Jumat, 17 Agustus 2012

Pulang ke Fitrah Manusia dan Bangsa


Pulang ke Fitrah Manusia dan Bangsa
Yudi Latif ; Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
REPUBLIKA, 16 Agustus 2012


PERAYAAN Idul Fitri kali ini bertepatan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia, mendaur ulang peristiwa yang sama 67 tahun yang lalu, saat biduk Republik Indonesia mulai berangkat. Pada titik keberangkatan itu, ada kesesuaian antara fitrah individu dan fitrah kolektif-kebangsaan; hanif (cenderung pada kebajikan). Dengan lentera kehanifan itu, kebahagiaan individu dan kolektif berusaha dicapai melalui perjuangan kemerdekaan, dengan menghadirkan pemerintahan sendiri, berlandaskan konstitusi, yang ditopang oleh kekuatan moral individu dan kolektif.

Inti dari keberagamaan ialah moral (akhlak). Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia.“ Pilar utama keparipurnaan negara pun ialah moral. Dalam hal ini, pokok pikiran keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan, “Negara berdasar atas ketuhanan, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab... mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara, untuk memelihara budi pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang teguh cita-cita moral rakyat yang luhur.“ Para pendiri bangsa Indonesia bukannya tak punya cacat, melainkan mereka memiliki modal moral yang kuat.

Saat ditanya oleh Direktur Penjara Landraad Bandung ihwal `kehidupan baru' selepas bebas, Bung Karno menjawab, “Seorang pemimpin tidak berubah karena hukuman. Saya masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan, dan saya meninggalkan penjara untuk pikiran yang sama.“

Di tengah impitan depresi ekonomi dan represi rezim rust en orde pada dekade 1930-an, setegar baja Bung Hatta berkata, “Betul banyak orang yang bertukar haluan karena penghidupan, tetapi pemimpin yang suci senantiasa terjauh dari godaan iblis itu.“ Lantas ditambahkan, “Ketetapan hati dan keteguhan iman adalah satu conditio sine qua non (syarat yang terutama) untuk menjadi pemimpin. Kalau pemimpin tidak mempunyai moril yang kuat, ia tak dapat memenuhi kewajibannya dan lekas terhindar dari pergerakan.“ Kekuatan moral ini pula yang memijarkan rasa pengabdian dan tanggung jawab kepada kemaslahatan hidup bersama.

Dalam perdebatan tentang rancangan undang-undang dasar di BPUPKI, Muhammad Yamin mengingatkan, “Saya hanya minta perhatian betul-betul karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar, ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan perumusan undang-undang dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik.

DENGAN kekuatan moral individu seperti itu, kita bisa mendirikan Republik dengan moral kolektif yang kuat, Pancasila sebagai dasar negara yang inklusif dan tahan banting, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang paling modern pada zamannya, negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan, Bhinneka Tunggal Ika sebagai doktrin dan praksis multikulturalisme yang kukuh.

Menangkap Api Agama

Dari manakah kekuatan moral Republik itu mereka dapatkan? Dari kemampuan menangkap api agama, bukan abunya; dari keterlibatan yang khidmat dengan gelora pergerakan, bukan sekadar lewat jalan pintas popularitas; dari penghayatan dan empati yang mendalam terhadap penderitaan diri dan sesama, bukan sekadar lewat proyek pencitraan; dari pemahaman yang jernih dan luas tentang hakikat kemanusiaan dan kehidupan, bukan pemahaman cetek yang dipungut dari kunjungan sekilas.

Enam puluh tujuh tahun setelah Indonesia merdeka, moral individu dan moral kolektif bertemu secara salah: institusi-institusi negara menjadi arena pertemuan individu-individu yang bermasalah dengan moral kolektif yang bermasalah. Banyak orang beragama sekadar untuk mendustakannya, karena gairah beribadah tak diikuti gairah berkorban. Tempat-tempat ibadah bertumbuh beriringan dengan arus masuk para aktivis keagamaan ke politik kepartaian dan kenegaraan, tapi kehidupan negara makin centang perenang oleh merebaknya korupsi dan penyelewengan jabatan.

Dalam itu, kebijakan negara tidak lagi mencerminkan negara persatuan, tapi didikte oleh kepentingan perseorangan dan golongan. Demokrasi tidak memperkuat rakyat, tapi memperkuat oligarki yang mengembangbiakkan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Indonesia masa kini bukanlah Indonesia yang dibayangkan para pendiri bangsa. Negara yang didirikan secara sungguh-sungguh, dengan gagasan cemerlang dan moral yang kuat, dirawat secara main-main, dengan gagasan serampangan dan moral yang rapuh.
Dalam kegelapan arah ke depan, jalan terbaik ialah pulang ke spirit asal (fitrah). Fitrah dasar kehidupan bernegara yang memancarkan keimanan, ketulusan, dan kejuangan perlu dihidupkan ulang sebagai tenaga batin untuk mengangkat muruah bangsa dari kerendahannya.

Soekarno mengingatkan, “Tidak ada suatu bangsa dapat berhebat, jikalau batinnya tidak terbuat dari nur iman yang sekuat-kuatnya. Jikalau kita bangsa Indonesia ingin kekal, kuat, nomor satu, jiwa kita harus selalu jiwa yang ingin mikraj--kenaikan ke atas--supaya kebudayaan kita naik ke atas, supaya negara kita naik ke atas. Bangsa yang tidak mempunyai adreng. Adreng untuk naik, bangsa yang demikian itu, dengan sendirinya akan gugur pelan-pelan dari muka bumi (sirna ilang kertaning bumi).” Kebesaran jiwa pemimpin merupakan pengungkit kenaikan martabat bangsa.

Untuk itu, pemimpin hari ini hendaklah wawas diri. Dalam terang wawas diri akan tampak bahwa kesulitan dan keterpurukan yang dialami bangsa ini disebabkan oleh tabiat para pemimpin yang bermental pengemis, yang hanya minta diberi tanpa bisa memberi.
Pemimpin seperti itu tak memiliki rasa welas asih, berperangai bak binatang buas yang menjadikan rakyatnya sebagai mangsa. Untuk pemimpin seperti itu Sa’di berkisah, “Seorang raja yang rakus betanya kepada seseorang yang taat tentang jenis ibadah apa yang paling baik. Dia menjawab, ‘Untuk Anda yang paling baik ialah tidur setengah hari sehingga tidak merugikan atau melukai rakyat meski untuk sesaat’.

Tugas para pemimpin ialah menciptakan surga di dunia dengan memulihkan kebahagiaan rakyat mereka. Dunia dapat menjadi surga ketika kita saling mencintai dan mengasihi, saling melayani, dan saling menjadi sarana bagi pertumbuhan batin dan keselamatan. Dunia juga bisa menjadi neraka jika kita hidup dalam rongrongan rasa sakit, pengkhianatan, kehilangan cinta, dan miskin perhatian.

Dengan kehadiran Idul Fitri dalam suasana peringatan kemerdekaan Indonesia, semoga kita bisa kembali ke dua fitrah sekaligus: fitrah ke manusiaan dan fitrah kebangsaan. Dengan hati suci yang bertaut dengan gelombang kesucian kolektif, semoga kehidupan kemanusiaan dan kebangsaan dapat dimuliakan kembali!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar