Malangnya
Rohingya
|
Saharuddin Daming ; Komisioner Komnas
HAM
|
REPUBLIKA,
14 Agustus 2012
Dalam catatan sejarah peradaban modern, istilah holocaust lekat sekali dengan rezim Nazi
Jerman yang pernah menaklukkan sebagian besar Eropa. Melalui kebijakan negara
yang berbau rasialis, antiagama, dan monoideologi. Adolf Hitler adalah tokoh
sentral di balik semua itu.
Holocaust di zaman modern dilakukan dengan pembatasan hingga
penghilangan hak sipil, pengusiran paksa, penyiksaan, pemerkosaan, perampasan
atau perusakan properti, hingga pembunuhan massal dengan tujuan pemusnahan atau
pembersihan kelompok manusia atas dasar bangsa, ras, suku, dan agama. Peristiwa Holocaust yang tercatat sebagai sejarah
hitam peradaban pada awal abad ke-20 ternyata terus berputar.
Selain Nazi Jerman, Holocaust
pada akhir abad ke-20 juga pernah menimpa jutaan penduduk sipil di Kamboja
oleh Khmer Merah maupun Bosnia oleh Ultra Nasionalis Serbia serta suku Tutsi
dan Hutu oleh Interahamwe di Rwanda dan lain-lain. Dalam dekade pertama abad
ke-21, peristiwa serupa kembali terjadi dan menimpa Muslim Rohingya di Myanmar.
Betapa tidak karena sejak mendiami Arakan yang sekarang bernama
Rakhine di Myanmar, lebih dari empat generasi, eksistensi Rohingya ditolak oleh
penguasa maupun etnis mayoritas di Myanmar. Mereka menebar kebencian kepada
kaum Rohingya, selain karena label illegal
citizen juga karena perbedaan budaya, agama, dan ciri fisik.
Akibatnya, kaum Rohingya mengalami serangkaian penindasan dan
kezaliman yang lebih tepat disebut holocaust
secara beruntun dari kaum pribumi maupun oleh penguasa. Tidak heran jika
jumlah mereka yang semula tercatat delapan juta jiwa, kini tinggal sekitar 800
ribu jiwa. Sudah termasuk mereka yang bermukim di luar Myanmar.
Selain musnah akibat holocaust
secara sistematis dan meluas, sebagian dari mereka terpaksa melarikan diri
keluar dari tanah kelahirannya dan tinggal secara berpencar di beberapa negara
dengan status pengungsi. Beberapa kelompok di antara mereka yang bermaksud
mengungsi mencari suaka di Australia, justru menjadi korban eksploitasi dan
penipuan oleh segelintir oknum yang tak sedikit pun merasa miris dengan
penderitaan bertubi-tubi kaum Rohingya. Akibatnya, mereka banyak yang telantar
di NTT, NTB, dan tempat-tempat lain, sebagian lagi tewas tenggelam di lautan.
Namun, hal yang sangat disesalkan adalah pernyataan Presiden SBY dan Ketua
DPR RI Marzuki Alie yang menyimpulkan bahwa tidak ada genosida kaum Rohingya di
Myanmar. Pernyataan ini tentu
sangat melukai hati kaum Rohingya. Karena berdasarkan hasil konferensi
pers Thomas Ojea Quintana (pelapor khusus PBB) yang ditugaskan untuk memantau
kondisi masyarakat Rohingya pascakerusuhan massal 28 Mei 2012, terdapat indikasi kuat terjadinya
pelanggaran HAM serius terhadap Muslim Rohingya.
Hal ini diperkuat juga oleh pernyataan Presiden Myanmar U Thein
Sein kepada Antonio Guterres (kepala UNHCR) bahwa etnis Rohingya harus enyah
dari Myanmar karena ia tidak termasuk bangsa Myanmar. Semua ini menjadi bukti
keterlibatan penguasa sebagai penebar kebencian kepada Muslim Rohingya.
Pemberitaan resmi Pemerintah Myanmar, memang hanya mendeskripsikan
peristiwa holocaust Rohingya sebagai
kerusuhan komunal. Meski hal ini faktual, penindasan dalam bentuk holocaust kepada kaum Rohingya sudah
terjadi sejak Myanmar merdeka.
Sayangnya, peristiwa holocaust
dimaksud dikaburkan dan dilokalisasi sebagai kerusuhan
komunal. Ini dapat dimengerti
karena rezim yang terindikasi sebagai aktor pelanggaran HAM, tentu berupaya
membela diri dan tak mungkin mengekspose aib sendiri.
Ketika masih berlangsung perang Balkan yang berujung pada tindakan
genosida terhadap ribuan Muslim Bosnia, pemimpin Ultra Nasionalis Serbia,
seperti Slobodan Milosevic, juga menyangkal tuduhan holocaust dilakukan pihaknya. Bahkan, Radovan Karadzic dan Ratko
Mladic selaku otak holocaust atas
Muslim Bosnia mengaku telah membagikan naskah Deklarasi Universal HAM dan
Konvensi Jenewa kepada semua pasukannya agar tidak melanggar HAM.
Hal itu kemudian menjadi terang ketika mereka tampil di depan
pengadilan Tribunal di Den Haag, Belanda. Semua itu hanyalah alibi yang sengaja
mereka ciptakan untuk mengesankan mata dunia bahwa pihaknya tidak melakukan
pelanggaran HAM.
Bagaimanapun, sederhananya pelaku kriminal sekelas pencuri
ayam saja tak ada yang mau mengakui kesalahannya secara gentlement, apalagi jika tuduhan itu tertuju pada petinggi negara
dengan tuduhan genosida alias holocaust terhadap Muslim Rohingya. Mereka pasti
menggunakan segala macam cara untuk men-counter
semua tuduhan karena ini menyangkut harkat dan martabat negara dan
bangsanya.
Derita Panjang
Untuk mengetahui adanya benang merah pada dugaan genosida terhadap
Muslim Rohingya di Myanmar, selain tentu mengacu pada hasil temuan fakta
empiris dari tim penyelidikan kasus ini oleh PBB, kita juga perlu menghubungkan
hal itu dengan sejarah panjang junta militer yang berkuasa di Myanmar. Dalam
lembaran sejarah dicatat bahwa Myanmar yang lahir dan tumbuh sebagai negara
merdeka dari Inggris, dilatarbelakangi oleh konflik etnis dan agama yang
diperparah dengan keterlibatan elite militer.
Sejak Jenderal Ne Win (panglima angkatan bersenjata) mengambil
alih kekuasaan pada 1958-1960 dari tangan sipil, ia memerintah Myanmar dengan
tangan besi. Melalui junta militer yang dipimpinnya dengan nama The State Peace and Development Council (SPDC)
yang kemudian berganti nama menjadi State
Law and Order Restoration Council (SLORC), Myanmar dinyatakan tertutup dari
dunia luar. Pemerintah junta militer terbiasa dengan tindakan represif.
Tidak heran jika Rohingya yang ditolak keberadaannya sejak semula di Myanmar, sungguh telah mengalami penindasan dalam bentuk holocaust lebih dari lima dekade. Hal ini telah melanggar statuta Roma 1998, khususnya Pasal 6
tentang genosida dan Pasal 7 tentang kejahatan terhadap kemanusiaan. Karena
itu, sudah tiba waktunya
dunia mendesak international criminal
court agar segera memulai rangkaian penegakan hukum dan keadilan terhadap
kasus ini.
Selanjutnya, dibentuk peace
keeping force untuk memulihkan eksistensi dan martabat Rohingya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar