Oma Irama, SARA,
dan Gubernur DKI
|
Tom Saptaatmaja ; Kolumnis;
Alumnus STFT Widya Sasana Malang dan Seminari
St Vincent De Paul
|
SINAR
HARAPAN, 16 Agustus 2012
Seratus tiga puluh lima juta
Penduduk Indonesia
Terdiri dari banyak suku-bangsa
Itulah Indonesia
Bhinneka Tunggal Ika
Lambang negara kita Indonesia
Walaupun bermacam-macam aliran
Tetapi satu tujuan.
Itulah sepenggal lirik lagu berjudul ”135
Juta” yang dinyanyikan Oma Irama. Lagu ini terkenal pada dekade 1970-an. Bila
semasa sebelum menjadi pendakwah, Bang Haji sudah menyanyikan lagu seperti di
atas, beliau pasti sungguh menyadari bahwa karakter Indonesia sejak sedari awal
memang beragam atau majemuk.
Kemajemukan bangsa kita ini di satu sisi
adalah sebuah karunia Sang Pencipta yang luar biasa. Namun, dari perspektif
sosiologi, kemajemukan yang ditandai dengan idiom SARA (suku, agama, ras dan
antargolongan) merupakan sesuatu yang gampang menimbulkan konflik relasi.
Sejak diproklamasikan Bung Karno dan Hatta
pada 17 Agustus 1945, berbagai konflik bernuansa SARA sudah sering kali
terjadi.
Pada era Orde Lama, ada banyak konflik besar
bermotif SARA seperti Pemberontakan DI-TII dan RMS. Pada era Orde Baru, isu
SARA malah dipakai oleh penguasa untuk menekan beberapa etnis. Etnis Tionghoa,
misalnya, begitu dipinggirkan karena semua hal terkait etnis ini dilarang
ditampilkan di ruang publik, entah itu bahasa Mandarin atau perayaan Imlek.
SARA menjadi sesuatu yang sensitif untuk
dibicarakan atau didiskusikan di ruang publik, seperti media massa. Di akhir
rezim Orde Baru, kita juga melihat Tragedi 13–15 Mei 1998 di Jakarta yang
menjadikan etnis Tionghoa sebagai sasaran.
Era Reformasi 1998, yang bertujuan membangun
kehidupan demokrasi di negeri ini, juga tak sepenuhnya bebas dari konflik
berbau SARA, seperti yang terjadi di Ambon atau Maluku sekitar 2000-an silam.
Pemilu (entah pileg, pilpres, atau pilkada),
yang menjadi pesta demokrasi, karena menjadi sarana mencari pemimpin, juga
kerap terjebak dalam sentiman berbau SARA. Selalu saja setiap hendak pilpres
atau pilgub misalnya, isu SARA dipakai sebagai senjata.
Tidak terkecuali di Pilgub DKI, yang putaran
keduanya akan digelar September mendatang. Yang jadi sasaran kampanye model ini
adalah pasangan Jokowi-Ahok, yang menang dalam putaran pertama. Kita tahu Ahok
beragama Kristen dan beretnis Tionghoa.
Nah, salah satu tertuduh yang dianggap
menyebarkan kampanye SARA adalah Oma Irama. Dalam sebuah ceramah keagamaan di
sebuah tempat ibadah, ia mengkhotbahkan agar tidak memilih pemimpin nonmuslim,
sebagaimana bisa dilihat dari videonya yang beredar luas di internet.
Namun, pada Minggu (12/8), Panwaslu
membebaskannya dari tuduhan menyebarkan kampanye SARA. Pembebasan ini menuai
protes keras di media-media sosial.
Sejarahlah yang akan menjadi hakim yang
adil atas kasus ini.
Masih dipakainya sentimen SARA dalam pilgub
Jakarta, jelas kurang baik untuk Jakarta yang begitu majemuk. Gubernur yang
memimpin Ibu kota, jelas seorang yang harus berjiwa kenegarawanan.
Artinya, kepentingan negara (dalam hal ini
DKI) harus dinomorsatukan, bukan hanya sekadar memprioritaskan kepentingan
golongan tertentu, taruhlah kelompok mayoritas, sehingga kelompok minoritas
diabaikan atau ditiadakan.
NU dan Pemimpin Nonmuslim
Sebenarnya, dalam kaidah demokrasi atau
Indonesia yang majemuk ini, dikotomi mayoritas-minoritas seharusnya tidak perlu
lagi dikedepankan. Seberapa pun kecilnya suatu kelompok suku, ras, agama atau
golongan di negeri ini, semua sebenarnya punya kontribusi.
Untuk itu, memang perlu komitmen setiap anak
bangsa untuk menjaga dan merawat Indonesia. Artinya, janganlah kita doyan
menebarkan kampanye hitam dengan memojokkan seseorang atau kelompok tertentu
berdasarkan alasan etnis atau agamanya.
Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama adalah sosok
yang paling sering dikambinghitamkan karena agama dan etnisnya terkait Pilgub
Jakarta. Padahal, ketika menjadi bupati Bangka Belitung, Ahok terbukti
berhasil.
Ahok berhasil karena kepemimpinannya memang
melayani rakyat yang terdiri dari beragam suku, ras, agama dan golongan. Ahok
tidak menunjukkan keberpihakannya pada agama Kristen atau etnisnya, karena
komitmennya adalah rakyat dan Indonesia yang majemuk.
Ahok sungguh punya jiwa kenegarawanan, baik
semasa jadi bupati Babel atau anggota DPR. Dia juga punya integritas, artinya
tidak korupsi. Bukankah rakyat sudah muak dengan pemimpin yang korup, meski dia
tampak suka memakai simbol-simbol agama? Rakyat yang cerdas tak akan memilih pemimpin
yang korup, yang hanya akan membusukkan bangsa dan membangkrutkan keuangan
negara.
Ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlathul
Ulama (NU), menyatakan, tidak ada masalah seorang nonmuslim menjadi gubernur
DKI Jakarta. "Keadilan bersama pemimpin nonmuslim jauh lebih baik daripada
kezaliman bersama pemimpin muslim sendiri," kata Ketua Umum PBNU KH Said
Aqil Siraj yang mengutip Ibnu Tamiyah dalam kitab Fiqh Khusyatah di Kantor
Pusat PBNU, Jakarta Pusat, (11/8).
Lagi pula, sudah bukan waktunya Jakarta yang
metropolitan dan multikultural mengedepankan calon pemimpin dengan aksentuasi
pertimbangan SARA. Itu hanya cocok di daerah-daerah yang masih belum maju dan
monokultur. Warga DKI dalam putaran kedua pasti sudah cerdas mau memilih
gubernur macam apa yang paling cocok sesuai kondisi sekarang hingga lima tahun
ke depan.
Apalagi dalam sejarah DKI, juga pernah
tercatat gubernur nonmuslim yang cukup berhasil memimpin DKI, yakni Henk
Ngantung, yang menjabat dari 27 Agustus 1964 hingga 15 Juli 1965.
Pancasila
Baik Ahok atau Henk terbukti mampu merangkul
semua golongan, karena untuk kemajemukan Jakarta atau bangsa ini, kita sudah
punya Pancasila dan UUD 1945.
Oleh karena itu, kita tidak boleh melupakan
Pancasila dan mukadimah UUD, yang menjadi landasan dasar bagi relasi sesama
anak bangsa dalam satu atap NKRI. Bagi seorang pemimpin, seperti gubernur
Jakarta, Pancasila dan UUD 1945 harus jadi pedomannya. Tak boleh gubernur DKI
memipin berdasarkan kepentingan yang berbau SARA.
Untuk itu, kita tak boleh melupakan Pancasila
atau UUD 1945, yang merupakan warisan berharga dari para pendiri bangsa.
Sayangnya, di era otonomi daerah, justru banyak perda atau regulasi yang
bertentangan dengan Pancasila dan mukadimah UUD 1945.
Gesekan berbau SARA gampang meledak karena
regulasi yang ada justru menomorsatukan kepentingan kelompok tertentu dan
meminggirkan kelompok lainnya.
Kita tentu ingat berbagai perda yang berbau
kepentingan agama tertentu, entah di pemda-pemda yang mayoritas warganya beragama
Islam seperti di Indonesia bagian barat atau di pemda-pemda yang mayoritas
warganya Kristen di Indonesia Timur.
Dengan demikian, pemimpin, seperti gubernur
DKI, harus dan wajib mengayomi semua golongan. Setiap warga negara, entah
beragama apa pun, dari etnis apa pun, harus diperlakukan sama.
Ajaran-ajaran mulia yang ada pada semua agama
harus dibuktikan dalam kehidupan nyata, sehingga Jakarta kian maju tetapi masih
tetap berwajah manusiawi serta menjadi rumah yang aman dan nyaman bagi para
warganya yang begitu beragam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar