Rabu, 01 Agustus 2012

Rem di Laut China Selatan


Rem di Laut China Selatan
Dinna Wisnu ; Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi Universitas Paramadina, 
Anggota Komite Khusus Pertukaran Akademis Indonesia-Korea
di Korean Political Science Association
SINDO, 01 Agustus 2012


Ketegangan di Laut China Selatan (LCS) bukan di mulut saja. Minggu lalu, China telah menunjuk pejabat militer untuk menjaga garnisun (pos militer) baru di Pulau Yongxing (Woody Island) yang berada di Kepulauan Paracel. 

Secara bergilir pejabat militer dan sipil ditempatkan di pulau itu demi mempertahankan klaim China atas kedaulatan wilayahnya. Taiwan, Vietnam, dan Filipina tak kalah galak. Presiden Filipina Benigno Aquino III marah besar atas kegiatan China tadi. Ia mengajak parlemen Filipina untuk teguh menjaga wilayah kedaulatan dan merencanakan untuk membeli helikopter penyerang. Vietnam tak kalah geram, ribuan orang berdemo menentang arogansi China di area yang mereka anggap wilayah kekuasaan Vietnam.

Taiwan pascaterpilihnya kembali Presiden Ma Ying-Jeou menegaskan akan pantang mundur terhadap China, apalagi melihat gelagat garis keras yang dipilih China. Amerika Serikat yang memang bukan pemain langsung dalam ketegangan kawasan ini sudah bersiap diri menghadapi China; mereka menganggap konflik ini sebagai wujud berhadapannya dua kekuatan besar dunia (yakni China dan AS) dalam hal penjagaan wilayah kekuasaan.

Ketika sejumlah pengamat diundang dialog dengan tim dari Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) awal Juli lalu, ketegangan di LCS belum dianggap mendesak atau diantisipasi sebagai sumber konflik terbuka. Alasannya yang muncul barulah sebatas ancaman-ancaman, bahwa tidak pada tempatnya membandingkan kekuatan senjata China dengan Vietnam, Filipina atau Taiwan dan bahwa klaim dari negara-negara tersebut sebenarnya tidak punya dasar hukum yang kuat.

Dalam perjanjian internasional, pengaturan hak atas pengelolaan perairan haruslah didasarkan pada pulau atau batas darat terluar. Padahal dalam kasus LCS, yang diperebutkan lebih soal pemanfaatan perairan dan dasar laut di bawahnya; padahal semuanya diukur dari karang-karang kecil yang sebenarnya bisa saja tenggelam bila terjadi pemanasan global. Klaim China pun sebenarnya tidak kuat hukum karena dibuat atas dasar sejarah saja.

Diplomat Indonesia mengaku sengaja tidak menanggapi isu LCS dari sudut pandang hukum karena nanti malah merendahkan kita. Namun sudah ada kesadaran di antara para pengambil kebijakan, termasuk pelaku diplomasi dari Kementerian Luar Negeri RI, bahwa LCS sarat muatan politik. Ketika politik bermain, tak penting lagi ukuran-ukuran kekuatan yang riil. Retorika saja mempan untuk meningkatkan ketegangan, mengikis rasa percaya, dan memancing gerakan ofensif.

Logikanya, negara-negara ini akan punya rem alami, yakni konsekuensi ekonomi yang buruk bila di kawasan perairan yang sangat strategis ini sampai terjadi baku tembak. Namun skenario rem ini bukanlah suatu hal yang otomatis. Bila rem ini tidak diberi ruang yang cukup dan diinjak jauh-jauh hari, yang terjadi justru percepatan menuju konflik terbuka atau keterlambatan untuk bertindak mencegah konflik terbuka.

Sensitivitas akan waktu, tempat, dan aktor yang bisa diajak bekerja sama adalah halhal penting yang perlu dipahami secara utuh dalam menghadapi konflik politis lintas negara semacam ini. Karena itu, Indonesia perlu mengambil langkah sebagai berikut.
Pertama, memetakan faksi-faksi politik di negara masing-masing dan kaitannya dengan dinamika politik domestiknya.

Tiap faksi di tiap negara punya agenda luar negeri dan pilihan sikap terhadap pilihan politik negara lain. Ketika politik domestik memerlukan angin segar, maka tanggapan dan formulasi opini publik atas ancaman eksternal menjadi potensi pilihan. Di sini Indonesia perlu jeli membaca peta faksi-faksi politik di negara-negara Asia. Faksi yang punya kegelisahan tinggi dan cenderung ofensif perlu segera diajak berdialog untuk mengatur langkah sikap politik luar negeri kita yang lebih jitu.

Perhitungan waktu dan siapa yang diajak bicara memiliki dampak politik yang nyata. Sejumlah laporan mengatakan kelompok militer hawkish (garis keras) sedang mencari pamor di Angkatan Bersenjata China. Bukan cuma negara lain yang dibuat geleng-geleng kepala; bahkan para pakar politik di negara itu pun ikut geleng-geleng karena aksi yang mereka anggap ceroboh. Namun, China sedang berkembang pesat dalam hal jumlah dan jenis aktor politik. Partai Komunis China tidak bisa dikatakan satu suara lagi dalam banyak hal.

Di Taiwan, Partai Progresif Demokratik meminta Kementerian Luar Negeri dan Dewan Pertahanan untuk menunjukkan keberaniannya mengunjungi pulau-pulau yang disengketakan Taiwan di LCS dan meskipun hal ini ditolak oleh Partai Kuomintang karena dianggap akan memperpanas suasana, usulan tersebut lolos di komisi legislatif. Ini baru gambaran kecil kondisi faksi politik yang ada. Untuk itu, para pelaku second-track diplomacy, yakni para pengamat politik dan akademisi, perlu diberdayakan untuk melakukan pemetaan tersebut. 
Di Asia Timur, kegiatan para akademisi sudah menyatu dengan kegiatan para pelaku first-track diplomacy. Di sini belumlah demikian.
Kedua, Indonesia dapat mengintensifkan dialog dengan negara-negara “kecil” yang bersengketa di LCS. Saat ini Taiwan, Vietnam, dan Filipina maju berhadapan sendiri-sendiri terhadap China. Masing-masing merasa wajib menjaga kedaulatan wilayahnya, padahal sebenarnya yang mereka jaga adalah gengsi masing-masing agar tidak dianggap kecil atau tiada oleh negara-negara yang lebih “besar”.

Sementara itu, China geram karena merasa “dikeroyok”, apalagi oleh negara-negara yang menurut mereka kecil. Kompetisi di dalam Partai Komunis China memaksa faksi yang berkuasa sekarang untuk mengubah sikap lunaknya menjadi keras agar dapat mempertahankan dan meraup dukungan internal politik berkaitan dengan suksesi kepemimpinan di dalam Partai Komunis.

Di sini Indonesia perlu membuat strategi menjalin komunikasi dengan “negara-negara kecil” agar penyelesaian LCS dapat berjalan proporsional tanpa perlu menciptakan spekulasi politik internasional.
Ketiga, yang terpenting adalah merumuskan sikap politik Indonesia terhadap AS dan China. Indonesia dapat berbicara kepada kedua negara itu tidak hanya dalam kapasitas pribadi, tetapi juga perwakilan ASEAN. China dan AS-lah yang perlu direngkuh oleh Indonesia agar mereka lebih “maklum” pada psikologi kedaulatan dari negara-negara kecil yang masing-masing sedang meningkatkan kapasitas menjadi middle power. China dan AS perlu menyadari perlunya respek pada pilihan kebijakan luar negeri dari negara-negara yang paling kecil sekalipun.
Keempat, Indonesia perlu mengonsolidasikan diri agar layak dipandang dunia sebagai negara yang punya kredibilitas dalam mencari solusi nonmiliter dalam ketegangan Asia Timur. Setidaknya ada dua nilai yang dihargai dari Indonesia, yakni perhatian pada wajah manusia-manusia yang hak asasinya akan terenggut dalam perang serta keberanian untuk mengatakan “tidak” pada kekuatan besar.

Dalam hal penegakan hak asasi manusia, masih ada keraguan untuk mendengar Indonesia karena di dalam negeri pun masih banyak kritik seputar perlindungan HAM atau diplomasi yang jauh dari kebutuhan masyarakat awam. Sementara dalam hal keberanian berkata “tidak”, Indonesia masih dalam posisi menunggu, padahal dalam tiap penantian, pasti ada konsekuensi negatifnya juga.
Semoga tulisan ini membuat Indonesia lebih siap bersikap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar