Kamis, 09 Agustus 2012

Setitik Susu dalam Nila Sebelanga


Setitik Susu dalam Nila Sebelanga
Premita Fifi Widhiawati ; Pengamat Masalah Sosial,
Pendiri dan Pengurus Lembaga Edukasi, Bantuan, dan Advokasi Hukum Jurist Makara
SINDO, 09 Agustus 2012


Pada 27 Juli lalu Djoko Susilo, seorang jenderal polisi dan gubernur Akademi Kepolisian, ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka korupsi pengadaan alat simulator motor dan mobil di tempatnya pernah bertugas, Korps Lalu Lintas (Korlantas) Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes Polri).

Kasus ini bisa jadi akan menjadi lahan polemik baru antara kepolisian dan KPK. Ini bukan kali pertama seorang perwira tinggi Polri terlibat kasus korupsi. Mantan Kabareskrim Komjen Susno Duaji juga menjadi terdakwa dan telah dihukum 3,5 tahun atas kasus suap dan korupsi dana pengamanan Pilkada Jawa Barat. Sebelum itu, kasus Rekening Gendut yang melibatkan tak kurang dari enam jenderal polisi pun sempat mencuat setelah menjadi tajuk utama majalah Tempo terbitan 28 Juni 2010.

Hingga saat ini penyelesaian kasus tersebut masih terkatung-katung. Dalam hal korupsi, polisi tidak sendiri. Pada 2 Maret 2008 KPK menangkap tangan jaksa Urip dalam kasus suap sebesar USD660.000.Atas perbuatan itu, ia telah dijatuhi hukuman 20 tahun penjara––rekor hukuman terberat yang pernah dijatuhkan terhadap seorang terdakwa korupsi. Sidang Pengadilan Jakarta Selatan menjatuhkan hukuman lima tahun penjara atas kasus korupsi jaksa Cirus Sinaga pada 25 Oktober 2011. Korupsi tidak hanya melanda kepolisian dan kejaksaan, institusi kehakiman sebagai gerbang terakhir penegakan hukum juga tak luput dari hal itu.

Awal Juni 2011 hakim pengawas PN Jakarta Selatan, Syarifuddin, menerima suap sebesar 250 juta sehingga ia dijatuhi hukuman empat tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta. Melihat kenyataan menyedihkan seperti itu,wajar jika masyarakat sangat kecewa, cenderung curiga, serta menjadi apatis atas terwujudnya penegakan hukum yang bersih dan baik di negara ini.Terlebih jika kita menyimak banyaknya berita yang menyebutkan kecilnya denda dan hukuman kurungan yang dijatuhkan terhadap seorang koruptor.

Berbanding terbalik dengan hukuman terhadap pelaku kriminal umum seperti pencurian atau perampokan. Akibatnya masyarakat lalu dengan mudah menyamaratakan bahwa hampir semua penegak hukum adalah koruptor. Korupsi memang sudah menjadi penyakit, ibarat kanker yang menggerogoti kesehatan banyak institusi, termasuk institusi penegak hukum. Hal ini terjadi di seluruh dunia. Di Singapura,Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) yang berdiri sejak September 1952 awalnya menghadapi banyak kesulitan karena antara lain kurangnya aturan hukum tentang korupsi.

Saat ini CPIB merupakan salah satu lembaga antikorupsi yang menjadi acuan banyak negara, termasuk Indonesia. Awal tahun tujuh puluhan korupsi di Hong Kong sudah sangat parah dan merambat ke semua sektor pemerintahan. Kondisi ini memaksa pemerintah Hong Kong saat itu untuk memecat dan menangkap Kepala Kepolisian Hong Kong Peter Godber yang kemudian melarikan diri. Hal ini juga merupakan faktor pendorong berdirinya Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong pada Februari 1974, setahun kemudian ICAC Hong Kong berhasil menangkap dan mengekstradisi Peter Godber dari Inggris.

Napas yang sama melatarbelakangi lahirnya KPK di Indonesia sebagai anak kandung semangat reformasi dan antikorupsi melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002. Untuk itu, kita semua wajib memelihara amanat ini dengan terus memberikan dukungan terhadap KPK. Ada pepatah yang mengatakan karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Maka itu, korupsi di kalangan penegak hukum barangkali bukan nila, melainkan susunya yang hanya tinggal setitik. Sebegitu rusakkah mental aparat penegak hukum kita hingga tak ada lagi yang dapat kita harapkan?

Sebaiknya kita tidak lekas putus asa. Masih ada penegak hukum yang menjunjung tinggi nilai kebaikan dan kejujuran dalam melaksanakan tugasnya. Hakim Agung Artidjo Alkotsar misalnya, mantan direktur LBH Jogjakarta ini, sejak awal telah menunjukkan integritas yang sangat tinggi. Dia juga dikenal sebagai Hakim Agung yang kerap mengeluarkan ‘dissenting opinion’ dalam putusan yang dianggap bertentangan dengan penilaiannya sebagai hakim.

Salah satunya, ia sampaikan sebagai ketua Majelis Hakim Agung yang mengeluarkan putusan bebas dalam sidang pemeriksaan peninjauan kembali atas Misbakhun, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ada juga hakim Albertina Ho yang menjatuhkan hukuman atas terdakwa korupsi pajak Gayus Tambunan dan jaksa Cirus Sinaga. Dari kejaksaan, kita pasti belum lupa pada Baharuddin Lopa, mantan Jaksa Agung kelahiran Pambuasan, Sulawesi Barat yang jujur dan berdedikasi sangat tinggi hingga akhir hayatnya. Bagaimana dengan kepolisian?

Selain mantan Kapolri Hoegeng, sejatinya masih banyak polisi yang bersih dan bekerja dengan hati nurani. Para penyidik di KPK sebagian besar berasal dari kepolisian. Mereka adalah perwira Polri yang masih aktif.Keberhasilan KPK tentu tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan kerja mereka. Mengingat peran KPK sebagai lokomotif pemberantasan korupsi di Indonesia, terkait dengan polemik yang tengah terjadi sebagaimana disinggung di awal tulisan ini, Presiden Susilo Bambang Yudoyono sebagai pucuk pimpinan negara, kepala pemerintahan dan atasan langsung Kepolisian Republik Indonesia sesuai dengan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, selayaknya memberikan keputusan yang jelas dan tegas untuk mencegah polemik berkepanjangan.

Tidakkah SBY yang telah menetapkan pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda utama sejak awal pemerintahannya. Hal ini diulang dengan tegas dalam pidatonya memperingati Hari Antikorupsi Sedunia di Convention Hall Masjid Agung Jawa Tengah 9 Desember tahun lalu,di mana ia menekankan agar peringatan Hari Antikorupsi Sedunia tidak hanya seremonial, tetapi juga bertujuan agar lebih fokus pada evaluasi atas capaian, hambatan, dan tantangan pemberantasan korupsi ke depan.

Tentu tidak berlebihan jika rakyat Indonesia meletakkan harapan terakhir pemberantasan korupsi di tangan Presiden yang pemerintahannya lahir dan tumbuh dalam semangat reformasi yang sama dengan berdirinya KPK. Kita semua akan melihat mampukah Presiden SBY memenuhi harapan rakyatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar