Jumat, 03 Agustus 2012

Puasa dan Moratorium Kekonsumtifan


Puasa dan Moratorium Kekonsumtifan
Fajar Riza Ul Haq ; Direktur Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity
KOMPAS, 03 Agustus 2012
Sejatinya ibadah puasa merupakan momentum untuk melakukan moratorium budaya konsumtif yang kian menihilkan tanggung jawab keberlanjutan dan keadilan distributif.
Ironisnya, pertumbuhan ekonomi kita dewasa ini justru ditopang oleh tingginya daya kekonsumtifan masyarakat. Penelitian Litbang Kompas beberapa waktu lalu menyimpulkan, kelas menengah pascakrisis ekonomi 1998 dicirikan oleh perilaku konsumtif, kurang toleran terhadap perbedaan, dan tak memiliki kepedulian sosial. Data terbaru, Indonesia menempati indeks keyakinan konsumen tertinggi di Asia-Pasifik pada triwulan II tahun ini sebagaimana survei Nielsen.

Menjelang Ramadhan lalu, seorang pejabat tinggi Bank Indonesia (BI) mencemaskan tingginya tuntutan konsumsi selama Bulan Puasa dan Lebaran akan memicu inflasi jika tak bisa dipenuhi. Pada saat yang sama, kenaikan harga bahan kebutuhan pokok (selalu) terbukti tak menyurutkan perilaku konsumtif masyarakat. Gejala ini merefleksikan satu persoalan sistemik dalam kemajuan ekonomi yang dipacu oleh mentalitas rakus untuk mengakumulasi kemakmuran. Orientasi pembangunan ekonomi ini, yang disebut Emil Salim sebagai ”pasar sebagai alokasi sumber daya untuk output yang efisien”, telah melahirkan sejumlah dampak sosial yang berlawanan dengan semangat emansipatif puasa, seperti kemiskinan, ketimpangan, konflik, dan krisis lingkungan (Kompas, 10/7).

Sejak tiga dasawarsa lalu, sejumlah pemikir agama-agama dunia sudah menaruh kepedulian tinggi terhadap isu krisis ekologi dan kemiskinan yang ditimbulkan ketakadilan sistem ekonomi. Menurut David Loy, rentetan dampak sosial itu berakar pada doktrin kapitalisme pasar yang telah membaptis diri sebagai agama pasar.

Dua masalah mendasar dari kapitalisme pasar ini: keserakahan dan ilusi kebahagiaan dicapai melalui akumulasi ekonomi. Di sinilah agama dituntut berbicara dan mencari solusi atas isu kekonsumtifan, ledakan pendudukan, dan tanggung jawab keberlanjutan kehidupan. Namun, sering perilaku umat beragama masih tak beranjak dari mentalitas konsumtif.

Komodifikasi dan eksploitasi atas nama agama menjadi praktik umum yang dipertontonkan. Pada kasus perilaku puasa, budaya mengakumulasi lebih dominan daripada mengurangi dan melepaskan kekayaan. Padahal, puasa tak bisa dilepaskan dari unsur kegembiraan, berbagi, solidaritas, dan keadilan distributif.

Revolusi Mental

Substansi menjalankan puasa bukanlah semata-mata ritual tahunan. Yang terpenting adalah proses melatih diri menemukan kesadaran dan mentalitas baru. Imam Ghazali membedakan perilaku orang berpuasa ke tiga level: puasa awam, puasa khusus, dan puasa superkhusus. Maka, kondisi lapar dan haus ragawi adalah medium, bukan tujuan.

Kemampuan seseorang menjinakkan naluri kebinatangan dan hasrat konsumtif selama berpuasa akan menentukan sejauh mana proses ini berhasil merevolusi kesadaran dan mental dirinya menjadi manusia bermartabat. Dalam perjalanan kehidupan seorang Muslim, puasa ibarat sebuah interupsi kehidupan yang berdimensi sosial, ekonomi, bahkan politik.

Jeda ini hendak menyadarkan dirinya bahwa kesetaraan sosial, keadilan ekonomi, dan solidaritas kemanusiaan bagian tak terpisahkan dari bangunan iman. Itu sebabnya kesempurnaan proses ibadah puasa harus diikat oleh zakat fitrah.

Zakat sendiri merupakan prinsip revolusi sosial yang mendasari pelepasan kekayaan yang melebihi kebutuhan dasarnya kepada orang yang membutuhkannya. Revolusi sosial yang dikehendaki semangat zakat hanya dimungkinkan menjelma apabila setiap individu Muslim berhasil melepaskan mentalitas keakuan demi solidaritas kekitaan. Sebagai amal saleh, ibadah puasa adalah manifestasi perjalanan spiri- tual menuju liberasi individu dan membantu meningkatkan martabat orang lemah, miskin, dan terpinggirkan (Haque, 1987).

Solidaritas kekitaan pada ranah kesadaran politik warga akan mendeterminasi negara berpihak pada kebijakan ekonomi-politik prorakyat. Pertumbuhan pesat ekonomi minus keadilan sosial dan redistribusi ekonomi sangat berisiko menyulut kerusuhan dan konflik sosial di tengah ketimpangan kaya-miskin. Orang berpuasa tak hanya dibebani pertanggungjawaban individual, tetapi juga keadilan publik.

Pada akhirnya menjadikan perjalanan puasa selama satu bulan ini sebagai proses revolusi mental akan mampu membuka pikiran, nurani, dan komitmen seorang Muslim terhadap persoalan ketimpangan dan ketakadilan di lingkungannya.

Seyogianya semangat emansipatif puasa dapat merombak perilaku konsumtif masyarakat menjadi produktif sehingga ledakan demografi bangsa ini adalah kekuatan dan bisa bermuara pada kemakmuran dan keberlanjutan, bukan petaka. Mari kita daulat Ramadhan bulan moratorium terhadap kekonsumtifan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar