Senin, 06 Agustus 2012

Laba Bank Melaju, Apa Manfaatnya?

Laba Bank Melaju, Apa Manfaatnya?
A Tony Prasetiantono ; Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
KOMPAS, 06 Agustus 2012


Bank-bank besar nasional pekan lalu mengumumkan kenaikan laba semester pertamanya secara signifikan. Bank Rakyat Indonesia (BRI) mencatat rekor laba tertinggi Rp 8,6 triliun (periode yang sama tahun lalu Rp 6,79 triliun), laba Bank Mandiri Rp 7,1 triliun (sebelumnya Rp 6,3 triliun), laba BCA Rp 5,3 triliun (sebelumnya Rp 4,79 triliun), dan laba BNI Rp 3,29 triliun (sebelumnya Rp 2,73 triliun).

Kinerja bank juga impresif dari indikator lain. Ekspansi kredit BCA dan Bank Permata, misalnya, sama-sama melejit hingga 41 persen. Ini sangat tinggi karena rata-rata industri hanya 28 persen.

Kinerja bagus ini terjadi saat perekonomian global dilanda krisis zona euro. Sementara itu, skandal pengaturan London Interbank Offered Rate (LIBOR)—atau suku bunga antarbank di London yang biasa dipakai acuan untuk transaksi, misalnya kredit komersial, perumahan, termasuk derivatif— membuat situasi kian runyam.

Bayangkan, setidaknya ada tiga bank besar yang terlibat intens, yakni Barclays, Royal Bank of Scotland (RBS), dan UBS AG Swiss (Reuters, 28/7/2012). Secara keseluruhan, ada 20 bank terlibat, termasuk nama-nama besar Citigroup, Bank of America, JP Morgan, HSBC, Deutsche Bank, dan Credit Suisse (Forbes, 26/7/2012).

Manipulasi ini dilakukan sejak tahun 2007, yang tentunya memberikan keuntungan kepada bank-bank komersial dan investasi tersebut. Suku bunga LIBOR secara sengaja diklaim lebih rendah daripada semestinya sehingga ada margin yang menguntungkan. Sebaliknya, para investor finansial mengalami kerugian. Menurut estimasi koran USA Today (18/7/2012), transaksi yang berkaitan dengan LIBOR mencapai 350 triliun-800 triliun dollar AS. Sungguh fantastis, ekuivalen dengan belanja Amerika Serikat minimal 100 tahun! Sedangkan nilai kerugiannya, ada yang mengestimasikannya 1,5 triliun dollar AS (US News, 23/7/2012).

Betapa kontrasnya situasi ini. Di satu sisi, bank-bank di Eropa dan AS sedang dicekam krisis kredibilitas yang serius. Di sisi lain, industri perbankan Indonesia terus melanjutkan tren positifnya. Ekspansi dan laba bank yang besar pada semester I-2012 itu sesungguhnya hasil dari agresivitas bank-bank dalam menggarap segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Segmen ini memang masih terbuka sangat luas, terbukti dari keberadaan dan fenomena sektor finansial informal (shadow banking) yang masih sangat besar. Masih banyak penduduk yang tidak terjangkau bank umum dan BPR karena alasan persyaratan administrasi (tidak bankable) dan alasan geografis (lokasi yang tak terjangkau bank).

Hasil eksposur bank-bank di wilayah UMKM ini adalah terjadinya lagi kenaikan net interest margin (NIM). Bank yang paling tebal NIM-nya adalah Bank Tabungan Pensiunan Nasional (BTPN) dengan 12,85 persen (tahun lalu 12,76 persen). Sementara BRI yang fokus di UMKM justru NIM-nya turun dari 9,88 persen menjadi 8,94 persen. Penurunan ini diduga disebabkan oleh agresivitas BRI ke segmen yang non-UMKM, misalnya kredit komersial dan kredit korporasi. Pada segmen ini, NIM memang jauh lebih tipis daripada segmen UMKM.

Ada dua hal sisi positif dari membaiknya kinerja bank. Pertama, bank menjadi kian solid. Seiring dengan kinerja membaik, para pemilik bank juga rajin menyuntikkan modal tambahan. Akibatnya, rasio kecukupan modal (CAR) per Mei 2012 mencapai 17,87 persen, berasal dari modal Rp 463,1 triliun dan aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) sebesar Rp 2.591 triliun. Angka ini memang sedikit menurun dari bulan sebelumnya yang 17,97 persen, tetapi masih lebih tinggi dari posisi yang sama tahun 2011 sebesar 16,96 persen.

Dengan CAR yang makin tebal, industri perbankan menjadi lebih siap menghadapi terpaan krisis. Saat krisis global tahun 2008-2009, perbankan Indonesia terbukti tetap baik. CAR yang tinggi ibarat mesin mobil ber-cc besar yang harus mengarungi jalan bergelombang. Kuatnya permodalan menjadi instrumen peredam gejolak atau krisis (mitigasi risiko).

Kedua, eksposur bank di UMKM sangat besar, artinya kian banyak pelaku ekonomi skala kecil yang terakses bank, baik lewat kredit langsung maupun melalui BPR (linkage program). Implikasinya, para pelaku shadow banking mulai menghadapi persaingan yang lebih ketat melawan industri perbankan formal. Tensi kompetisi tinggi akan menyebabkan penurunan suku bunga.

Namun, masalahnya, semua hal itu tidak mungkin bisa terjadi secara instan. Suku bunga UMKM tidak bisa serta-merta turun cepat kendati BI Rate sudah terus diupayakan turun hingga kini 5,75 persen.

Beberapa hal menjadi pekerjaan rumah bank-bank. Pertama, setelah eksposur UMKM kian meningkat, bank mestinya juga mulai menggarap segmen korporasi, termasuk infrastruktur. Segmen ini bercirikan skala usaha besar (di atas Rp 250 triliun), tetapi suku bunganya rendah. Bank-bank BUMN perlu terus didorong untuk berpihak kepada pembangunan, serta mengajak bank-bank swasta dalam konsorsium.

Kedua, bank-bank besar harus memanfaatkan momentum menguatnya kinerja ini untuk melakukan akuisisi atas bank-bank kecil. Sudah lama disadari bahwa ada 120 bank di Indonesia terlalu banyak. Dalam industri perbankan, ukuran (size) bank sangat berkorelasi dengan efisiensi. Semakin besar skala bank, semakin efisien dan kompetitif (economies of scale). Karena itu, bank-bank kecil didorong berkonsolidasi dengan bank-bank lainnya. Misalnya dengan ada hanya 70 bank, upaya penurunan suku bunga bakal lebih mudah.

Ketiga, bank-bank agar kian pintar dan jeli menyisir transaksi jasa yang menghasilkan komisi (fee-based income). Isu ini terkait erat dengan kemampuan bank menginvestasikan teknologi. Kian canggih teknologi yang diadopsi, kian besar kemampuan dan kreativitas bank menggenjot pendapatan berbasis komisi. Jika ini direalisasikan, bank-bank tidak perlu terlalu menggantungkan diri pada pendapatan berbasis suku bunga (interest based income).

Niat Bank Indonesia segera menurunkan suku bunga kredit bank adalah obsesi mulia. Namun, pasti bukan pekerjaan semalam. Pada titik kini, yang penting bank masih terus mampu memompa kredit, bahkan dengan pertumbuhan 28 persen. Tak kurang penting, bank-bank telah membentuk kekuatan sedemikian rupa agar tidak menjadi pintu masuk krisis ekonomi global, seperti tahun 1998. Inilah bekal utama menuju pertumbuhan ekonomi minimal 6 persen tahun ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar