Rabu, 15 Agustus 2012

Kontemplasi Kemerdekaan


Kontemplasi Kemerdekaan
Kiki Syahnakri ; Ketua Dewan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
KOMPAS,  15 Agustus 2012


Setiap menjelang peristiwa paling bersejarah bagi bangsa Indonesia, Proklamasi Kemerdekaan, sepantasnya kita berkontemplasi. Memikirkan kembali arti dan tujuan kemerdekaan serta sejauh mana kita telah menjalaninya.

Menjelang 17 Agustus 2012, keprihatinan dan kecemasan dalam menghadapi masa depan bangsa terasa makin meningkat dan meluas. Cemas menyaksikan kesenjangan sosial yang kian menganga, sementara kekayaan alam kita dikeruk massif oleh perusahaan asing tanpa tetesan hasil yang memadai buat mengangkat kesejahteraan sosial. Sebaliknya, yang lebih sering kita saksikan adalah konflik, tawuran, dan amuk massa yang menelan korban jiwa tidak sedikit.

Ironinya, kewibawaan pemerintah justru kian menurun, bahkan membiarkan terjadinya konflik antarlembaga negara, dan berbagai potensi konflik yang berkembang dalam masyarakat, seperti konflik masalah tanah. Maka, keadilan sosial yang menjadi tujuan kemerdekaan pun rasanya kian bertambah jauh.

Apa Sebab

Setelah Pancasila disisihkan dari kehidupan berbangsa-bernegara—digantikan dengan individualisme-liberalisme yang membentangkan karpet merah bagi kapitalisme—kini kita saksikan dengan kasatmata terkikisnya nilai-nilai luhur budaya bangsa. Sebutlah seperti kekeluargaan, persaudaraan, gotong royong, toleransi, dan norma etika ketimuran.

Sistem demokrasi kita, ”musyawarah-mufakat”, yang sudah lama mengakar dalam masyarakat Nusantara, telah diganti dengan sistem voting, one man one vote, dalam pemilihan langsung. Ekses sistem politik ”ultraliberal”, yang tidak cocok dengan akar budaya bangsa, ini mengakibatkan fenomena umum seperti menjamurnya dinasti politik, maraknya sektarianisme dan semangat kedaerahan, serta otonomi daerah yang menimbulkan semangat pemekaran nyaris tidak terkontrol.

Di sisi lain, tingkat kedewasaan mayoritas elite politik kita dalam berdemokrasi masih memprihatinkan. Berpolitik tanpa ideologi, semata untuk mengejar kekuasaan dan finansial, serta fenomena ”kutu loncat” pun sudah dianggap lumrah. Politik kekuasaan pun tumbuh subur. Politik uang dan mahalnya biaya politik kini sudah dianggap suatu keniscayaan.

Perekrutan pemimpin lewat pemilu dan pilkada hanya menghasilkan pemimpin karbitan tanpa karakter dan kompetensi serta korup. Muara dari semuanya ini adalah maraknya konflik politik yang kerap diwarnai anarkisme, meluasnya potensi konflik vertikal dan horizontal, serta makin menurunnya kepedulian dan partisipasi politik rakyat. Perubahan mendasar setelah amendemen UUD 1945, seiring raibnya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), membuat bangsa ini tidak memiliki gagasan masa depan yang dituju. Dengan kata lain, negara berjalan tanpa strategi jangka panjang.

Di bidang ekonomi, kebijakan ekonomi Indonesia yang diwarnai ”Washington Consensus” (konsep reformasi ekonomi versi Dana Moneter Internasional/IMF) menjadikan kita penganut fundamentalis pasar bebas, menyimpang jauh dari prinsip ekonomi kerakyatan yang menjadi amanat UUD 1945. Akibatnya, perekonomian nasional nyaris dikuasai asing. Privatisasi menjadi tren kebijakan ekonomi, dan berujung pada hilangnya kedaulatan ekonomi.

Sejalan dengan lemahnya kepemimpinan, potret hukum kita pun sangat memprihatinkan; terjadi karut-marut hukum, tumpang tindih fungsi lembaga penegak hukum, maraknya mafia dan perdagangan hukum, politisasi hukum, terkatung bahkan raibnya berbagai kasus besar pelanggaran hukum, seperti kasus Bank Century.

Dari perspektif budaya, liberalisme yang melahirkan kebebasan nyaris tanpa batas telah menyuburkan individualisme, materialisme, hedonisme, konsumerisme, feodalisme, fanatisme sempit, fundamentalisme, anarkisme, dan radikalisme.

Rekomendasi

Guna mengembalikan arah perjuangan bangsa menuju cita-cita luhur kemerdekaan, seluruh elemen bangsa—terutama pemerintah—harus segera melakukan perubahan fundamental. Melalui antara lain, pertama, segera kembalikan sistem pemerintahan negara kepada roh/spirit Pancasila dengan melakukan ”kaji ulang” UUD, bertitik tolak dari UUD 1945 (bukan dari UUD 2002). Berlakukan kembali GBHN; kembalikan fungsi MPR sebagaimana diatur dalam ”sistem sendiri”, serta hidupkan kembali sistem demokrasi musyawarah-mufakat. (Sistem demokrasi musyawarah-mufakat justru diterapkan di negara-negara Skandinavia dan Jepang.)

Kedua, membangun karakter bangsa. Krisis yang kita alami bukan karena kurang cerdasnya anak bangsa, melainkan karena buruknya karakter dan jati diri bangsa. Maka, sektor budaya harus menjadi penjuru pembangunan nasional.

Oleh karena itu, mutlak dilakukan perbaikan sistem pendidikan nasional yang terlalu berorientasi kepada aspek kompetensi (transfer of knowledge/ technology), kurang berorientasi pada pembangunan karakter (transfer of value) yang mengapresiasi nilai-nilai keindonesiaan. Pembangunan karakter juga akan menjamin tersedianya kekuatan tangkal terhadap ekses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, yang berpotensi mereduksi nasionalisme dan mencerabut akar budaya bangsa.

Ketiga, orientasikan pembangunan ekonomi kepada ekonomi kerakyatan, bukan malah menyerahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Pemerintah juga harus memiliki keberanian untuk melakukan negosiasi ulang kontrak masa lalu dengan berbagai perusahaan asing yang dinilai tidak adil dan merugikan. Melakukan revisi terhadap undang-undang pertambangan, perkebunan, perbankan, investasi, dan lainnya agar lebih berpihak kepada kepentingan nasional ketimbang kepentingan asing.

Keempat, Komisi Pemberantasan Korupsi harus menindak semua kasus korupsi tanpa tebang pilih. Semua kasus besar korupsi yang tertunda, bahkan hampir menguap seperti kasus Bank Century, harus segera diselesaikan. Rakyat pasti berada di belakang KPK.

Kelima, sangat mendesak untuk segera melakukan reformasi parpol dan birokrasi. Kedua institusi tersebut besar perannya dalam perekrutan kepemimpinan maupun tata kelola pemerintahan yang efektif-efisien. Reformasi di kedua institusi tersebut belum tersentuh dengan baik. Untuk itu diperlukan kemauan politik disertai kesungguhan para elite politik dan pemerintah, terutama dari dan oleh pimpinan nasional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar