Neraka
Hukum Kita
Donny Gahral Adian ; Dosen Filsafat Politik UI
KOMPAS,
02 Agustus 2012
Kita secara naif sering memandang hukum
sebagai sarang berbagai nilai ideal dan mulia. Hukum adalah rumah bagi
imparsialitas, persamaan, dan keadilan.
Dengan itu, hukum sering ditabrakkan dengan
politik. Politik adalah arena yang gaduh, dinamis, sarat kepentingan, dan
senjang. Kita sering mendengar ”serahkan saja pada hukum yang berlaku” atau
”biarkan hukum bekerja tanpa campur tangan politik”. Semua itu muntahan kekecewaan
terhadap politik sekaligus kerinduan terhadap hukum yang mulia dan stabil.
Padahal, politik dan hukum berdiam di dalam satu bejana yang sama. Tak
terpisahkan. Hukum bukan sekadar produk lembaga politik. Ia politik in optima
forma.
Senyawa Hukum-Politik
Hukum dan politik tak pernah bisa dipisahkan.
Setiap ucapan hukum pasti bernada politik. Demikian pula sebaliknya. Beberapa petinggi
Partai Demokrat, misalnya, terus mengingatkan KPK segera menuntaskan kasus yang
melibatkan ketua umumnya. Kelambanan proses hukum ditengarai punya muatan
politik untuk memerosotkan kredibilitas partai. Demikian pula setiap pejabat
politik yang terjerat korupsi pasti berkata ”kita serahkan saja pada proses
hukum yang ada”. Seolah hukum adalah eskapisme paling fair terhadap berbagai
tudingan politik yang menderanya. Hukum, ibarat neraka, medan purgatori paling
pas untuk menyelesaikan persoalan politik yang diderita seseorang.
Padahal, hukum tak selalu sebangun dengan
keadilan. Hukum hanya menjamin keadilan prosedural. Dia menjamin prosedur
terpenuhi. Sementara prosedur yang sesuai tak selalu melahirkan keadilan.
Korporat pencemar lingkungan dapat membiayai saksi ahli yang meringankan.
Prosedur kesaksian terpenuhi, rasa keadilan masyarakat tercederai. Seorang
pejabat dapat berkelit, ia bukan pemegang saham perusahaan yang tengah
bermasalah hukum. Bukti kepemilikan tak ditemukan. Namun, saban bulan sejumlah
dana diberikan perusahaan tunai kepadanya.
Keadilan dalam watak proseduralnya sangat
rentan dipermainkan mereka yang bermodal finansial ataupun politik. Kita sering
mendengar betapa hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas. Seolah politik seperti
membentengi diri dari tebasan pedang dewi keadilan. Padahal, pedang sang dewi
terbuat dari besi politik sehingga dia memilih siapa yang ditebas atau
dibiarkan berdasarkan pertimbangan politik. Kita hanya bisa urut dada
menyaksikan tarung politik berkedok hukum. Di balik kasus korupsi yang menimpa
politikus tersembunyi gesekan politik cukup keras. Acap kali kader partai
penguasa dijadikan tersangka setelahnya ada kader oposisi yang menyusul.
Saya tak menuduh KPK tersandera secara
politik. Namun, hukum tak dimainkan di ruang hampa politik. Sedikit banyak
pertimbangan politik diselundupkan diam-diam dalam setiap penetapan tersangka.
Ini bisa saja siasat atau strategi. Artinya, itu kembali membuktikan tak
terpisahkannya hukum dari politik. Kelekatan keduanya menciptakan kerinduan
utopis terhadap kemurnian hukum. Kita semua merindukan hukum tak dicemari logam
berat politik. Persoalannya, kerinduan itu justru memperkuat kenyataan tentang
persenyawaan hukum-politik. Ini pula yang membuat filsuf Derrida merumuskan
keadilan sebagai ”dia yang senantiasa berjalan setapak lebih jauh dari hukum”.
Hukum dan Pertarungan
Hukum bermuasal pada sesuatu yang politis.
Ini jangan dipahami bahwa hukum produk lembaga politik. Hukum dalam konteks ini
bertolak dari sebuah tindak alegal. Tindak alegal tak sama dengan ilegal. Ia
mempersoalkan batas antara legalitas dan ilegalitas itu sendiri. Tindak alegal
atau alegalitas adalah kritik terhadap tertib hukum yang sedang berlaku sebab
tertib hukum sering kali begitu jumud sehingga batas legalitas dan ilegalitas
perlu secara berkala dicurigai.
Hak asasi manusia lahir dari pertanyaan
kritis tentang legalitas kekuasaan dalam memperlakukan individu. Konsep
”gratifikasi” lahir dari pertanyaan tentang legalitas pemberian hadiah untuk
pejabat publik. Sewaktu Orde Baru demonstrasi dipersepsi sebagai ”gangguan
terhadap ketertiban umum” sehingga ilegal. Seusai Orde Baru, konstruksi
legal/ilegal yang mengikat tindakan demonstrasi pun didekonstruksi. Banyak
tindakan yang dulu dipersepsi sebagai legal kini jadi ilegal atau sebaliknya.
Semua itu membuktikan, hukum bermuasal dari
sebuah pertarungan politik antara pembangkang dan status quo, yang asing dan yang akrab, alternatif dan mainstream.
Kita sering terlena dengan hukum yang berlaku sehingga tak lagi terbuka pada
alternatif atau pilihan legalitas/ ilegalitas. Dengan kata lain, kita tak
membuka diri pada pertarungan alegalitas. Kita berlindung pada positivisme
hukum yang mengatur apa yang legal dan ilegal. Namun, kita tak pernah
mempersoalkan demarkasi legalitas/ilegalitas itu sendiri.
Kita memperlakukan hukum sebagai imortalitas
atau keabadian. Padahal, hukum adalah natalitas alias kelahiran yang
senantiasa. Transformasi hukum sebagai kelahiran perlu perjuangan politik.
Kita, misalnya, perlu mempersoalkan legalitas ormas yang melakukan kekerasan
secara terbuka terhadap minoritas, mempersoalkan apa yang saya sebut
”juridifikasi korupsi”. Berbagai pungutan oleh kepala daerah yang dipayungi
perda tak serta-merta membuatnya sesuatu yang legal. Pertarungan alegalitas
diperlukan saat hukum menjelma jadi pasal-pasal mati yang tak lagi punya denyut
keadilan. Saat hukum membela yang bayar, bukan yang benar. Saat apa yang legal
dan ilegal adalah fungsi dari modal politik dan finansial. Hukum tak boleh lagi
jadi neraka purgatoris bagi pencoleng
republik ini. Hukum harus mampu mendeteksi kekeliruan internalnya sehingga tak
lagi meloloskan para pencoleng.
Ini semua dilakukan dalam semangat
persenyawaan yang wajar dan sehat antara hukum dan politik. Yang terjadi bukan
infiltrasi irasionalitas politik terhadap rasionalitas hukum. Bukan pula invasi
kepentingan politik terhadap imparsialitas hukum, melainkan upaya menjaga
ketegangan politik yang inheren di dalam hukum itu sendiri. Ketegangan politik
yang selalu mempersoalkan batas legalitas/ilegalitas dalam tertib hukum. Ini
bisa dikerjakan sekarang juga. Hukum selaku neraka purgatoris harus memurnikan diri terus-menerus. Demi keadilan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar