Kamis, 09 Agustus 2012

Negeri Produsen Amnesia

Negeri Produsen Amnesia
M Bashori Muchsin ; Guru Besar dan Direktur Program Pascasarjana
Universitas Islam Malang
MEDIA INDONESIA, 09 Agustus 2012


DALAM Editorial Media Indonesia (7/8) disebutkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus mengasah taring. Satu per satu skandal korupsi diburu. Petinggi yang menggasak uang negara ditangkap. Lembaga negara yang tertutup dan terkesan angker didobrak. Kasus terakhir yang dibongkar KPK ialah dugaan korupsi di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Mabes Polri terkait dengan pengadaan simulator kemudi untuk kendaraan roda dua dan empat. Tidak tanggung-tanggung, KPK menetapkan dua jenderal aktif sekaligus sebagai tersangka. Proyek senilai Rp198 miliar itu diduga merugikan negara hingga Rp100 miliar.

Kita khawatir kasus Korlantas sengaja dipelihara untuk membenamkan kasus-kasus megakorupsi lain yang tengah disidik KPK. Jangan jadikan kasus Korlantas sebagai liang lahad untuk mengubur kasuskasus itu. Setumpuk kasus besar kini memang ditangani KPK. Sebut saja kasus proyek sport center Hambalang. Kasus itu bertaburan bintang para politikus Partai Demokrat. Ada nama Anas Urbaningrum, Menpora Andi Mallarangeng, dan mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional Joyo Winoto. Nama-nama itu sering disebut dalam kasus Hambalang.

Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya, pelaku kasus penyalahgunaan kekuasaan atau penyelingkuhan jabatan, yang menurut istilah Edwind Sutherland para pelaku kejahatan ‘kerah putih’ (white collar crime), telah menjadi ‘pelukis’ yang membuat wajah negeri ini menjadi semakin buruk rupa. Mereka telah membuat jagat Indonesia tak ubahnya sebagai sarang para penyamun elite yang giat menggali dan memapankan lubang yang menguntungkan mereka.

Akibat giatnya para penggali dan pemburu keuntungan di balik kekuasaan yang mereka duduki itu, yang disebut publik sebagai korupsi, kerugian bangsa dan negara ini berlaksa dan berlapis-lapis. Dari sudut kerugian keuangan secara makro saja, dalam beberapa tahun ini ada pakar yang mengestimasi sedikitnya Rp1.500 triliun uang negara sudah dicairkan atau dialamatkan ke kantong pribadi, kroni, dan partai.

Dengan diperparah kerugian sosial, budaya, pendidikan, agama, dan sektor-sektor strategis lainnya, korupsi telah menciptakan kompilasi dan komplikasi petaka nasional, seperti tragedi kemanusiaan, kemiskinan terus berlanjut, kelaparan di wilayah-wilayah pedalaman, pendidikan tak memihak golongan akar rumput (the grass root), citra dan kesakralan wajah agama tereduksi (seperti pada kasus korupsi pengadaan Alquran), dan banyaknya anak bangsa kehilangan hak hidup akibat kehabisan cadangan pangan.

Wajah negeri yang sengkarut akibat korupsi tak lepas dari ulah para koruptor yang terus saja `berkreasi' dalam memproduksi berbagai jenis dan model korupsi di mana-mana. Nyaris tidak ada lembaga strategis yang tidak terendus korupsi. Lembaga yang jadi pengemban amanat publik, yang seharusnya jadi pejuang di garis depan untuk melawan kejahatan atau jadi pionir dalam menggalakkan perlawanan terhadap kriminalitas elite, justru masih belum mampu menceraikan diri dari praktik-praktik kriminalitas elitis.

Ketika lembaga strategis yang diidealisasikan jadi pemberantas korupsi justru terlibat korupsi atau menjadi bagian dari wajah negeri yang semakin membenamkan diri dalam lingkaran korupsi-sedangkan di sisi lain para aktor struktural mulai jabatan kelas ke jabatan kelas kecil hingga terstrategis terus memproduksi korupsi--begitu mencuat ke permukaan suatu kasus korupsi besar, boleh jadi kasus itu tak lebih dari sekadar mengisi perlintasan sejarah politik penanggulangan korupsi yang digelorakan aparat penegak hukum, yang barangkali di dalam dirinya juga sedang mengidap kegamangan akibat korupsi yang bertali-temali ke berbagai jaringan.

Publik tidak boleh ikut terseret dalam kegamangan. Pasalnya, publik merupakan pemilik kedaulatan yang mempunyai fungsi kontrol untuk mengingatkan dan meluruskan perjalanan negara ketika elemennya banyak yang terseret masuk kubangan lumpur atau senang bercengkerama dengan `kemaksiatan kekuasaan'.

Kata Fudloli El-Hadi (2010), publik merupakan `malaikat' yang berkewajiban mengawal jalannya roda kekuasaan. Roda kekuasaan tidak boleh dibiarkan publik terus berjalan mengantarkan rakyat ke jurang kehancuran total. Elemen negara boleh jadi pelupa atau mengidap amnesia, tetapi hati dan pikiran publik wajib terus bercahaya demi keberlanjutan hidup bangsa dan negara.

Itu menunjukkan, ketika negara sedang `khilaf ' atau sengaja mengajak rakyat (publik) untuk jadi pengidap penyakit amnesia, rakyat wajib gigih melawannya; kecuali bila semangat rakyat atau pejuang-pejuang keadilan semakin temaram dan lebih memilih menikmati ulah elemen negara yang memproduksi amnesia.

Jika oknum elemen negara terus-menerus menggelontorkan atau memeratakan penyakit amnesia di tengah rakyat dengan cara memproduksi berbagai model korupsi dan cara mengamankannya, tidak terlalu salah jika pada saat tertentu rakyat menjatuhkan opsi bersikap apatis atau kehilangan semangat kritis untuk menyuarakan dan menggelorakan perlawanan terhadap koruptor.

Sebagai sampel, KPK memang telah menetapkan satu tersangka kasus Hambalang, yakni Deddy Kusdinar dari Kantor Kemenpora. Namun, Deddy disebut-sebut hanyalah kelas teri. Deddy tak banyak dikenal publik meski digolongkan sebagai anak tangga pertama untuk mengurai proyek Hambalang Gate yang menelan biaya Rp2,5 triliun. Bahkan bisa jadi, akibat pergeseran tipe, model, dan politik penanganan korupsi, publik dalam waktu tidak lama lagi akan terjangkit amnesia sehingga kasus Hambalang, termasuk nama Deddy yang tidak populer, akan terlupakan.

Kasus lain yang pernah mengundang opini nasional hingga internasional seperti kasus Bank Century juga semakin temaram, seolah antara rakyat dan aparat penegak hukum menemukan jalan sepakat untuk tidak menaikkannya ke permukaan. KPK, misalnya, belum juga menetapkan satu pun tersangka kasus dana talangan sebesar Rp6,7 triliun itu meski sudah dua tahun (berlalu sejak Pansus Century DPR) mengeluarkan rekomendasi bahwa Century bisa ditangani secara yuridis.

Dua kasus itu jauh lebih dahsyat bila dibandingkan dengan kasus korupsi yang menimpa aparat kepolisian. Namun jika dikembalikan ke wilayah ke terbatasan pikir manusia, logis kalau elemen negara mencoba memproduksi kasus baru yang dianggap mempunyai daya pe ngaruh publik yang sangat besar. Kasus korupsi di lingkung an Polri dinilai mampu menggeser wacana dan gugatan moral yang selama ini mengarah ke kasus yang diduga melibatkan politisi dan cenderung membawa ke anak tangga jalur lingkaran rezim strategis.

Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW memperingatkan, “Meratanya azab (musibah, bencana) adalah sesuai dengan meratanya kejahatan yang diperbuat manusia.” Peringatan itu mempertegas kedudukan pepatah ‘Menabur angin menuai badai’. Jika gampang membiarkan atau meliberalisasikan tangan (kekuasaan) di ranah kriminalisasi, termasuk dalam memproduksi amnesia di tengah kehidupan kemasyarakatan, manusia pastilah menuai dampak destruktifnya secara makro dan berkelanjutan. Kondisi ketidakberdayaan rakyat secara menyeluruh merupakan ‘ongkos’ yang ditanggung bangsa ini akibat kepiawaian koruptor dalam menciptakan banyak dan beragam instrumen yang membuat publik mengamnesiakannya.

Manusia dan negara ini sangat lah berpotensi dihancurkan perbuatan manusia sendiri yang tergoda jadi penyelingkuh kekuasaan. Tuhan hanya memberi jalan atas opsi sesat dan jahat. Manusia (penguasa) sudah diberi kemerdekaan untuk menjatuhkan pilihan, mau mengikuti dan memperbudak ambisi-ambisinya di jalur penghancuran sumber daya strategis bangsa atau jadi penyelamatnya.

Kalau jalur pengamnesiaan amanat yang dijadikan opsi, sedangkan negara membiarkan dan bahkan merestuinya, kehancuran hanyalah soal waktu. Keadilan yang menjadi dambaan publik akhirnya tak lebih sebagai nyanyian yang cepat berlalu di lidah aparat (negara) yang hanya fasih mengucapkan dan membahasakan kebenaran dan keadilan, tetapi dalam kenyataan hanya jadi pecundang karena mengajak rakyat bernyanyi ‘yang lalu biarlah berlalu’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar