Rabu, 08 Agustus 2012

Seteru Penanganan Kasus Korupsi


Seteru Penanganan Kasus Korupsi
Marwan Mas ; Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
MEDIA INDONESIA, 08 Agustus 2012


SIAPA saja dan apa saja di negeri ini bisa dikorupsi, termasuk yang dilakukan aparat hukum yang seharusnya menegakkan hukum. Kehebohan soal dugaan korupsi pengadaan simulator kemudi motor dan mobil untuk ujian surat izin mengemudi tahun anggaran 2011 terus saja menyeruak lantaran pihak kepolisian juga ikut menyidiknya, padahal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lebih dulu menanganinya. KPK telah menetapkan tersangka mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri Irjen Djoko Susilo bersama tiga orang lainnya. KPK malah telah menggeledah Markas Korlantas Polri untuk mencari alat bukti (barang bukti) meski sempat bersitegang dengan sejumlah perwira Polri yang tidak membiarkan barang bukti itu disita penyidik KPK dengan alasan tidak ada izin dari Kapolri.

Tidak keliru jika korupsi di negeri ini dicap telah meluas, sistemis, dan endemik sebagai salah satu indikator negara gagal. Lembaga-lembaga negara, terlebih penegak hukum, tidak berdaya menghadapi intensitas korupsi. Korupsi telah mendistorsi proses politik, ekonomi, birokrasi, dan penegakan hukum. Para koruptor menguasai hampir semua aspek kepentingan negara, sedangkan penegakan hukum lebih banyak melahirkan ketidakadilan, kezaliman, dan terbelenggu oleh kekuatan elite politik.

Rakyat begitu miris melihat seteru antara polisi dan KPK dalam menangani kasus korupsi pengadaan simulator kemudi motor dan mobil. Yang lebih parah karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono justru diam berpangku tangan, tidak memiliki ‘sense of crisis’ bahwa sengketa Polri-KPK dalam menangani kasus tersebut akan mendistorsi perang terhadap korupsi yang pernah didengungkannya. Kekuasaan presiden selaku kepala negara harus difungsikan maksimal agar perseteruan Polri-KPK tidak merugikan upaya pemberantasan korupsi. SBY tidak boleh terbelenggu oleh persepsi ‘intervensi’ karena memerintah Polri menyerahkan kasus tersebut kepada KPK sesuai dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) sebagai aturan khusus.

Dukungan Publik

Langkah berani KPK men netapkan dua jenderal polisi aktif patut diapresiasi sebagai tindakan berani dan bagian dari keseriusan memerangi korupsi. Itulah yang pertama kalinya KPK menyidik kasus korupsi di tubuh Polri, tetapi polisi tidak mau kalah langkah dengan buru-buru menetapkan pula tiga nama tersangka. Ketiganya ialah Wakorlantas Brigjen Didik Purnomo dan dua pengusaha yakni Sukotjo Bambang dan Budi Susanto. 

Padahal, ketiganya juga sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, bahkan KPK lebih dahulu mengumumkannya ke publik. Namun anehnya, polisi tidak menjerat mantan Kepala Korlantas Polri Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka. Wajar jika publik bertanya, ada apa di balik semua ini?

Sikap keras polisi dinilai banyak pihak sebagai upaya untuk melokalisasi kasus tersebut agar tidak melebar ke mana-mana. Meski pimpinan kepolisian membantahnya, berbagai kejanggalan yang dilakukan polisi dalam menyidik kasus tersebut menunjukkan lemahnya profesionalisme polisi. Misalnya, tidak menetapkan Irjen Djoko Susilo sebagai tersangka, adanya upaya menghalangi peng geledahan KPK di Markas Korlantas, dan pengabaian ketentuan UU KPK sebagai `aturan khusus' yang harus didahulukan berlaku nya da lam menangani kasus korupsi.

Setidaknya ada tiga alasan pembenaran bagi KPK untuk menyidik kasus tersebut. Pertama, pada 27 Juli 2012, KPK telah meningkatkan status kasus itu ke penyidikan. Kemudian Djoko Susilo bersama empat orang lainnya ditetapkan tersangka, sedangkan polisi menetapkan lima tersangka, tiga di antaranya sama dengan KPK, pada 1 Agustus 2012. Langkah KPK sesuai dengan Pasal 50 ayat (3) UU Nomor 30/2002 tentang KPK (UU KPK) bahwa `Dalam hal KPK sudah mulai melakukan penyidikan, kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan'.

Kedua, ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU KPK bahwa `Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan dan KPK, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan tersebut segera dihentikan'. Artinya jika penyidikan dilakukan bersamaan, KPK yang diprioritaskan menuntaskannya dan polisi harus segera menghentikan penyidikan. Akan tetapi apa reaksi Polri? Mereka justru lebih ngotot dan tidak mau mengalah. Hal itu membuat publik semakin curiga. Itu bisa diduga sebagai bagian dari skenario untuk mengamputasi kasus tersebut agar tidak meluas dan menyeret petinggi Polri yang lain. Apalagi jejak Polri dalam mengungkap dugaan ko rupsi di jajaran mereka yang melibatkan perwira tinggi tidak pernah tuntas, seperti dugaan kasus rekening gendut yang belakangan lenyap begitu saja.

Ketiga, ketentuan Pasal 11 huruf a UU KPK menegaskan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi yang `melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara'.

Artinya, jika ada aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) yang terlibat korupsi, KPK yang diprioritaskan menanganinya. Itu dimaksudkan agar tidak menimbulkan benturan kepentingan atau melindungi pelaku sebenarnya karena menjaga kepentingan korps. Pembentukan KPK Hong Kong pada 1974 juga menekankan penanganan korupsi pada aparat penegak hukum yang terbukti efektif karena biang kerok perilaku korupsi justru ada pada lingkungan penegak hukum.

Awas Kasus Hambalang

Perseteruan antara Polri dan KPK harus segera diakhiri. Jangan sampai konflik dua lembaga hukum itu berlarutlarut tanpa solusi dan menjadi tontonan memiriskan bagi masyarakat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mestinya turun tangan dengan memerintahkan Kapolri menyerahkan penanganan kasus tersebut kepada KPK. Jangan sampai kasus tersebut berlarut-larut yang bisa menimbulkan konflik `cecak dan buaya' jilid II. Penanganan KPK tidak boleh diartikan merendahkan martabat korps kepolisian. 
Korupsi di Polri merupakan ulah oknum yang memang harus diusut dan dibawa ke pengadilan.

KPK harus lebih berani dan profesional menyelesaikan berbagai kasus korupsi kelas kakap, seperti kasus proyek Hambalang dan Bank Century yang sudah ditangani sejak lama, tetapi belum juga mengungkap aktor kakapnya. Apakah penanganan kasus besar itu terhambat oleh adanya tekanan politik kepada KPK? Bila melihat fenomena yang terjadi pada kasus Hambalang, pejabat di Kementerian Pemuda dan Olahraga yang telah ditetapkan sebagai tersangka hanyalah pelaku kelas teri. Itu belum menyentuh pelaku sesungguhnya seperti yang disebut-sebut terlibat.

Publik bisa saja menilai kegesitan KPK menangani kasus korupsi di kepolisian lantaran tidak memiliki tingkat tekanan politik yang besar seperti pada kasus Hambalang dan Bank Century. Atau, KPK tidak boleh mencoba-coba mengalihkan sorotan publik, hanya untuk mengejar popularitas pada kasus simulator.

Publik akan semakin yakin bahwa KPK masih diskriminatif karena tidak berani mengungkap kasus besar yang melibatkan elite politik dan kekuasaan. Kecurigaan publik harus segera dijawab KPK dengan membuktikan diri sebagai lembaga antikorupsi yang independen, profesional, dan berani. Jangan sampai akhirnya terjadi ‘kompromi’ dan deal-deal yang merugikan substansi penegakan hukum.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar