Kamis, 02 Agustus 2012

Melawan Informalitas Ekonom


Melawan Informalitas Ekonom
Ecky Awal Mucharam ; Anggota Komisi XI DPR RI
REPUBLIKA, 01 Agustus 2012

Sektor informal selama ini dipuja sebagai penyelamat saat Indonesia menghadapi krisis ekonomi. Saat sektor formal tumbang, sektor informal mampu bertahan dan memberi pekerjaan bagi jutaan orang. Namun, yang perlu diingat, sektor informal hanyalah sekoci dan tidak bisa dijadikan kapal utama perekonomian kita.

Sekoci terlalu kecil dan rentan untuk perjalanan panjang dan penuh gejolak. Saat krisis berlalu dan ekonomi berkembang, diharapkan sektor informal bertransformasi dan memformalkan diri. Aset masyarakat berupa tanah, properti, dan bisnis penting untuk diformalisasi. Usaha kecil bukan berarti harus informal.

Urgensi Formalisasi

Property rights (hak milik) adalah salah satu konsep utama dalam sistem ekonomi pasar. Informalitas adalah kondisi ketika aset individu tidak diakui secara legal-formal. Menurut Hernando de Soto, ekonom Peru, dalam bukunya The Mistery of Capital, informalitas akan menyebabkan aset menjadi mati (dead capital). Menurut de Soto, orang miskin sebetulnya memiliki banyak kapital, namun karena berada di luar hukum maka tidak bisa diberdayakan.

Contohnya, tanah dan bangunan yang dimiliki tidak dapat dijual dengan harga pantas atau tidak bisa diagunkan ke bank karena tidak besertifikat. Akibatnya, akses orang miskin terhadap dana publik terputus kepada kelompok informal ini, padahal dana publik adalah sumber modal utama dalam perekonomian modern, baik lewat perbankan atau pasar modal. Usaha pemerintah lewat program Kredit Usaha Rakyat (KUR) sebenarnya adalah bagian dari upaya membuka akses usaha kecil kepada perbankan.

Menurut data tahun 2000-2003, usaha mikro dan kecil merupakan kelompok yang paling rendah menyerap investasi. Dari total realisasi investasi, yang masuk ke usaha mikro dan kecil hanya sebesar 18,58 persen, sementara usaha menengah 23,05 persen, dan usaha besar 58,37 persen.

Rendahnya penyerapan investasi pada usaha mikro dan kecil merupakan indikasi rendahnya kemampuan kelompok ini dalam mengakses modal. Terbatasnya akses terhadap modal menyebabkan usaha mikro dan kecil berkonsentrasi pada sector padat karya.

Konsekuensi padat karya adalah teknologi yang rendah sehingga menghasilkan produktivitas yang rendah pula. Padahal, pada periode tersebut usaha mikro dan kecil menciptakan 7,4 juta lapangan kerja baru, sementara usaha menengah 1,2 juta lapangan kerja dan usaha besar hanya 55.760 lapangan kerja.

Selain itu, tidak diakuinya aset orang miskin membuat negara kehilangan akses untuk menarik pajak, akibatnya barang publik yang disediakan oleh uang pajak juga berkurang. Jadi, secara keseluruhan informalitas ekonomi membuat kualitas kesejahteraan masyarakat menurun.

Bukan hanya aset yang informal, manusianya sendiri bisa informal. Masih banyak orang miskin yang tidak memiliki Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP), dan catatan kependudukan lainnya. Hal ini membuat akses orang miskin terhadap berbagai program dan bantuan pemerintah terputus, karena seluruh program pemerintah pasti berdasarkan data kependudukan, missal nya, Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Maka, memerangi informalitas dalam masyarakat sejatinya adalah memerangi kemiskinan.

Pemicu Konflik

Selain memutus akses masyarakat terhadap dana publik dan berbagai program 
pemerintah, informalitas juga rentan menimbulkan konflik di masyarakat. Yang paling sering dan selalu berulang adalah konflik agraria dan sengketa properti. Berbagai konflik ini sering kali berdarah dan menimbulkan korban jiwa. Hal ini tentu sangat disayangkan. Ketidakjelasan soal hak milik ini sudah sampai tahap yang bukan hanya mengganggu ekonomi, tapi juga sosial dan keamanan masyarakat.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sendiri mengatakan bahwa saat ini sengketa tanah merupakan salah satu kasus yang paling sering mereka tangani. Yang mengherankan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) sendiri  mengatakan bahwa memiliki sertifikat tanah tidak menjamin pemiliknya bakal terbebas dari tuntutan pihak ketiga. Iklim ketidakpastian kepemilikan lahan ini tentu tidak sehat bagi perkembangan ekonomi masyarakat.

Berdasarkan data UNDP, di Indonesia saat ini terdapat 85 juta bidang tanah. Dari jumlah itu baru sekitar 24 juta bidang yang disertifikasi atau sekitar 30 persen. Dibandingkan dengan Filipina yang mencapai 60 persen atau Thailand yang sudah hampir 100 persen tentu kondisi Indonesia sangat memprihatinkan. Dengan kata lain, sekitar 70 per sen tanah di Indonesia tidak bisa dijadikan modal, dan bisa juga disebut sebagai dead capital.

Masalah Birokrasi

Masalah informalitas selalu berbarengan dengan buruknya kinerja birokrasi. Biasanya masyarakat enggan mengurus dokumen karena prosesnya berbelit-belit dan biayanya mahal. Di negara-negara yang birokrasinya buruk, cost of doing business meningkat dan menyebabkan usaha yang tumbuh di negara itu cenderung ilegal.

Dalam rangking kemudahan berbisnis yang dikeluarkan oleh Bank Dunia, dalam beberapa tahun terakhir posisi Indonesia masih di atas 100, yang artinya masih buruk. Salah satu aspek yang dinilai adalah registering property, ini masih dinilai buruk. Tidak heran jika konflik tanah dan properti selalu berulang. Jadi, memerangi informalitas, berarti memerangi kemiskinan. Dan hal ini bisa dicapai jika ada perbaikan pada kualitas pelayanan birokrasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar