Kamis, 02 Agustus 2012

Pancasila dan Neokleptokratisme


Pancasila dan Neokleptokratisme
Siti Marwiyah ; Dekan FH Universitas Dr Soetomo Surabaya
SUARA KARYA, 01 Agustus 2012

Sejarawan Anhar Gonggong menilai bahwa tanggal 1 Juni sudah tepat dijadikan hari lahir Pancasila. Namun, pada tanggal itu Pancasila belum dinobatkan sebagai dasar negara, sebab Indonesia belum dinyatakan merdeka. Meski belum dinobatkan sebagai dasar negara, tetapi kelahiran Pancasila di momen sengkarutnya kehidupan berbangsa, layak dijadikan pijakan moral setiap elemen bangsa ini.

Kelahiran itu pun layak diapresiasi sebagai bukti kegigihan atau etos juang penggagas yang menunjukkan sikap kecerdasan dan militansi ke-Indonesian-nya di tengah hegemoni penjajahan. Para penggagas berusaha mengingatkan setiap elemen bangsa, bahwa kemerdekaan harus dipersiapkan dengan bekal ideologi, atau way of life sebagai bangsa.

Kegigihan memperjuangkan fondasi bangsa yang dilakukan oleh penggagas (pendiri) itu selayaknya menyadarkan kita, bukan untuk terlibat dalam diskursus hari lahirnya, tetapi merefleksi makna kepejuangannya dalam menyiapkan 'piranti' moral-keberagamaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Diskursus yang bersifat gugatan pada diri setiap elemen bangsa, khususnya kalangan elite strategis adalah sikap dan perilakunya yang bercorak paradoksal, berlawanan, atau vis a vis dengan doktrin Pancasila. Mereka bukannya menjadi generasi penerus yang menjaga dan menguatkan fondasi bangsa, tetapi terjerumus dalam praktik-praktik bercorak neokleptokratisme.

Corak neokleptokratisme merupakan penyakit yang sudah sekian lama menggeroti dan mengeroposkan keberdayaan hidup bangsa. Penyakit ini sangat akut dalam menghancurkan sendi-sendi perekonomian masyarakat. Penyakit ini telah membuat masyarakat bukan hanya terperangkap dalam kemiskinan, tetapi juga terperosok dalam berbagai bentuk ketidakberdayaan kompilatif.

Sekelompok orang yang menderita penyakit neokleptokratisme itu sudah terbukti mampu membuat negeri ini benar-benar kehabisan banyak enerji atau sumber daya fundamentalnya. Mulai dari hutan, air, APBN, APBD, pajak, dana bencana alam, subsidi BBM, bantuan pendidikan untuk program pengentasan kemiskinan, maupun sumber dana sektor strategis lainnya, sudah banyak yang diserang oleh penyakit neokleptokratisme atau dijadikan 'bancaan' oleh elite penghafal Pancasila.

Ironisnya, tidak sedikit di antara mereka yang menderita penyakit itu, bisa mengemas dirinya dengan penampilan layaknya aktor-aktor yang setia dan teguh menjaga doktrin Pancasila. Mereka seperti manusia-manusia suci yang bukan hanya fasih dalam lisan saat mengucapkan Pancasila dari sila ke sila, tetapi juga fasih dalam perbuatan. Sayangnya, kefasihan ini hanya menipu atau pola kamuflase yang dikedepankan untuk memembohongi dan membodohi publik.

Faktanya, aparat-aparat pemerintah gampang terjebak dalam suatu prinsip menggampangkan (mengamputasi) urusan rakyat dan menasbihkan urusan ego atau menyembah keakuannya, seperti derita yang menimpa rakyat, yang sebatas ditempatkan atau diwacanakan sebagai bagian dari bencana instan atau 'eksaminasi psikologis' yang harus diterima dengan sabar, dan bukannya disikapi sebagai gugatan atau dakwaan kalau komplikasi yang dialami rakyat adalah indikasi kegagalannya dalam menerjemahkan kebutuhan empirik rakyat, atau masih 'setengah hatinya' dalam mengamalkan pesan kemanusiaan dalam Pancasila. (Nurrahman, 2010)

Kelompok elite pendusta Pancasila seperti itulah yang pantas dikritik sebagai manusia yang gagal menjadi negarawan. Ketika hak keselamatan hidup rakyat saja, misalnya, sudah tidak terjamin atau gampang diabaikan oleh aparat pemerintah yang sibuk menasbihkan 'keakuannya', maka kecenderungan pemerintah untuk berbuat serupa dan lebih biadab niscaya akan terjadi. Negara (pemerintah), yang memang di dalam dirinya dipercayakan perlindungan hak-hak publik, bisa tergiring berlaku serong (selingkuh) ketika syahwat menyenangkan diri dan golongan diunggulkan.

Syahwat menyenangkan diri atau menahbiskan kepentingan gaya hidup hedonistiknya terbukti sudah membuka ruang longgar dan liberal bagi penyakit neokleptokratisme. Penyakit ini sudah memasuki pori-pori kehidupan masyarakat, mulai dari ranah birokrasi yang paling bawah hingga elitis. Akibat penyakit ini, penampilan negara semakin tidak cantik dan tidak humanistik. Mereka tak ubahnya perampok, penjarah, atau 'pembajak' hak-hak rakyat.

Kebiadaban bangunan pemerintahan (negara) itu jelas menjadi sumber malapetaka bangsa, karena dengan runtuhnya keadaban pemerintah ini, rakyat sama artinya kehilangan payung organisasi yang memediasi dan menyehatkannya. Rakyat dibuat hidup merana akibat sehari-harinya lebih sering bertemu praktik-praktik neokleptokratisme yang bukan hanya sukses merebut dan mengeksploitasi hak-haknya, tetapi juga terus-menerus menghancurkan sisa-sisa keberdayaannya.

Kenyataan memprihatinkan atau memilukannya, kita sudah banyak dan sering mendapatkan pelajaran selama ini, bahwa sikap mendustai publik atas nama pesan ideologi negara (Pancasila), mempermainkan orang kecil, atau ketidaksalehan sosial yang dilakukan oleh oknum aparat pemerintah tidak sedikit di antaranya yang membawa ongkos besar yang belum tentu mampu dibayar atau dilunasi oleh segenap komponen bangsa Indonesia. Pasalnya, penderitaan yang ditimbulkannya bercorak sistemik dan berlapis-lapis. Semuanya ini berelasi dengan 'watak serakah', yang mengakibatkan rakyat semakin kesulitan memperoleh hak hidup berkelayakan dan berkemanusiaan (berkeadaban).

Dalam paradigma tersebut, elite kekuasaan memang dipacu dan dipicu untuk jadi pemburu (oportunis) yang harus bisa memenangkan 'olimpiade' mengendarai dan mengemudikan kekuasaan atau jabatan. Meski, untuk kepentingan ini, berbagai bentuk cara harus dihalalkan atau diberi tempat liberal, termasuk menyingkirkan Pancasila, supaya segala targetnya bisa dipenuhi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar