-matang?

Mohon maaf Pak, hampir seluruh anggota kami bertanya, apakah benar frekuensi sisa itu nanti dijual ke perusahaan telekomunikasi? Sejak awal kami ingin jadi anak yang ''baik dan saleh''. Karena itu, kami hanya bertanya, tidak berdemo, apalagi anarkistis, walaupun usaha utama kami terancam. Walaupun usaha kami itu berizin, untuk kepentingan daerah, dan dilindungi undang-undang. 

Mungkin juga kami bertanya melalui MA dengan uji materi, mungkin menggugat ke pengadilan, mungkin lewat KPK agar ada pengawasan supaya tidak terjadi korupsi di Kominfo. Atau, mempersoalkan melalui saluran yang lain.

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar