Sabtu, 25 Agustus 2012

Koordinasi dan Supervisi KPK

Koordinasi dan Supervisi KPK
Henry Siahaan ;  Koordinator Program Antikorupsi
di Kemitraan/Partnership, Jakarta
KORAN TEMPO, 25 Agustus 2012


Kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sama-sama menelisik kasus dugaan korupsi pengadaan simulator uji surat izin mengemudi (SIM) roda dua dan roda empat pada 2011 di kepolisian. Kepolisian bergerak lebih awal dan KPK belakangan. Hasilnya?

Sejak 27 Juli 2012, KPK menetapkan DS, mantan Kepala Korps Lalu Lintas Kepolisian RI, sebagai tersangka korupsi. DS disangka melanggar Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Seiring dengan penetapan tersangka, KPK juga menggeledah kantor Korps Lantas di Jalan M.T. Haryono, Jakarta.

Tidak mau kalah gesit, kepolisian langsung menetapkan lima orang tersangka sejak 1 Agustus. Kepala Divisi Humas, Inspektur Jenderal Anang Iskandar, menyebutkan bahwa tiga tersangka adalah anggota kepolisian, yaitu Brigadir Jenderal DP, Ajun Komisaris Besar TR, dan Komisaris LGM. Sedangkan dua tersangka lain adalah pemenang tender berinisial BS dan SB.

Padahal, sebelum KPK menetapkan Djoko Susilo sebagai tersangka, kepolisian tidak menetapkan seorang tersangka pun, dan tidak pernah diketahui publik ihwal siapa saja yang pernah diperiksa kepolisian. Namun bagi saya, berapa orang yang ditetapkan sebagai tersangka atau pihak mana yang duluan menangani kasus ini kurang penting. Yang justru menarik dan penting adalah bagaimana KPK menjalankan tugas korsup (koordinasi dan supervisi), sehingga persoalan seperti ini di masa mendatang bisa dihindari.

Korsup ini sangat penting untuk mencegah tarik-menarik dan tumpang-tindih penanganan kasus. Kesimpangsiuran korsup mengakibatkan penanganan dugaan kasus korupsi menjadi ricuh. Karena itu, ketika KPK menangani kasus ini sebagaimana pula Kepolisian, ada dua hal yang dapat dianalisis.

Pertama, kasus ini bukan nebis in idem atau lazim disebut exceptio rei judicatae atau gewijsde zaak sebagaimana diatur dalam Pasal 1917 KUH Perdata. Artinya, dalam kasus ini belum ada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan bersifat positif seperti menolak gugatan atau mengabulkan. Bahkan, surat pemberitahuan dimulainya penyidikan baru dikirim kepolisian ke Kejaksaan Agung pada 1 Agustus 2012 (Tempo.co, 2/8). 
Dengan demikian, kehadiran KPK seolah mendesak kepolisian untuk membuat kasus ini tidak mandek. Hal itu jika klaim kepolisian benar sebagai lembaga awal yang menangani kasus ini, walaupun tidak ada hasilnya sama sekali.

Kedua, ketika KPK melakukan tugas pengawasan (Pasal 8 ayat 1 UU No. 30 Tahun 2002), ada kesan bahwa kepolisian tidak serius terhadap kasus ini, sebagaimana kasus-kasus lainnya, semisal rekening gendut yang lenyap tanpa jejak. Pengandaian ini benar jika antara kepolisian dan KPK sebelumnya melakukan koordinasi dan atau melakukan supervisi atas kasus ini. Namun tampaknya kepolisian dan KPK tidak melakukan peran koordinasi itu. Kepolisian memilih menutup diri dan menangani sendiri kasusnya, sedangkan KPK hanya mencium aroma tidak sedapnya.

Tindakan kepolisian ini di satu sisi dapat dimaklumi, tapi di sisi lain mencoreng muka sendiri. Dimaklumi, karena kepolisian berhadapan dengan orang-orang di internal institusinya dan berkepentingan menjaga nama baik korps (dalam arti sempit). Di sini jelas ada vested interest. Tetapi juga disebut mencoreng muka sendiri, karena kepolisian sudah mengabaikan spirit polisi yang reformis, bersih, dan antikorupsi. Polisi lebih memilih memelihara borok daripada menyembuhkan luka. Padahal, jika polisi sungguh berniat menjadi institusi yang bersih dari korupsi, KPK perlu diminta terlibat sejak awal dalam kasus ini. Itu kalau polisi serius untuk membaptis dirinya sebagai salah satu institusi yang bersih dan benar-benar mau membela korps (dalam arti luas). Bahwa siapa pun yang bersalah harus ditindak, Kapolri sekalipun. Tetapi tampak dengan mata telanjang bahwa kepolisian tidak memiliki niat itu, dan lebih memilih menelanjangi diri.

Ketika pilihannya adalah menelanjangi diri, resistensi di pihak kepolisian bisa terjadi, dan bukan tak mungkin serial cicak versus buaya jilid II kembali tayang. Gejalanya sudah tampak. Pertama, polisi menghalang-halangi penyidik KPK yang akan menggeledah Kantor Korlantas dan menahan KPK untuk membawa sejumlah dokumen dan data dari penggeledahan tersebut selama hampir 24 jam. Kedua, pengacara Inspektur Jenderal DS mengancam memperkarakan KPK, menilai penetapan status tersangkanya janggal, dan menganggap KPK bersikap arogan ketika memasuki ruangan kerja Korlantas Mabes Polri tanpa koordinasi terlebih dulu (Tempo.co, 2/8). Ketiga, sampai saat ini kepolisian tidak bersedia menghentikan penyidikan atas kasus ini.

Gambaran di atas adalah situasi yang tidak diinginkan. Karena itu, saya ingin mengatakan bahwa kasus ini telah menunjukkan satu persoalan serius terkait dengan mandat regulasi untuk melakukan peran korsup antara KPK dan lembaga penegak hukum lain (kepolisian, kejaksaan) sebagaimana dinyatakan dalam huruf a dan huruf b Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 UU No. 30 Tahun 2002.

Karena itu, kasus seperti ini perlu dijadikan sebagai momen reflektif oleh KPK, kepolisian, dan kejaksaan. Bahwa peran koordinasi dan supervisi dengan instansi yang berwenang melakukan pencegahan/pemberantasan tindak pidana korupsi perlu diefektifkan dan dijabarkan secara teknis-operasional.

Pertama, materi MoU KPK, kejaksaan, dan kepolisian yang ada perlu direvisi terlebih dulu. Kedua, poin-poin MoU yang masih abstrak perlu diterjemahkan lebih lanjut dengan beberapa standard operating procedure (SOP) yang jelas, terperinci, dan terukur. Ketiga, KPK, kepolisian, dan kejaksaan bersama-sama membentuk suatu clearing house sebagai unit khusus bersama untuk menjalankan fungsi koordinasi perkara-perkara yang sedang di selidiki. Dengan clearing house, maka peran koordinasi KPK bukan lagi di menara gading dan sekadar kata-kata, tapi telah membumi. Clearing house inilah yang menjadi wadah transfer of knowledge dan tempat awal membangun rasa saling percaya. Bila KPK merasa bahwa dalam clearing house peran koordinasi ini tidak berjalan, maka KPK menjalankan peran supervisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar