Sabtu, 04 Agustus 2012

Menggugat Fungsi Anggaran


Menggugat Fungsi Anggaran
Reza Syawawi ; Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
KORAN TEMPO, 04 Agustus 2012

Anggaran sesungguhnya adalah "roh" suatu bangsa. Jika anggaran dikuasai oleh elite dan bukan oleh publik, maka benarlah bahwa kita sedang berproses menuju negara gagal (2012). Inisiatif "saweran" untuk pembangunan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, yang digagas kelompok masyarakat sipil, seharusnya menjadi momentum untuk melakukan peninjauan (review) terhadap fungsi anggaran (budgeting) yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat.

Gerakan ini hendaknya tidak sekadar gerakan untuk mengumpulkan sejumlah uang, tapi harus diarahkan pada gerakan politik yang lebih sistematis dan terukur.
Gerakan ini bukan dalam rangka "kudeta" publik atas kekuasaan negara yang sah, tapi lebih pada upaya untuk meluruskan kembali penggunaan fungsi-fungsi negara. Sebab, faktanya, keberadaan institusi negara justru memberangus tujuan dari pelaksanaan fungsi negara yang dimaksudkan.

Dalam konteks fungsi anggaran, terjadi penyimpangan pelaksanaan yang dilakukan oleh DPR terkait dengan pendanaan untuk pembangunan gedung KPK. Padahal alokasi anggaran untuk hal itu telah disetujui antara pemerintah dan DPR pada saat penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012.

Tafsir Sesat

Publik dalam konteks demokrasi adalah pemilik anggaran yang sesungguhnya karena APBN yang disusun dan disahkan setiap tahun itu bersumber dari publik yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Maka tidak ada satu pun klausul yang bisa dipakai untuk meniadakan hak publik atas anggaran, termasuk oleh DPR sekalipun.

Korupsi adalah masalah bagi publik karena korupsi telah meniadakan pelayanan publik yang berkualitas dan terjangkau. Maka menjadi sangat logis jika anggaran untuk pemberantasan korupsi harus dijadikan prioritas dalam pelaksanaan fungsi anggaran. 

Dalam prakteknya, DPR sebagai representasi publik atas kuasa anggaran ternyata bersuara lain. Anggaran untuk pembangunan gedung KPK yang telah dianggarkan dalam APBN 2012 dinyatakan tidak bisa dicairkan dengan alasan dan proses yang tidak lazim.
Dari sisi agenda pemberantasan korupsi, tentu saja kebijakan ini dianggap sebagai penghambat di tengah besarnya keinginan dan harapan publik kepada KPK. Dari sisi politik dan mekanisme anggaran, DPR secara nyata telah melakukan pelanggaran karena menghalang-halangi pemerintah untuk menjalankan UU APBN.

Apalagi upaya menghalangi ini dengan cara memberi tanda bintang yang sama sekali tidak diatur dalam undang-undang mana pun. Dari sisi kewenangan, DPR telah bertindak di luar kewenangannya karena mencampuri kewenangan lembaga lain. Karena pencairan anggaran pada prinsipnya berada dalam ranah kewenangan eksekutif. Tidak ada satu pun argumentasi yang bisa dijadikan alasan pembenar bagi DPR untuk menghalangi pelaksanaan undang-undang yang telah disepakati sebelumnya. Prinsipnya, sepanjang tidak ada perubahan terhadap UU APBN, sepanjang itu pulalah undang-undang tersebut harus dilaksanakan.

Jika merunut pada konstitusi, mekanisme kebijakan dan perubahan anggaran adalah inisiatif eksekutif. DPR, sebagai lembaga pengawas, hanya diberi mandat untuk didengarkan pertimbangan dan diminta persetujuannya. Maka menjadi sangat aneh ketika DPR justru tidak menyetujui pencairan anggaran yang ia sepakati sebelumnya.

Dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan, UU APBN akhirnya layak disebut sebagai undang-undang tidak taat asas. Menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, setidaknya terdapat 2 (dua) asas yang tidak dipatuhi oleh undang-undang ini, yaitu asas dapat dilaksanakan (pasal 5 huruf d) dan asas kedayagunaan dan kehasilgunaan (pasal 5 huruf e).

Asas tidak dapat dilaksanakan diartikan karena UU APBN tidak bisa dieksekusi karena intervensi politik DPR. Sementara dari sisi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan dimaksudkan untuk menegaskan bahwa keberadaan sebuah peraturan adalah untuk memenuhi kebutuhan dan bermanfaat bagi masyarakat. Maka, ketika pencairan anggaran pembangunan gedung KPK tidak dilakukan, dengan sendirinya undang-undang tersebut cacat secara hukum karena tidak taat asas.

Gugatan Publik

Kemandekan pelaksanaan APBN sesungguhnya berada dalam ranah politik, ada ruang politik yang sengaja "dimainkan" oleh elite untuk menghambat pelaksanaan APBN. Maka perlawanan publik juga harus dilakukan melalui jalur politik atau bahkan gugatan hukum (law action).

Perlawanan yang dilakukan saat ini masih berada dalam taraf perlawanan moral oleh publik. Ini sangat positif bagi gerakan sosial karena telah melibatkan semua kelompok masyarakat hingga ke daerah-daerah (Kompas, 3/7). Ini modal bagi publik untuk melakukan gerakan yang lebih sistematis dan terukur. Salah satunya melalui gerakan politik untuk tidak menjatuhkan pilihan politik bagi fraksi mana pun di DPR yang menolak pencairan anggaran ini. Ini penting agar partai politik belajar untuk bisa bertindak sebagai institusi yang mengagregasi kepentingan publik, bukan kepentingan elite.

Tahap selanjutnya adalah melakukan aksi politik untuk melakukan review atas kuasa anggaran yang terlalu besar dimiliki oleh DPR. Konteksnya adalah perubahan kebijakan untuk mengembalikan kuasa anggaran sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi. Jika ini tidak juga mengubah posisi politik anggaran yang lebih pro-publik dan pro-pemberantasan korupsi, maka gugatan hukum adalah sebuah keharusan.

Publik dalam konteks ini memiliki kedudukan hukum (legal standing) yang sangat kuat karena berkontribusi besar dalam menunjang APBN melalui pajak. Semua langkah ini sudah semestinya dilakukan agar lebih berdampak ke depan (sustainability). Tidak menjadi persoalan ketika semua energi politik publik terkuras saat ini tetapi ke depan akan sangat berdampak positif. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar