Refleksi
Kemerdekaan
|
Benny Susetyo ; Pemerhati Sosial
|
MEDIA
INDONESIA, 16 Agustus 2012
SETIAP kali kita mera yakan kemerdekaan selalu timbul pertanyaan
mendalam di dasar hati, benarkah kita sudah merdeka seutuhnya? Keresahan
kehidupan berbangsa selama ini menjadi cermin nyata bahwa kemerdekaan itu lebih
merupakan seremonial dan simbol belaka.
Hakikat Kemerdekaan
Sebagai bangsa, kemandirian diri sering tidak bisa kita tunjukkan.
Apa yang menjadi prinsip-prinsip kehidupan berbangsa kita bahkan, disadari atau
tidak, lebih banyak ditentukan bukan oleh diri kita sendiri.
Kita hanya merdeka dalam pengertian upacara. Sebagai bangsa
merdeka, kita justru lebih banyak melahirkan ma nusia dengan jiwa terpenjara. Manusia
yang terbelenggu oleh penjajahan gaya baru, baik oleh elite bangsa sendiri
maupun bangsa lain.
Itulah kondisi sepanjang kemerdekaan selama ini. Begitu sering
diperingati sekaligus kita abaikan makna hakikinya dalam kehidupan sehari-hari.
Kemerdekaan tidak menjelma dan menjiwai kehidupan sehari-hari. Demi kepentingan
jangka pendek, sebagaimana dicontohkan dalam teladan para elit, kemerdekaan
bahkan sering digadaikan dalam belenggu kenikmatan sesaat.
Bangsa merdeka tidak hanya merdeka dari belenggu penjajahan,
tetapi merdeka sejati ketika mampu menentukan masa depannya tanpa tergantung
kekuatan lain. Bangsa ini memang sudah merdeka sebagai bangsa, tetapi belum
merdeka dari ketergantungan pada kekuatan hitam pemodal yang mendikte cara
berkehidupan, berpikir, bertindak, dan bernalar. Bangsa ini selalu dikendalikan
kekuatan itu yang mengakibatkan orientasi bangsa hanya mencari hal-hal yang
memuaskan indra.
Merdeka, menurut para pendiri Republik, dimaksudkan sebagai sebuah
kebebasan atas penindasan dan perbudakan dari kolonialisme. Kalau makna
kemerdekaan ialah berakhirnya sejarah kolonialisme yang ditandai dengan sifat
eksploitasi manusia, yakni manusia hanya dijadikan alat produksi semata,
berarti kita sekarang belum merdeka seutuhnya. Kita baru merdeka dalam tahap
simbol formal bahwa Indonesia tidak dijajah negara lain secara fisik. Kita belum
merdeka dalam arti yang digariskan founding
fathers.
Faktanya ialah sebagian besar rakyat kecil masih sering berada di
alam pemerasan dan kekerasan oleh elite politik, penguasa, dan pemodal. Alam
yang seharusnya diolah demi kemakmuran rakyat nyatanya hanya digunakan untuk
kemakmuran sebagian sangat kecil orang. Sebagian kecil orang itu mungkin sudah
merasa merdeka, tetapi sebagian besar masyarakat belum merasakan kemerdekaan
dalam arti demikian. Sumber alam bukan untuk kepentingan mereka, melainkan demi
kepentingan para pemilik modal.
Dengan demikian, refleksi kemerdekaan seharusnya diletakkan dalam
sebuah pertanyaan besar, sejauh mana bangsa ini mempertanyakan kembali
cita-cita kemerdekaan yang mendasar.
Kita harus bisa menjawab pertanyaan, apakah kemerdekaan adalah
situasi ketika kita sebagai bangsa sebenarnya tidak lebih dari sebagai `kuli di
negeri sendiri'? Apakah kemerdekaan adalah hilangnya kebebasan untuk menentukan
hari depannya sendiri?
Orientasi Kemandirian
Bangsa ini semakin lama semakin kehilangan orientasi dasar menjadi
bangsa yang memiliki kemandirian dalam menentukan hari depannya. Hari depan
kita semakin suram karena rakyat miskin semakin miskin. Realitas tersebut tidak
membuat kita sebagai bangsa tergugah.
Kemerdekaan yang selama ini diharapkan memberi ruang bagi ekspresi
kebebasan rakyat dari eksploitasi penjajahan-secara politik, sosial, maupun
ekonomi--realitasnya belum sepenuhnya demikian. Realitasnya, selama ini kita
merdeka masih dalam keadaan dibe lenggu elite-elite kita sendiri dan kekuatan
modal.
Kenyataan itulah yang membuat bangsa ini semakin tak berdaya
menghadapi tata dunia yang tidak lagi mengenal belas kasih terhadap manusia
miskin. Jumlah kaum miskin di negara berkembang terus meningkat karena proses
pemiskinan itu terjadi melalui pola-pola yang halus dan sistematis. Salah satu
cara utamanya ialah dengan menciptakan ketergantungan kepada sistem ekonomi
global.
Aktivitas kehidupan dalam mengisi kemerdekaan sering terbelenggu
pada upacara yang penuh dengan simbol belaka. Itulah yang membuat bangsa ini
tidak mampu lagi memaknai arti kemerdekaan yang paling esensi.
Cita-cita kemerdekaan sirna bila bangsa ini tidak berani berubah
menjadi `autentik'. Bangsa yang autentik ialah bangsa yang berani mengambil
risiko terhadap pilihan alternatif dalam mengembangkan jati diri kebangsaannya.
Jati diri kita memang telah dirumuskan dengan baik dalam tujuan kemerdekaan,
yakni untuk membebaskan diri dari kemiskinan dan kebodohan.
Akan tetapi, jati diri itu terkubur karena elite politik lebih
suka berkompromi dengan para pemilik modal besar daripada dengan rakyat. Itulah
yang membuat orientasi dasar kemanusiaan dan keadilan tidak berkembang karena
pendidikan hanya untuk menciptakan manusia pragmatis.
Akibatnya ruang publik kita hanya diisi kaum petualang yang
menggunakan gelar hebat, tapi tidak isinya. Polemik terus-menerus dihadirkan
untuk menghiasi publik setiap hari di media. Namun realitasnya, polemik itu
tidak mampu menjadi pelecut daya cipta untuk mengubah ketidakberdayaan menjadi
keberdayaan. Itu terjadi karena kita, sebagai bangsa, miskin cita-cita dan cinta.
Maka lihatlah, semakin hari negeri ini mulai kehilangan politisi yang cinta
rakyatnya, elite yang setia mendampingi masyarakatnya, agamawan yang bijak
kepada umatnya, intelektual yang loyal terhadap publiknya, dan pemodal yang
memberikan cinta kepada pasarnya. Negeri ini kehilangan semangat para pahlawan yang setia
mengorbankan harta benda dan nyawa mereka untuk kemandirian bangsa. Negeri ini
kehilangan semangat para pahlawan yang setia mengorbankan harta benda dan nyawa
mereka untuk kemandirian bangsa.“ ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar