Presiden Mormon
R William Liddle ; Profesor Emeritus Ohio State University,
Columbus, Ohio, AS
|
KOMPAS,
24 Agustus 2012
Willard Mitt Romney, bakal calon Partai
Republik untuk presiden Amerika Serikat pada pemilu November 2012, beragama
Mormon. Mengingat sejarah masyarakat Mormon, yang lama dikucilkan penganut
agama lain—terutama Kristen evangelis— hampir tak terbayangkan bahwa orang
Mormon bisa berharap menjadi pemimpin bangsa.
Setidaknya begitulah pendapat saya selaku
warga dan pengamat politik Amerika selama setengah abad. Namun, sejauh bisa
saya lihat, faktor itu tak akan banyak memengaruhi keputusan para pemilih
nanti. Faktor-faktor ekonomi kemungkinan besar lebih pokok, termasuk sikap
masyarakat terhadap peran negara sebagai pengatur ekonomi dan penjamin
kesejahteraan umum.
Dalam hal itu, Partai Republik yang dipimpin
Romney mengusung program membebaskan pebisnis dari belenggu peraturan negara,
mengurangi pajak, dan mencabut program kesejahteraan sosial. Khususnya yang
menyangkut Obamacare, program
asuransi kesehatan yang merupakan keberhasilan utama pemerintahan Presiden
Obama. Sementara itu, Partai Demokrat yang dipimpin oleh Obama ingin
memperluas, setidaknya mempertahankan, peran negara dalam kehidupan ekonomi
bangsa.
Perlu Dibicarakan
Meski demikian, dampak agama yang diyakini
Romney tetap merupakan hal yang perlu kita bicarakan dalam rangka Pemilu 2012,
demi pengertian lebih dalam tentang politik Amerika dan bangsa-bangsa modern
lain di dunia, termasuk Indonesia. Ibarat the
dog that did not bark, anjing yang tidak menggonggong, dalam cerita
detektif ulung Sherlock Holmes, boleh jadi ada pelajaran berharga dari sikap
acuh tak acuh masyarakat pemilih terhadap pencalonan tokoh Mormon oleh salah
satu dari dua partai besar kami.
Gereja Mormon, resminya Gereja Yesus Kristus
dari Orang-Orang Suci Zaman Akhir, didirikan oleh Joseph Smith di daerah barat
Negara Bagian New York pada tahun 1820-an. Doktrin gereja-gereja mapan waktu
itu menganggap Smith sesat dan murtad dari awal pendirian komunitas Kristen
hampir 2.000 tahun sebelumnya.
Smith mengaku sebagai rasul Tuhan yang
dikaruniai kitab-kitab suci baru, termasuk Book
of Mormon, oleh para malaikat, demi mempersiapkan kedatangan kedua Yesus.
Teologinya menolak konsep Trinitas, ketuhanan tritunggal, pilar keyakinan utama
denominasi Kristen lain. Juga berbeda dengan gereja lain, manusia dianggap
mampu maju dari status awalnya sebagai ruh dan menjadi ”seperti Tuhan”.
Setelah itu, jemaah Mormon berkembang pesat
dan kini berjumlah sekitar 14 juta anggota yang berpusat di Salt Lake City, Utah, tetapi tersebar di
seluruh dunia. Sampai akhir abad ke-19, perkembangbiakan itu didorong oleh
praktik poligami yang dibenarkan sebagai wahyu Tuhan. Selain itu, semua anggota
jemaah diwajibkan menjadi pekabar Injil selama dua tahun. Mitt Romney memenuhi
panggilan itu di Perancis puluhan tahun lalu.
Poligami dan praktik-praktik
khas lain memicu reaksi keras dari masyarakat sekitar. Orang- orang Mormon
diusir dan dikejar selama puluhan tahun. Kerusuhan dan pembunuhan massal sempat
terjadi, baik yang dilakukan musuh maupun yang mereka sendiri berbuat.
Pada akhirnya mereka
diperbolehkan tinggal di daerah terpencil yang dinamakan Utah Territory, Daerah
Utah. Pada 1896 Utah disahkan sebagai negara bagian Amerika Serikat yang ke-45.
Imbalannya: gereja Mormon secara resmi meninggalkan praktik poligami untuk
selama-lamanya.
Menelusuri kembali sejarah Mormon di dunia
Kristen, khususnya Amerika, mengingatkan saya pada sejarah Ahmadiyah di dunia
Islam, termasuk Indonesia. Ahmadiyah juga didirikan oleh tokoh yang mengaku
rasul, Mirza Ghulam Ahmad, memiliki kitab baru, dan berkembang pesat. Persis
seperti Mormon yang bersitegas bahwa mereka beragama Kristen, sementara
pengakuan itu ditolak keras oleh pemimpin Kristen lainnya, Ahmadiyah bersitegas
bahwa mereka beragama Islam, sementara pengakuan itu ditolak keras oleh
pemimpin Islam lainnya.
Menakjubkan
Kenapa saya tunjukkan persamaan itu? Untuk
meyakinkan pembaca di Indonesia bahwa pencalonan tokoh Mormon sebagai presiden
Amerika oleh Partai Republik memang merupakan sesuatu yang menakjubkan. Apalagi
kalau kita ingat bahwa kaum Protestan evangelis, musuh bebuyutan Mormonisme
selama hampir dua abad, merupakan kekuatan besar di partai tersebut.
Akhirulkata, saya
tak berpretensi bahwa saya mengerti seluruhnya kenapa
anjing ini tidak menggonggong. Tampaknya pemimpin
serta warga Partai Republik telah memutuskan bahwa ada hal yang lebih penting dalam kehidupan bangsa
ketimbang pembencian berdasarkan perbedaan agama.
Hal itu, seperti saya katakan di atas, adalah
rasa prihatin tentang keadaan ekonomi nasional yang masih terkatung-katung.
Apakah pertimbangan seperti itu bisa juga terjadi di Indonesia menjelang
pemilihan presidensial 2014 atau yang berikut? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar