Rabu, 15 Agustus 2012

Malangnya Rohingya


Malangnya Rohingya
Saharuddin Daming ; Komisioner Komnas HAM
REPUBLIKA,  14 Agustus 2012


Dalam catatan sejarah peradaban modern, istilah holocaust lekat sekali dengan rezim Nazi Jerman yang pernah menaklukkan sebagian besar Eropa. Melalui kebijakan negara yang berbau rasialis, antiagama, dan monoideologi. Adolf Hitler adalah tokoh sentral di balik semua itu.

Holocaust di zaman modern dilakukan dengan pembatasan hingga penghilangan hak sipil, pengusiran paksa, penyiksaan, pemerkosaan, perampasan atau perusakan properti, hingga pembunuhan massal dengan tujuan pemusnahan atau pembersihan kelompok manusia atas dasar bangsa, ras, suku, dan agama. Peristiwa Holocaust yang tercatat sebagai sejarah hitam peradaban pada awal abad ke-20 ternyata terus berputar.

Selain Nazi Jerman, Holocaust pada akhir abad ke-20 juga pernah menimpa jutaan penduduk sipil di Kamboja oleh Khmer Merah maupun Bosnia oleh Ultra Nasionalis Serbia serta suku Tutsi dan Hutu oleh Interahamwe di Rwanda dan lain-lain. Dalam dekade pertama abad ke-21, peristiwa serupa kembali terjadi dan menimpa Muslim Rohingya di Myanmar.

Betapa tidak karena sejak mendiami Arakan yang sekarang bernama Rakhine di Myanmar, lebih dari empat generasi, eksistensi Rohingya ditolak oleh penguasa maupun etnis mayoritas di Myanmar. Mereka menebar kebencian kepada kaum Rohingya, selain karena label illegal citizen juga karena perbedaan budaya, agama, dan ciri fisik.

Akibatnya, kaum Rohingya mengalami serangkaian penindasan dan kezaliman yang lebih tepat disebut holocaust secara beruntun dari kaum pribumi maupun oleh penguasa. Tidak heran jika jumlah mereka yang semula tercatat delapan juta jiwa, kini tinggal sekitar 800 ribu jiwa. Sudah termasuk mereka yang bermukim di luar Myanmar.

Selain musnah akibat holocaust secara sistematis dan meluas, sebagian dari mereka terpaksa melarikan diri keluar dari tanah kelahirannya dan tinggal secara berpencar di beberapa negara dengan status pengungsi. Beberapa kelompok di antara mereka yang bermaksud mengungsi mencari suaka di Australia, justru menjadi korban eksploitasi dan penipuan oleh segelintir oknum yang tak sedikit pun merasa miris dengan penderitaan bertubi-tubi kaum Rohingya. Akibatnya, mereka banyak yang telantar di NTT, NTB, dan tempat-tempat lain, sebagian lagi tewas tenggelam di lautan.

Namun, hal yang sangat disesalkan adalah pernyataan Presiden SBY dan Ketua DPR RI Marzuki Alie yang menyimpulkan bahwa tidak ada genosida kaum Rohingya di Myanmar. Pernyataan ini tentu sangat melukai hati kaum Rohingya. Karena berdasarkan hasil konferensi pers Thomas Ojea Quintana (pelapor khusus PBB) yang ditugaskan untuk memantau kondisi masyarakat Rohingya pascakerusuhan massal 28 Mei 2012, terdapat indikasi kuat terjadinya pelanggaran HAM serius terhadap Muslim Rohingya.

Hal ini diperkuat juga oleh pernyataan Presiden Myanmar U Thein Sein kepada Antonio Guterres (kepala UNHCR) bahwa etnis Rohingya harus enyah dari Myanmar karena ia tidak termasuk bangsa Myanmar. Semua ini menjadi bukti keterlibatan penguasa sebagai penebar kebencian kepada Muslim Rohingya.

Pemberitaan resmi Pemerintah Myanmar, memang hanya mendeskripsikan peristiwa holocaust Rohingya sebagai kerusuhan komunal. Meski hal ini faktual, penindasan dalam bentuk holocaust kepada kaum Rohingya sudah terjadi sejak Myanmar merdeka. 

Sayangnya, peristiwa holocaust dimaksud dikaburkan dan dilokalisasi sebagai kerusuhan 
komunal. Ini dapat dimengerti karena rezim yang terindikasi sebagai aktor pelanggaran HAM, tentu berupaya membela diri dan tak mungkin mengekspose aib sendiri.

Ketika masih berlangsung perang Balkan yang berujung pada tindakan genosida terhadap ribuan Muslim Bosnia, pemimpin Ultra Nasionalis Serbia, seperti Slobodan Milosevic, juga menyangkal tuduhan holocaust dilakukan pihaknya. Bahkan, Radovan Karadzic dan Ratko Mladic selaku otak holocaust atas Muslim Bosnia mengaku telah membagikan naskah Deklarasi Universal HAM dan Konvensi Jenewa kepada semua pasukannya agar tidak melanggar HAM.

Hal itu kemudian menjadi terang ketika mereka tampil di depan pengadilan Tribunal di Den Haag, Belanda. Semua itu hanyalah alibi yang sengaja mereka ciptakan untuk mengesankan mata dunia bahwa pihaknya tidak melakukan pelanggaran HAM. 

Bagaimanapun, sederhananya pelaku kriminal sekelas pencuri ayam saja tak ada yang mau mengakui kesalahannya secara gentlement, apalagi jika tuduhan itu tertuju pada petinggi negara dengan tuduhan genosida alias holocaust terhadap Muslim Rohingya. Mereka pasti menggunakan segala macam cara untuk men-counter semua tuduhan karena ini menyangkut harkat dan martabat negara dan bangsanya.

Derita Panjang

Untuk mengetahui adanya benang merah pada dugaan genosida terhadap Muslim Rohingya di Myanmar, selain tentu mengacu pada hasil temuan fakta empiris dari tim penyelidikan kasus ini oleh PBB, kita juga perlu menghubungkan hal itu dengan sejarah panjang junta militer yang berkuasa di Myanmar. Dalam lembaran sejarah dicatat bahwa Myanmar yang lahir dan tumbuh sebagai negara merdeka dari Inggris, dilatarbelakangi oleh konflik etnis dan agama yang diperparah dengan keterlibatan elite militer.

Sejak Jenderal Ne Win (panglima angkatan bersenjata) mengambil alih kekuasaan pada 1958-1960 dari tangan sipil, ia memerintah Myanmar dengan tangan besi. Melalui junta militer yang dipimpinnya dengan nama The State Peace and Development Council (SPDC) yang kemudian berganti nama menjadi State Law and Order Restoration Council (SLORC), Myanmar dinyatakan tertutup dari dunia luar. Pemerintah junta militer terbiasa dengan tindakan represif.

Tidak heran jika Rohingya yang ditolak keberadaannya sejak semula di Myanmar, sungguh telah mengalami penindasan dalam bentuk holocaust lebih dari lima dekade. Hal ini telah melanggar statuta Roma 1998, khususnya Pasal 6 tentang genosida dan Pasal 7 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan. Karena itu, sudah tiba waktunya dunia mendesak international criminal court agar segera memulai rangkaian penegakan hukum dan keadilan terhadap kasus ini.

Selanjutnya, dibentuk peace keeping force untuk memulihkan eksistensi dan martabat Rohingya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar