Rabu, 08 Agustus 2012

Langkah Keliru Polri

Langkah Keliru Polri
Hifdzil Alim ; Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM
SUARA MERDEKA, 08 Agustus 2012

POLRI ngotot untuk menyidik dugaan kasus pengadaan alat simulasi kemudi untuk pengurusan surat izin mengemudi (SIM), meski kasus ini sudah ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Polri merasa lebih berwenang menyidik ketimbang KPK karena menganggap lebih dulu memeriksa. Apabila KPK tetap memeriksa kasus itu, Polri mengancam memolisikannya. Polri meminta menyerahkan beberapa dokumen barang bukti yang sebelumnya dibawa KPK setelah menggeledah markas Korps Lalu Lintas (Korlantas). Jika KPK menolak, Polri akan menggunakan Pasal 21 KUHAPuntuk menjeratnya (SM, 04/08/12).

Polri yakin langkahnya mengancam KPK dengan menggunakan Pasal 21 KUHAP sudah benar. Namun, apakah keyakinan langkah itu tepat? Pasal 21 KUHAPterdiri atas 5 ayat. Setelah membaca, akan ada banyak skema yang digunakan Polri dalam menjerat KPK. Sebagai ilustrasi, saya memilih dua skema penerapan pasal yang kemungkinan dipakai Polri. Pertama; Polri akan menggunakan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP yang ketentuannya berbunyi, ’’Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak, atau menghilangkan barang bukti dan/atau mengulangi tindak pidana’’.

Dengan menggunakan pendekatan tafsir gramatikal didapatkan bahwa Pasal 21 Ayat (1) KUHAP memuat tiga rumusan. Pertama; penahanan atau penahanan lanjutan dikenakan kepada tersangka atau terdakwa. Kedua; ada bukti yang cukup terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa. Ketiga; terdapat tiga klausul keadaan, yakni tersangka atau terdakwa melarikan diri; merusak atau menghilangkan barang bukti; dan/atau akan mengulangi tindak pidana. Agaknya skema Pasal 21 Ayat (1) KUHAP akan susah diterapkan sebab tiga rumusan dalam pasal itu sama sekali tidak ada di sisi KPK.

Lembaga antikorupsi tersebut bukan dalam kapasitas sebagai tersangka atau terdakwa. Kemudian, belum ada bukti permulaan yang cukup yang bisa digunakan sebagai dalih bahwa KPK melakukan tindak pidana. Terakhir, KPK juga tidak akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan/ atau melakukan tindak pidana sama. Pasalnya, memang tidak ada tindak pidana yang dilakukan KPK untuk memenuhi rumusan Pasal 21 Ayat (1) KUHAP. Pendek kata, Polri akan sangat kesulitan menjerat KPK.

Susah Diterapkan Skema kedua yang saya pilih adalah dengan menerapkan Pasal 21 Ayat (4) Huruf b KUHAP yang salah satunya memuat ketentuan Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan bunyi sebagai berikut, ’’Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak Rp 900.’’

Pasal 372 KUHP setidaknya memuat empat rumusan. Pertama; barang siapa. Kedua; melawan hukum dengan sengaja. Ketiga; memiliki barang sebagian atau seluruhnya yang kepunyaan orang lain. Keempat; barang yang ada dalam kekuasaan bukan karena kejahatan.

Sepertinya skema ini juga tetap susah diterapkan. Meski rumusan pertama dan keempat dari pasal 372 KUHP mudah terpenuhi, rumusan kedua dan ketiga sulit menemukan tempatnya. Dalam menggeledah kantor Korlantas, KPK tidak sedang melawan hukum. KPK yang diatur dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 memiliki tugas, wewenang, dan tanggung jawab memberantas korupsi. Penggeledahan adalah bagian dari tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan tersebut.

Lagi pula dokumen yang dibawa KPK dari markas Korlantas tidak akan dimiliki KPK. Beberapa dokumen tersebut hanya digunakan untuk membuat terang tindak pidana korupsi dan menyusun pembuktian. Ketika proses peradilan kasus korupsi sudah selesai, dan dengan perintah pengadilan, KPK akan mengembalikannya kepada pemilik dokumen sebelumnya.

Dengan dua skema tersebut, jika Polri tetap ngotot memolisikan KPK maka Polri senyatanya sedang menderukan langkah keliru. Paling buruk lagi, Polri akan dicap sebagai lembaga yang antipemberantasan korupsi karena menghambat penyidikan KPK.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar