Sabtu, 25 Agustus 2012

Korupsi dan Gerakan Sosial


Korupsi dan Gerakan Sosial
Iwan Gardono Sujatmiko ;  Sosiolog FISIP, Universitas Indonesia
KOMPAS, 25 Agustus 2012


Korupsi adalah penyelewengan dana dan kebijakan negara yang berdampak negatif kepada masyarakat, seperti terhambatnya pembangunan, melemahnya nilai dan norma, serta menurunnya daya saing masyarakat. Selain korupsi, terdapat pula pelemahan masyarakat (konsumen, UKM) oleh monopoli-oligopoli-kartel dalam dunia usaha, dan untuk mengatasinya telah dibentuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Penyebab korupsi dapat dilihat dari aspek mikro (pola gaya hidup pelaku) ataupun makro (reproduksi kelompok). Sebagai suatu gejala sosial yang meluas, korupsi terjadi karena adanya kebutuhan dana yang cepat dan mudah untuk modal suatu kegiatan organisasi atau kelompok. Hal ini terbukti dengan banyaknya politikus di legislatif dan partai politik yang terlibat korupsi untuk pemenangan pemilu dan pilkada.

Korupsi juga terjadi karena upaya pengusaha-perusahaan untuk mendapat proyek sehingga mereka dapat mengembangkan perusahaannya. Selain itu, korupsi juga terkait erat dengan jaringan atau kelompok yang mengumpulkan modal untuk reproduksi, regenerasi, dan memperbesar jaringan yang ada di eksekutif (kementerian) dan yudikatif (pengadilan).

Korupsi merupakan parasit yang mencuri sumber energi agar tetap bertahan hidup dan tumbuhnya suatu kelompok dan jaringan kejahatan terorganisasi (”mafia”). Jaringan dalam korupsi ini menempel pada birokrasi dan berjenjang dari atas sampai bawah. Maka, dapat dikatakan: semakin tinggi dan kuat posisi aktor korupsi, semakin besar peluang korupsi dengan merekayasa sistem dan membangun jaringan; semakin besar hasilnya, semakin sulit diberantas dan semakin kuat perlawanannya. Pola korupsi seperti ini dapat dikategorikan pada upaya menguasai negara (Hellman dkk, 2010).

Selain itu, di lingkar pelaku utama ini juga terdapat jaringan pendukung korupsi yang melibatkan beberapa pengacara, notaris, akuntan, media, dan dokter-rumah sakit. Mereka menghalalkan segala cara dan melanggar kode etik profesi untuk membela koruptor. Di sini terlihat pentingnya peran aktif masyarakat dan gerakan sosial dalam perang melawan korupsi, yang merupakan aksi kolektif yang melibatkan aktor dan struktur yang luas.

Gerakan Sosial

Gerakan sosial merupakan upaya masyarakat untuk mendukung atau menolak suatu perubahan tertentu dan dapat juga melibatkan negara (Goldstone, 2003). Sebagai contoh, keluarga berencana (KB) sebagai upaya untuk membatasi kelahiran guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat telah melibatkan negara dan masyarakat.

Di era pemerintahan Soeharto, program KB sukses karena merupakan suatu gerakan sosial yang terdiri atas Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional yang mendapat dukungan pemerintah/presiden dan para ulama serta organisasi masyarakat. Sebaliknya, di era desentralisasi, lemahnya sinergi pemerintah pusat dengan daerah serta masyarakat telah mengubah KB dari gerakan sosial menjadi program atau proyek.

Gerakan sosial memerangi korupsi lebih kompleks dan sulit dibandingkan dengan gerakan sosial KB di mana sangat diperlukan sinergi negara, lembaga utama pemberantas korupsi (KPK) dan masyarakat, seperti media, LSM, universitas dan ormas. Gerakan memberantas korupsi ini harus lebih merakyat dan lintas kelas (Aditjondro, 2007). Kegiatan ini dapat dilakukan oleh masyarakat-warga dengan menggunakan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), yang memaksa peningkatan transparansi dan akuntabilitas pihak yang diduga korupsi.

Jelas, korupsi terjadi karena kurangnya kontrol sosial atau gerakan sosial dari masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, rumus korupsi Klitgaard (1998), yakni C > M + D - A [corruption terjadi jika monopoly ditambah discretion tanpa accountability]. Karena itu perlu dilengkapi dengan kontrol sosial (social control/SC) sehingga menjadi: C > M + D - A - SC.

Tiga Skenario

Dalam pemberantasan korupsi terdapat tiga skenario: ”sukses”, ”gagal”, dan ”status quo”. Skenario sukses ini akan terjadi jika ada gerakan sosial yang terdiri atas negara-pemerintah, lembaga pemberantas korupsi (KPK), serta organisasi masyarakat dan warga.

Untuk mencapai skenario ”sukses”, negara—baik eksekutif (termasuk polisi dan kejaksaan), yudikatif, maupun legislatif— berperan aktif. Dalam hal ini, presiden, gubernur, bupati-wali kota secara berkala (misal, 3 bulan sekali) melaporkan kinerja mereka dalam pemberantasan korupsi (sekaligus dengan penanggulangan kemiskinan). Pola laporan akuntabilitas ini menunjukkan eksistensi masalah korupsi yang perlu kepedulian semua pihak.

Dalam skenario ini, KPK selalu diperkuat kapasitasnya dari segi kewenangan dan anggaran. Selain itu, peran media juga sangat penting. Pemberantasan korupsi perlu jadi agenda yang jelas dan terukur, termasuk mencegah peliputan koruptor seperti selebritas dalam infotainment. Demikian juga ormas perlu membuat rencana strategis dan mengintegrasikan pemberantasan korupsi dalam AD/ART dan rencana kerja mereka. 

Sementara itu, pihak universitas perlu mengevaluasi APBN/APBD, khususnya korupsi dana bantuan sosial, yang sebenarnya dapat digunakan untuk mengurangi kemiskinan.
Skenario ”gagal” terjadi jika lemahnya peran pimpinan eksekutif dan legislatif serta organisasi masyarakat, termasuk sangat lemahnya sanksi sosial, adat, dan agama bagi pelaku korupsi. Dalam skala kecil, keadaan ini telah terlihat di beberapa daerah dengan indikator korupsi yang tinggi. Pada skenario ini, KPK juga dikurangi kewenangan dan anggarannya sehingga berkinerja rendah. KPK dapat bernasib sama seperti beberapa lembaga pemberantas korupsi masa lalu yang gagal memberantas korupsi secara signifikan.

Skenario ketiga ”status quo”: berlanjutnya keadaan masa kini di mana dukungan negara masih kurang kuat, sementara itu dukungan pers, universitas, serta ormas juga belum kuat dan meluas. Dalam situasi ini, KPK perlu melakukan terobosan. Saat ini mereka sedang menghitung ”biaya sosial korupsi” karena biaya ini sekarang ditanggung oleh negara dan masyarakat-pembayar pajak (Rimawan Pradiptyo, Kompas, 22/8/2012). 

Terobosan lain KPK adalah pemberantasan korupsi di lembaga yang selama ini dianggap ”kebal”, seperti DPR (Badan Anggaran), kementerian, dan Polri (Korlantas).
Namun, KPK juga perlu meningkatkan legitimasi, misalnya melaporkan kinerja-akuntabilitas secara berkala sehingga publik tahu sukses dan kelemahan yang ada. Selain itu, KPK juga perlu memperluas jejaring sosial, misalnya secara aktif mengirimkan program, kegiatan, dan laporan tahunan mereka (bukan hanya tercantum di laman www.kpk.go.id) kepada masyarakat. Jaringan maya ini dapat mendorong masyarakat melakukan gerakan sosial untuk lebih mendukung KPK dalam memberantas korupsi. Dan, proses ini dapat mengarah pada skenario ”sukses”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar